Al-Ghazali. Paham Qadim-nya Alam

Paham Qadim-nya Alam Al-Ghazali
Al-Ghazali
Bagi Al-Ghazali, jika alam dikatakan qadim (tidak bermula: tidak pernah tidak ada), mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadim-nya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Ini bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhan menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi Al-Ghazali, alam tidak qadim. Ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.

Adapun bagi para filsuf Muslim, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, paham bahwa alam itu qadim tidak dipahami sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Alam itu qadim karena Tuhan menciptakannya sejak azali. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam. Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut mereka, menunjukkan berubahnya Tuhan. Menurut mereka, Tuhan mustahil berubah. Oleh sebab itu, mustahil pula Tuhan berubah dari awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta.

Apa sebenarnya landasan berpikir Al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim? Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai Wujud tertinggi dan Kehendak unik yang bertindak secara aktual. Prinsip pertama adalah Maha Mengetahui, Mahaperkasa, dan Maha Berkehendak. Dia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang Dia kehendaki; Dia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana Dia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki (Al-Ghazali, 1928:131).

Al-Ghazali sangat menekankan kehendak Tuhan, suatu sifat yang mentransformasikan diri dalam potensi (dan aktualitas) tindakan. Dengan mempertimbangkan premis-premis ini, adakah tempat bagi sebab-sebab alamiah atau cause secundae dalam sistem pemikiran Al-Ghazali? Masalah kausalitas mungkin merupakan masalah yang paling banyak dibahas dalam literatur historiografis tentang pemikir ini. Bahkan, belakangan ini sarjana menggarap masalah ini (Goodman, 1978).

Begitu pula, anggapan bahwa Al-Ghazali menolak secara mutlak keberadaan kausalitas alamiah adalah keliru. Menolak fakta bahwa api membakar kepala adalah sangat bodoh. Yang ditolak Al-Ghazali adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat yang terlepas dari kehendak Tuhan yang menciptakan hakikat membakar. Jika dunia yang mungkin (contingent world) adalah dunia tempat segala kemungkinan (the world of all possibility), Al-Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan ini hanyalah arena tindakan bebas Tuhan. Kesulitannya bukan terletak pada keberadaan objektif hal-hal konkret hanya karena Tuhan menciptakan mereka. Problem epistemologinya terletak pada kemustahilan menghubungkan secara langsung suatu akibat pada suatu sebab. Sebab-sebab dapat senantiasa hipotesis, dan satu-satunya kepastian yang kita miliki adalah bahwa semua itu merupakan akibat-akibat dari kehendak Tuhan. Demikian pula, dalam penciptaan alam, bahwa kehendak Tuhanlah yang paling utama bahwa alam itu diadakan setelah Dia ada.

Al-Ghazali mengemukakan konsep yang sama pada tempat lain dalam Tahafut (Al-Ghazali, 1928: 277-8). Akan tetapi, ia selalu menekankan kenyataan bahwa Tuhanlah yang menciptakan kaitan antarfenomena: Mengenai apa yang secara lahiriah tampak berhubungan... itu bergantung pada tindakan Allah SWT yang menentukan (taqdir), yang menciptakan (penampakan-penampakan) dalam suatu rangkaian (‘ala al-tasawuq). Bahkan, Tuhan dapat menjungkirbalikkan hukum-hukum alam dan menundukkan fungsi-fungsi alam pada hukum yang sama sekali baru. Hal ini tidak berarti bahwa Tuhan benar-benar bertindak dengan cara seperti itu atau bahwa Dia tidak memberikan sifat-sifat alamiah pada api atau air untuk membakar dan memadamkan. Oleh karena itu, layak untuk tidak berlebih-lebihan dalam menyikapi nilai skeptis beberapa pernyataan Al-Ghazali seperti berikut: Karena itu, saya mulai merenungkan dengan sangat tekun persepsi-indra (mahsusat) dan kebenaran yang niscaya (dharuriyyat), untuk melihat apakah hal itu menjadikan diri saya ragu. Hasil dari usaha yang berkepanjangan untuk memunculkan keraguan itu adalah bahwa saya tidak lagi percaya pada persepsi-indra (Al-Ghazali, 1967a: 23).

Persoalan tentang filosofis ini tercatat dalam sejarah filsafat Islam dalam lembaran diskusi panjang Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd. Al-Ghazali dengan kitabnya Tahafut Al-Falasifah (kerancuan dalam filsafat), sedangkan Ibnu Rusyd dengan kitabnya Tahafut al-Tahafut (kerancuan dalam kerancuan). Upaya menjembatani dua karya tersebut, telah diteliti dan dikaji oleh Oliver Leaman dalam bukunya An Introduction to Medieval Islamic Philosophy (Cambridge University, London, 1985).

