Al-Ghazali. Pemikiran Filsafat

Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
Al-Ghazali
Filsafat dalam Pandangan Al-Ghazali
Banyak orang yang memahami filsafat Al-Ghazali dengan kacamata kuda bahwa Al-Ghazali tabu dengan filsafat, bahkan menentang filsafat. Tudingan ini perlu dikaji secara mendetail dengan lebih dahulu memahami apa yang dimaksud filsafat oleh Al-Ghazali dan filsafat apa yang boleh dan tidak boleh. Kajian ini perlu diungkap untuk memetakan Al-Ghazali sebagai filsuf dan sufi, serta fuqaha.

Kerangka berpikir Al-Ghazali perlu ditelusuri secara komprehensif. Karena filsafat menggunakan logika (akal) dengan kajian analisisnya, perlu ditelusuri apa yang dimaksud dengan akal dan bagaimana posisi akal. Inilah titik tolak Al-Ghazali dalam memandang filsafat dan ilmu lainnya. Yusuf Qardhawi yang mengutip kitab Ma’arijul Al-Quds menyatakan, Ketahuilah bahwa akal tidak akan mendapat petunjuk, kecuali dengan syara’, dan syara’ tidak akan jelas, kecuali dengan akal. Akal bagaikan landasan, sedangkan syara’ bagaikan bangunan. Begitu pula, hubungan antara syariat dan akidah (ilmu kalam) dan hakikat (tasawuf).  Dalam kitab Ihya Al-Ulum Ad-Din, dijelaskan bahwa sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf, seseorang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah (kalam) terlebih dahulu secara tekun dan sempurna. Dalam hal ini, syariat dan ilmu kalam sebagai landasan, sedangkan tasawuf laksana sebuah bangunan.

Filsafat Al-Ghazali tergambar dari masa hidup Al-Ghazali yang tumbuh subur berbagai macam aliran agama dan filsafat. Sebagaimana ia katakan sebagai berikut: ... sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Sokrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lain..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam dan teologi..., mereka juga mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syariat agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf meyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan...

Menurut Al-Ghazali, filsafat terbagi enam bagian, ilmu pasti, ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu akhlak. Pada dasarnya Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat tersebut, kecuali filsafat ketuhanan (metafisika) karena para filsuf sangat mengagungkan peranan akal yang mengalahkan agama dan syariat sebagaimana dijelaskan dalam kutipan di atas. Adapun menurut Juhaya S. Praja, hasil filsafat bersifat spekulatif, artinya hasil yang diperoleh dari penyelidikan filsafat baru berupa dugaan belaka, dan bukan kepastian.

Menurut Al-Ghazali, secara teoretis, akal dan syara tidak bertentangan secara hakiki karena semuanya merupakan cahaya petunjuk dari Allah SWT. Demikian juga, ditinjau dari segi praktis, tidak ada hakikat agama yang bertentangan dengan hakikat ilmiah. Al-Ghazali melihat bahwa satu sama lainnya saling mendukung dan saling membenarkan. Hal ini terbukti dari ungkapan berikut ini: ... Akal adalah penentu hukum yang tidak dijauhkan ataupun diganti. Akal adalah saksi syara’. Akal adalah saksi yang secara murni dan adil mengatakan bahwa dunia adalah kampung tipuan bukan kampung bahagia... tempat berjual beli bukan tempat gedung apartemen. Dunia adalah tempat transaksi yang modalnya adalah ketaatan. Ketaatan itu ada dua macam; amal dan ilmu. Ilmu adalah ketaatan terbaik dan beruntung. Ilmu termasuk salah satu amal, yaitu amalan hati yang merupakan anggota tubuh yang termulia. Ilmu juga merupakan upaya akal sebagai benda termulia, karena akal adalah sandi agama dan pemikul amanat...

Secara lebih terperinci, Al-Ghazali menjelaskan hubungan antara akal dan syara’ dalam kitab Ihya Ulum Ad-Din. Ia menyeru penggabungan ilmu-ilmu akal dengan ilmu-ilmu agama bahwa: ... Adalah bodoh orang yang menyeru untuk sekadar taklid dan mengesampingkan akal secara total. Tertipulah seseorang yang mencukupkan dirinya dengan akal saja dan mengabaikan cahaya Al-Qur’an dan As-Sunnah. Anda jangan termasuk ke dalam dua kelompok tadi, tetapi jadilah orang-orang yang menggabungkan antara akal dan cahaya syara. Ilmu-ilmu akal bagaikan makanan, sedangkan ilmu-ilmu syara’ bagaikan obat..

