Filsafat Kehendak. Paul Ricoeur

Konon sebagai mahasiswa muda dan sebelum berkenalan dengan pemikiran Husserl, Ricour sudah mempunyai cita-cita akan menjadi orang pertama di tanah air Descartes dan tempat lahir intelektualisme, yang menciptakan suatu filsafat kehendak. Jilid pertama dari Filsafat kehendak diberi judul khusus Yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dalam jilid ini Ricoeur ingin menyajikan suatu deskripsi murni tentang kehendak dan aktus-aktusnya. Konkret itu berarti suatu usaha untuk melukiskan struktur-struktur fundamental dari apa yang dikehendaki manusia dan unsur-unsur dalam eksistensinya yang tidak bergantung pada kehendaknya, sebab kehendak selalu beraksi dalam suatu lingkungan yang tidak dikehendaki.
Filsafat Kehendak Paul Ricoeur
Paul Ricoeur
Manusia selalu terbentur pada oposisi antara kebebasan dan keniscayaan; selalu ada hubungan timbal balik antara yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dan yang tidak dikehendaki itu harus dimengerti dengan bertitik tolak dari subjek, sebab unsur yang pertama ialah bahwa saya mengerti diri saya sebagai saya berkehendak (volo, sejajar dengan cogito Descartes). Untuk melaksanakan proyek ini Ricoeur menggunakan metode fenomenologi Husserl. Atau lebih tepat lagi dapat dikatakan, ia menggunakan bagian metode Husserl yang mencari eidos atau hakikat sesuatu. Ia ingin memberikan suatu eidetika tentang kehendak, suatu pelukisan tentang eidos kehendak. Untuk itu perlu diadakan dua abstraksi, yang kiranya mengingatkan kita pada reduksi dalam filsafat Husserl, namun tidak boleh disamakan begitu saja dengan berfungsinya reduksi dalam pemikiran pendiri fenomenologi itu.

Karena ia ingin memberikan suatu deskripsi murni tentang kehendak, lebih dahulu harus ditempatkan dalam tanda kurung masalah kesalahan etis (faute) yang bersifat absurd dan masalah transendensi yang penuh misteri. Supaya dapat melukiskan kehendak menurut struktur-struktur yang dapat dimengerti, untuk sementara kita harus mengurung kesalahan etis yang irasional dan transendensi ilahi yang metarasional. Dalam hal ini ia mengkritik di satu pihak Kierkegaard, Jaspers, dan Heidegger yang mengontologisasikan kebersalahan (culpabilitie; Inggris culpability) manusia, artinya menjadikan kebersalahan suatu unsur yang termasuk eksistensi manusia sendiri, dan di lain pihak filusuf-filusuf seperti Blondel yang terlalu cepat beralih dari perbuatan (action) ke transendensi.

Dalam perwujudan konkert kehendak Ricoeur membedakan tiga tahap: memutuskan (decider), melakukan (agir) dan menyetujui (consenter). Tiga wilayah penelitian ini merupakan tiga bagian besar buku Ricoeur. Memutuskan meliputi proyek atau rancangan, pilihan, dan motivasi. Di sini tentu deskripsi murni menurut metode fenomenologi dapat dilaksanakan. Tetapi jika ia beralih ke faktor-faktor yang tidak dikehendaki yang berkaitan dengan bidang ini, seperti kebutuhan-kebutuhan, kesenangan dan ketidaksenangan, metode fenomenologis sudah tidak memadai, karena metode itu membatasi diri pada kesadaran murni, sedangkan faktor-faktor tersebut menyangkut pengalaman tubuh dan sejarah pribadi seseorang. Karena itu di sini ia harus memperluas metodenya dengan suatu partisipasi ekistensial di mana ia mengambil Gabriel Marcel (dan analisanya tenang tubuhku) sebagai sumber inspirasi.