Oliver Leaman dalam bukunya menyebutkan diskusi antarfilsuf berlangsung berkenaan dengan masalah filsafat keabadian alam, Tuhan tidak tahu Juziyat dan kebangkitan jasmani.

Al-Ghazali menolak konsep filosofis yang mengatakan bahwa dunia ini kekal dan diciptakan melalui proses emanasi dengan bahan dasar yang bersifat kekal dan secara terus-menerus mengambil bentuk yang berbeda. Ia menerima pendapat bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan dari benar-benar tiada, pada waktu yang lalu secara terbatas. Bahan (matter) dan bentuk (form) dari dunia ini dahulu telah diciptakan oleh Tuhan dalam tindakan yang asli seperti itu.

Sebaliknya, menurut pemahaman filosofis ajaran Aristoteles yang dianut pula oleh Ibnu Rusyd, setiap perubahan yang terjadi harus ditentukan oleh sebab yang berada di luar dirinya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk objek-objek fisik, tetapi juga berlaku untuk keadaan pikiran. Oleh karena itu, besar kemungkinan, jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, beberapa sebab yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunnya ke arah terwujudnya keputusan itu. Seandainya alam semesta ini dalam jumlah keseluruhannya ada, dan bukan ada untuk seterusnya, hal ini akan menimbulkan kesulitan. Hal itu tidak berarti tidak akan ada sesuatu di luar benak pikiran Tuhan yang dapat memengaruhinya dalam membuat keputusan tentang keberadaan dunia karena tidak ada sesuatu pun yang ada, kecuali Tuhan. Sekarang, pengalaman kita bahwa dunia telah ada, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa persoalan sejenis ini tidak dapat mencegahnya untuk berada. Dalam keadaan seperti itu, dunia ini harus benar-benar ada untuk seluruh waktu atau selamanya, suatu pernyataan yang jika diterima, akan mengelak atau mengesampingkan secara perlahan-lahan masalah keharusan menerangkan perubahan pertama yang menciptakan dunia ini muncul. Dengan model penciptaan alam melalui emanasi, dunia ini terus-menerus akan terpancar dari yang Satu. Sifat yang Satu itu untuk memproduksi apa yang seharusnya diproduksi dan bagaimana hal itu diproduksi. Jika pada suatu waktu, Tuhan tidak ada, tanpa adanya sesuatu yang lain, sebelum Dia menciptakan dunia, apa yang mendorongnya untuk menciptakan dunia pada saat pertama kali? Mulanya, tidak ada sesuatu apa pun di sekitarnya yang dapat memengaruhinya dan Dia dapat saja untuk tetap terus-menerus dalam keadaan sempurna dan tidak bergerak. Akan tetapi, kita tahu bahwa dunia ini ada dan kita percaya bahwa Tuhan menciptakannya, dan kita dapat memahami arti kenyataan ini, jika kita mengakui bahwa ciptaannya bersifat abadi.

Al-Ghazali memberikan ulasan bahwa Tuhan dengan mudah mewasiatkan secara abadi agar dunia tercipta pada waktu tertentu pada masa mendatang jika Dia menginginkan begitu. Sebenarnya, menurut petunjuk Al-Qur’an, apa yang perlu dikatakan Tuhan adalah, Jadilah, maka jadilah ia (Q.S. [3]:42). Mengapa Dia tidak dapat membubuhi tanggal sebenarnya, begitu dikatakan, beberapa waktu kemudian daripada tanggal keberadaan alam semesta? Dunia ini dapat berada pada waktu tertentu pada kemudian hari. Keberatan pihak filsuf terhadap kemungkinan seperti itu adalah adanya beberapa alasan seseorang yang menginginkan sesuatu, yang ia sendiri mampu melaksanakan tugas itu pada waktu tertentu, kemudian berhenti tanpa melaksanakan pekerjaannya. Jika ia menginginkan X dan dapat memperoleh X, mengapa ia harus menunggu dalam tempo waktu tertentu, setelah pelaksanaan tindakan dapat dilaksanakan untuk memuaskan keinginannya? Pasti, di sana tidak akan ada halangan yang dapat merintangi kekuasaan Tuhan untuk melaksanakan tujuan-tujuannya.