Menurut Al-Ghazali, Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Al-Qur’an bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lain saling membutuhkan, kecuali orang-orang bodoh. Orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Al-Qur’an bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta.

Dengan demikian, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.

Al-Ghazali menyerang kaum filsuf dalam kitab Tahafu Al-Falasifah karena berlebihan dalam menggunakan akal, menetapkan sesuatu tanpa bukti atas nama akal, dan menafikan sesuatu yang tidak ada dalil-dalil syara’ yang menafikannya. Bahkan, dalam kitab Al-Munqidz Min Al-Dhalal, dijelaskan bahwa orang yang mengingkari pendapat para filsuf dalam hal gerhana bulan dan matahari, dengan mengatasnamakan agama, dan mengingkari hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pasti yang dianggap cabang filsafat lama, padahal semuanya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, tidak ada jalan untuk mengingkarinya. Dari uraian di atas tampak tidak ada pertentangan antara akal dan syara’. Selanjutnya, Al-Ghazali menjelaskan bahwa akal dan syara’ memiliki keistimewaan masing-masing dan memiliki bidang kompetensi yang tidak pernah dilanggar. Filsafat dalam pandangan Al-Ghazali ketika membuat spesifikasi akal dalam menetapkan dua masalah besar agama, yaitu wujudullah dan nubuwwat.

Uraian tentang hal itu dijelaskan dalam kitabnya, Al-Mustashfa, bahwa wujudullah, qudrat, iradat, dan ilmu-Nya dapat ditetapkan oleh akal. Apa yang tidak dapat ditetapkan oleh akal tidak dapat ditetapkan oleh syara’. Demikian juga, masalah penciptaan alam dan pengutusan para rasul termasuk sifat Jaiz bagi Allah SWT. Allah SWT berkuasa untuk berbuat demikian dan membuktikan kebenaran para rasul dengan mukjizat karena Allah tidak akan menyesatkan hamba-hambanya.

Filsafat ketuhanan dan kenabian ini berimplikasi pada status hukum, yang menjadi polemik antara Mu’tazilah dan Asya’ariah tentang status orang Islam ketika para rasul belum diutus, apakah berdosa atau tidak. Al-Ghazali berpendapat bahwa tugas akal adalah membenarkan syara’ melalui penetapan pencipta alam, dan kenabian yang diberikan kepada hamba yang dipilih-Nya.

Hal itu termaktub dalam mukadimah kitab Al-Mustashfa bahwa ilmu paling mulia adalah ilmu yang menggabungkan akal dan naql, menyertakan pendapat dan syara’. Ilmu fiqh dan ushul fiqh adalah ilmu macam ini karena mengambil syara’ dan akal yang bersih secara bersama-sama. Akan tetapi, Al-Ghazali melihat bahwa dalam bidang amaliah ini terdapat bidang yang haram dimasuki akal, yaitu mengetahui hukum terperinci dari ibadat-ibadat syar’iyah karena hukum-hukum ibadah ini, aturan dan kadarnya, telah ditentukan oleh Nabi. Maksudnya, akal tidak dapat memahami mengapa sujud dalam shalat jumlahnya dua kali lipat ruku’, shalat Subuh rakaatnya separuh shalat Ashar, dan seterusnya. Hal ini merupakan wilayah cahaya kenabian (nur nubuwwat) meminjam istilah Yusuf Qardhawi, Bukan dengan instrumen akal.

Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa ilmu logika (akal) menurut Al-Ghazali merupakan instrumen untuk memahami dalil-dalil syariat. Akan tetapi, akal atau berfilsafat yang tahu akan batasnya dan tidak menghalangi dirinya untuk mendapat nur yang lebih besar, yaitu nur wahyu ilahi, meminjam istilah Yusuf Qardhawi. Dengan kata lain, akal atau berfilsafat membenarkan hukum secara pasti, atau paling tidak, menurut Juhaya S. Praja, bahwa berfilsafat adalah berpikir secara mendalam tentang sesuatu; mengetahui apa (mahiyah), bagaimana, dan nilai-nilai sesuatu itu.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Al-Ghazali. Riwayat Hidup
2. Al-Ghazali. Karya Filsafat
3. Tipologi Filsafat Al-Ghazali
4. Al-Ghazali. Paham Qadim-nya Alam
5. Al-Ghazali. Paham Bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Juz'iyyat
6. Al-Ghazali. Paham Kebangkitan Jasmani
7. Al-Ghazali. Metafisika
8. Al-Ghazali. Klasifikasi Ilmu
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Al-Ghazali. Pemikiran Filsafat"