Tahap melakukan dalam bentuk yang paling fundamental adalah saya menggerakkan tubuh saya. Suatu deskripsi murni dapat menjelaskan apa yang oleh Ricoeur disebut pragma atau apa yang dilakukan, yang merupakan kutub intensional dari aktus melakukan. Tetapi karena peranan tubuh sebagai alat perbuatan di sini timbul kesulitan-kesulitan besar, sebab melalui tubuhnya subjek terlibat dalam dunia material. Dapat diperkirakan bahwa Ricoeur dalam konteks ini dengan tegas menolak setiap konsepsi dualistis tentang manusia, artinya setiap konsepsi yang memandang manusia sebagai keduaan yang terdiri atas tubuh dan jiwa tanpa menghiraukan kesatuannya. Lagi pula, pada tahap ini kehendak tercampur dengan banyak aspek yang tidak dikehendaki; seperti insting, emosi, dan kebisaan-kebisaan. Fenomena percobaan (effort) menurut Ricoeur di sini sebagian dapat menjembatani kesenjangan antara yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki.

Tahap terakhir meliputi aktus menyetujui yang oleh Ricoeur dimengerti sebagai menerima, membuat menjadi miliknya sendiri. Menyetujui itu menyangkut faktor yang tidak dikehendaki yang dapat disebut keniscayaan. Bukan keniscayaan yang terdapat dalam ilmu pengetahuan (seperti hukum-hukum alam yang tak terelakkan) melainkan necessite vecue, kata Ricoeur, keniscayaan yang dihayati; artinya bukan keniscayaan yang berhadapan dengan manusia secara objektif, melainkan keniscayaan yang melekat pada subjektivitasnya. Keniscayaan yang dihayati ini mencakup watak, ketidaksadaran dan apa yang dengan suatu istilah umum dapat disebut kehidupan (misalnya fase-fase pertumbuhan, kelahiran—salah satu tema original dalam pemikiran Ricoeur—dan usia).

Seluruh analisa ini berakhir dengan suatu evaluasi filosofis terhadap kebebasan. Ricoeur menganggap kebebasan sebagai percampuran antara ketergantungan dan ketidaktergantungan dan sebagai perdamaian antara unsur-unsur yang dikehendaki dan unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam diri manusia. Tetapi kebebasan bukanlah penciptaan absolut. Suatu kebebasan yang bersifat manusiawi dan tidak ilahi, kata Ricoeur. Biarpun nama Sartre tidak disebut eksplisit, dapat saja diandaikan bahwa Ricoeur dengan itu menolak pandangan ekstrem tentang kebebasan dari tokoh eksistensialisme yang begitu ramai dibicarakan dalam kalangan filosofis Prancis pada waktu itu.

Jilid kedua Filsafat Kehendak mempunyai judul umum Keberhinggaan dan Kebersalahan. Di sini Ricoeur menghapus abstraksi pertama yang dilakukan dalam jilidnya yang pertama, yaitu kesalahan etis dan kebersalahan. Seperti sudah kita lihat, jilid kedua ini terdiri atas dua buku tersendiri. Anak judul untuk bagian pertama adalah Manusia yang Dapat Salah. Bahwa manusia bisa salah merupakan suatu prasyarat bagi terjadinya kejahatan. Bagaimana falibilitas (fallibility) itu mungkin? Di sini Ricoeur mengaitkan metode fenomenologi dengan metode transendental Kant. Sesudah itu penelitian panjang dan teliti, Ricoeur sampai pada kesimpulan bahwa dasar untuk falibilitas itu terletak pada usaha manusia untuk memperdamaikan keberhinggaan dan ketakberhinggaan; usaha yang tidak pernah berhasil. Usaha itu dipraktekan manusia dibidang pengenalan, perbuatan, dan terutama perasaan. Di semua bidang itu ia terbentur pada adanya disproposisi antara keberhinggaan dan ketakberhinggaan yang tidak mungkin diatasi. Kerapuhan manusia, biang keladi kemungkinan untuk dapat salah, terletak dalam non-coincidence of man with himself suatu disproposisi yang membelah eksistensi manusia sendiri.

Dibidang pengenalan disproposisi itu tampak dalam pengenalan inderawi yang bersifat berhingga di satu pihak dan pengenalan rasional yang mempunyai suatu pretense tak berhingga di lain pihak. Di bidang perbuatan disproposisi itu menjadi kentara dalam ketegangan antara watak manusia (perspektif terbatas bagi seluruh kesanggupannya) dan kebahagiaan, horizon tak terbatas yang meliputi semua nilai. Teristimewa disproposisi dalam eksistensi itu tampak dalam hati sanubari manusia yang tidak pernah puas, selalu gelisah, selalu mencari objek yang lebih baik dan lebih memuaskan. Terutama dalam hati manusia kita menyaksikan terjadinya konflik antara kutub berhingga dan kutub tak berhingga. Terutama hati yang tidak stabil itu dikemukakan Ricoeur sebagai the weak point, di mana yang jahat memasuki manusia.