Al-Ghazali menantang pendapat yang menyatakan bahwa keinginan ketuhanan tidak dapat menghasilkan akibat yang diundur. Mengapa harus ada rintangan untuk menerangkan gejala seperti itu? Dalih apa yang dimiliki para filsuf sehingga mereka benar-benar mengesampingkannya? Ia berpendapat dan mendukung adanya kemungkinan akibat atau hasil sesuatu yang diundur dengan mengetengahkan keterangan yang mengandung kilah tentang kemauan Tuhan (divine) akan terlaksana dengan baik. Jika kita kembali pada pokok persoalan sebelumnya, yakni bahwa para filsuf meragukan kemungkinan suatu akibat atau hasil yang diundur karena tidak ada dorongan yang dapat dipahami untuk mengundur waktu, kita dapat melihat bahwa di sana ada masalah yang menyangkut penciptaan alam semesta pada waktu tertentu, bukan waktu tertentu yang lain. Jika Tuhan benar-benar menciptakan dunia pada waktu tertentu, Dia menentukan untuk menciptakannya pada waktu itu dan bukan pada waktu yang lain. Hal itu menunjukkan bahwa Dia tidak bertindak secara serampangan. Akan tetapi, sebelum segala sesuatu ini ada, kecuali Tuhan, apa alasan yang mungkin dimiliki Tuhan untuk menciptakan dunia pada waktu tertentu itu? Dalam hal ini, tidak ada sesuatu yang lain yang mendorongnya, kecuali pikirannya sendiri, dan mengapa Dia lebih menyukai satu waktu dan bukannya satu waktu yang lain?

Lebih lanjut, Al-Ghazali menjelaskan: ... menurut keyakinan kamu, kamu tidak dapat membayangkan hal ini (adanya keinginan yang menyebabkan suatu hal atau akibat yang diundur), apakah kamu mengetahuinya melalui keniscayaan akal ataukah melalui proses deduksi? Kamu bisa memegangi bukan yang satu dan bukan yang lain. Akan tetapi, tindakan membandingkan Dzat Tuhan dengan kemauan manusia merupakan analog yang jelek. Demikian pula, analog serupa yang kamu terapkan pada masalah yang menyangkut pengetahuan Tuhan. Sekarang, sebagaimana kita akui bahwa pengetahuan Tuhan berbeda sekali dengan pengetahuan kita dalam beberapa hal, bukan tidak masuk akal untuk mengakui adanya perbedaan dalam keinginan... Bagaimana kamu akan menolak orang-orang yang mengatakan bahwa bukti rasional yang melapangkan jalan untuk mengukuhkan suatu kualitas di dalam Dzat Tuhan, dan kualitas itu akan membedakan dua hal yang sama? Selain itu, kita pun tidak dapat menyamakan kemauan manusia dan mengakui bahwa hal demikian tidak dapat dibayangkan dapat terjadi. Bayangkan ada tanggal yang serupa di hadapan seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk mengambil keduanya, tetapi tidak sanggup mengambil keduanya sekaligus. Maka yang pasti, dia akan mengambil salah satu dari mereka, melalui kriteria kualitas yang disukainya, dengan kualitas yang menjadi alat untuk membedakan antara dua hal yang serupa... Setiap orang yang mempelajari cara kerja yang sebenarnya daripada tindakan mengambil keputusan, baik dalam diri manusia maupun Tuhan, harus mengakui kualitas tertentu, dengan kualitas yang dia dapat membedakan antara dua hal yang berbeda.

Ibnu Rusyd dengan tajam menjawab argumen ini: Argumen seperti itu adalah salah. Jika seseorang menganggap seperti itu, dan ada seseorang yang keinginannya didorong oleh keperluannya seperti kebutuhannya untuk makan atau menentukan tanggal, hal ini bukanlah persoalan yang membedakan antara dua hal yang serupa, jika dalam keadaan seperti itu ia mengambil salah satu dari dua tanggal... kemauannya terlekat dan terpatri kuat dalam dirinya sendiri maka yang dibutuhkan hanyalah untuk membedakan antara kenyataan mengambil salah satu antara keduanya dan kenyataan untuk meninggalkan keduanya; melekat pada diri sendiri tidak berarti melekat pada tindakan menentukan satu tanggal tertentu dan membedakan tindakan ini dari tindakan meninggalkan tanggal yang lain... dia memberikan pilihan pada tindakan memilih di atas tindakan tidak memilih.