Tetapi dengan menjelaskan kemungkinan terjadinya kejahatan belum disinggung kejahatan sendiri sebagai fakta. Dalam bagian kedua dari Keberhinggaan dan kebersalahan yang berjudul Simbol-Simbol tentang Kejahatan Ricoeur mempelajari kejahatan konkret dalam eksistensi manusia. Untuk dapat menyelidiki kejahatan sebagai kenyataan Ricoeur tidak bertolak dari pandangan-pandangan dan teori-teori tentang kejahatan, ia ingin memperlihatkan bagaimana manusia—dan konkret itu berarti manusia beragama—mengalami kejahatan atau—lebih tepat lagi—bagaimana manusia itu mengakui kejahatan. Bahasa yang dipakai manusia untuk mengakui pengalamannya tentang kejahatan bersifat simbolis. Maka dari itu langkah pertama dalam refleksi Ricoeur tentang kejahatan ini ialah mempelajari tiga simbol pokok yang dipakai manusia untuk mengungkapkan pengalamannya itu: noda, dosa, dan kebersalahan (guilt).

Yang menandai simbol pertama—noda—adalah bahwa di situ kejahatan dihayati sebagai sesuatu pada dirinya (in itself). Kejahatan dilihat sebagai sesuatu yang merugikan yang datang dari luar dan dengan cara magis menimpa serta mencemarkan manusia. Kejahatan di sini masih merupakan suatu kejadian objektif; misalnya, orang yang dengan tidak sengaja menjadi najis, terkena juga. Berbuat jahat berarti melanggar suatu orde atau tata susunan yang tetap harus dipertahankan seperti apa adanya dan karena itu—kalau pernah dikacaukan—perlu dipulihkan kembali. Orang yang dinajiskan masih mengalami kejahatan setengah fisis dan setengah etis. Sifat objektif dan serentak subjektif itu tampak dalam ritus pentahiran (mencuci tubuh atau bagian tubuh) yang tidak pernah dihayati sebagai pencucian yang semata-mata material. Mungkin karena alasan itu noda sebagai dimensi simbolis tidak pernah akan hilang seluruhnya dari penghayatan mengenai kejahatan, biarpun bagi orang modern dimensi ini kurang penting dibandingkan dengan manusia dan masyarakat tradisional (yang tampak misalnya dalam penghayatan orang modern terhadap seksualitas).

Menurut simbol kedua—dosa—manusia melakukan kejahatan di hadapan Tuhan. Simbol ini untuk pertama kali tampil ke muka dalam kesadaran religius bangsa Israel pada zaman nabi-nabi. Berbuat jahat tidak lagi berarti melanggar suatu tata susunan yang magis dan anonym, melainkan ketidaktaatan terhadap Allah yang telah mengadakan suatu Perjanjian dengan bangsa-Nya. Dosa merupakan ketidaksetiaan bangsa Israel terhadap Allah yang setia. Dan reaksi terhadap dosa bukanlah suatu balasan buta dari suatu tata susunan anonym, melainkan murka Allah. Tetapi di sini juga tata susunan Perjanjian dapat dan harus dipulihkan. Melalui pengasingan di tempat jauh dan hukuman-hukuman lainnya Israel dibebaskan dari dosanya.