Al-Ghazali memperluas ruang lingkup argumen tersebut untuk menunjukkan bahwa ada perubahan bagi struktur alam semesta, baik dapat berubah menjadi lebih baik maupun menjadi lebih jelek. Oleh karena itu, tidak ada alasan khusus bagi Tuhan dalam menentukan satu tipe tertentu alam semesta dan bukan tipe yang lain. Ia mempertimbangkan keberatan yang mempertanyakan apa yang telah mendorong sang pencipta untuk menciptakan dunia pada satu waktu dan bukan pada waktu yang lain. Sebagaimana yang telah kita lihat, Al-Ghazali menjawab bahwa meskipun mulanya tidak ada waktu, ketika alam semesta diciptakan, hal itu menuntut bahwa penciptaan harus terjadi pada waktu itu (yang berarti dapat mengurangi kekuasaan Tuhan). Sekalipun demikian, tindakan yang berdasarkan keinginan murni sang penciptalah yang memilih waktu itu sendiri.

Al-Ghazali menjelaskan lebih lanjut, Waktu memang dibentuk dan diciptakan, dan sebelum itu tidak ada waktu sama sekali. Arti pokok dari kata-kata tersebut adalah bahwa Tuhan lebih dahulu ada daripada dunia dan waktu. Dia ada tanpa dunia dan tanpa waktu dan kemudian ia ada dan bersamanya ada dunia dan ada pula waktu... dunia adalah seperti orang pertama tunggal. Al-Ghazali berpendapat bahwa sebelum penciptaan dunia, Tuhan telah ada, tetapi tidak dalam ruang lingkup dimensi waktu. Jika kita ingin tahu apa arti sebenarnya dari kata-kata bahwa sebelum penciptaan dunia di sana tidak ada waktu, dan jika kita ingin tahu cara kita dapat menggunakan istilah temporer untuk menunjuk pada periode yang nontemporer, Al-Ghazali berpendapat bahwa kita ini disesatkan oleh imajinasi kita.

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa: Orang yang menduga bahwa sebelum keberadaan dunia ada satu kemungkinan yang unik yang tidak pernah hilang, harus meyakini bahwa dunia ini adalah kekal. Orang yang meyakini, seperti Ghazali dalam jawabannya, bahwa sebelum adanya dunia ini terdapat sejumlah kemungkinan dunia yang tidak terbatas, harus mengakui bahwa sebelum dunia ini ada telah ada dunia lain dan sebelum dunia yang kedua ini ada, ada dunia yang ketiga, demikian seterusnya secara tidak terbatas, seperti halnya keadaan manusia, dan terutama ketika diperkirakan bahwa hancurnya generasi yang terdahulu merupakan syarat yang harus berlaku keberadaan generasi berikutnya.

Perdebatan itu sampai pada titik temu bahwa dunia ini ada atau tidak ada adalah suatu kemungkinan dan kenyataan bahwa dunia ini ada sekarang.

Berawal dari asumsi ini, Ibnu Rusyd menambahkan dengan nada persetujuannya dengan rumusan Ghazali tentang argumen pada filsuf: Ringkasnya... bahwa segala sesuatu yang ada bersifat mungkin sebelum dia itu ada, dan sifat kemungkinan tersebut membutuhkan sesuatu bagi inti substansinya, yaitu landasan yang dapat menerima atau mewadahi apa-apa yang bersifat mungkin tadi... Karena kemungkinan yang mendahului segala sesuatu yang ada adalah mustahil, jika keberadaannya tanpa landasan dasar (substratum) atau pelaku (agen) yang hendaknya menjadi landasan dasarnya atau sesuatu yang bersifat mungkin itu sendiri... maka sesuatu yang paling pokok dan tetap tinggal berfungsi sebagai alat atau wadah bagi segala kemungkinan adalah materi. Materi sejauh dia itu adalah materi dia tidak akan dapat menjadi ada, karena jika dia itu ada, dia akan membutuhkan materi lain dan kita akan berhadapan dengan gerak mundur yang tidak terbatas. Materi-materi itu yang dapat berubah menjadi ada sejauh mana dia dikaitkan dengan bentuk. 


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Al-Ghazali. Riwayat Hidup
2. Al-Ghazali. Karya Filsafat
3. Al-Ghazali. Pemikiran Filsafat
4. Tipologi Filsafat Al-Ghazali
5. Al-Ghazali. Paham Bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Juz'iyyat 
6. Al-Ghazali. Paham Kebangkitan Jasmani
7. Al-Ghazali. Metafisika
8. Al-Ghazali. Klasifikasi Ilmu
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Al-Ghazali. Paham Qadim-nya Alam"