Simbol “dosa” itu diungkapkan dalam banyak simbol lain lagi. Pertama-tama terdapat suatu kelompok simbol-simbol yang menggarisbawahi sifat negatif dari dosa sebagai terputusnya hubungan dialogal dengan Allah. Dosa adalah menempuh jalan kesesatan, pemberontakan terhadap kekuasaan Allah atau zinah (Nabi Hosea). Mengganti kemuliaan Allah dengan berhala adalah udara, kesia-siaan, asap, dan dusta. Pendeknya, dosa adalah, ketiadaan. Memilih antara baik dan jahat tidak sama dengan memilih antara dua kenyataan; pilihan itu antara Allah dan ketiadaan. Sekelompok simbol-simbol lain melukiskan dosa sebagai sesuatu yang lebih positif sifatnya, sebagai sesuatu yang real di luar manusia. Dosa misalnya dilambangkan sebagai perbudakan, pengasingan, hati yang membatu: pendeknya, suatu kuasa dari luar yang menimpa manusia. Di sini simbolisme lebih dekat dengan kenajisan dan noda. Sifat positif dosa itu antara lain tampak dari kenyataan bahwa dosa diampuni atau dihapus, malah dosa-dosa yang sudah dilupakan atau tidak disadari. Tetapi juga dalam konteks ini realitas dosa (termasuk besar kecilnya) tidak ditentukan oleh suatu tata susunan anonym, melainkan diukur dan ditentukan oleh pandangan Allah yang mengetahui segala sesuatu.

Simbol yang ketiga adalah kebersalahan (guilt). Cara penghayatan tentang kejahatan ini berkembang di Israel sesudah pengasingan di Babilonia selesai. Pada waktu itu kejahatan ditemukan sebagai kebersalahan pribadi. Simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan kebersalahan ini adalah terutama beban dan kesusahan yang menekan dan memberatkan hati nurani saya. Dari dosa yang menyangkut bangsa seluruhnya, kebersalahan menjadi sesuatu yang menyangkut saya pribadi. Dari sesuatu yang terdapat di luar saya, kebersalahan telah menjadi sesuatu di dalam diri saya. Telah berlangsung suatu proses internalisasi dan personalisasi dalam cara manusia menghayati kejahatan. Kejahatan merupakan perbuatan saya yang bebas; bukan lagi suatu kuasa dari luar yang menyergap saya. Saya bersalah, karena saya bertanggungjawab. Dalam konteks kebersalahan, berbuat jahat dihayati sebagai suatu pengkhianatan terhadap hakikat saya yang sebenarnya, bukan—seperti dosa—sebagai suatu pemberontakan terhadap Tuhan. Kesempurnaan manusia tercapai dengan memenuhi peraturan-peraturan dan perintah-perintah Tuhan secara seksama (aliran Farisi), tetapi dengan melanggar peraturan-peraturan dan perintah-perintah itu saya tidak bersalah terhadap Tuhan, melainkan terhadap diri saya sendiri. Orang yang bersalah menjadi terisolasi: ia sendiri adalah hakim dan terdakwa sekaligus. Ia terkurung dalam dirinya. Nah, seluruh situasi ini menghadapi suatu jalan buntu. Justru pemenuhan peraturan-peraturan (Hukum Taurat) dan pelaksanaan kesempurnaan yang saya sendiri wujudkan adalah dosa, karena saya sebagai orang saleh meninggikan diri terhadap Allah yang hanya dapat memberikan kesempurnaan sebagai anugerah (Rasul Paulus, khususnya dalam surat kepada umat di Roma). Pembebasan hanya mungkin, kalau ketertutupan manusia dibuka dan ia dibenarkan oleh kebaikan Tuhan dengan tidak memperhitungkan kebersalahannya.

Setelah menguraikan simbol-simbol dasar yang mengungkapkan penghayatan manusia terhadap kejahatan, dalam suatu langkah kedua Ricoeur mempelajari mitos-mitos yang menceritakan dari mana asalnya kejahatan (dalam arti segala hal yang kurang beres di dunia ini: dosa, kematian, kesusahan) dan bagaimana kesudahannya atau bagaimana kejahatan itu dapat diatasi. Mitos-mitos boleh disebut simbol-simbol sekunder, karena membeberkan dalam bentuk cerita simbol-simbol dasar yang dipelajari tadi, yang merupakan simbol-simbol primer. Mitos-mitos tentang kejahatan menurut Ricour mempunyai tiga fungsi. Pertama, mitos-mitos itu menyediakan suatu universalitas konkret bagi pengalaman manusia tentang kejahatan. Pahlawan, leluhur atau manusia pertama dari mitos merupakan model bagi umat manusia seluruhnya. Kedua, dengan cerita tentang awal mula dan kesudahan kejahatan itu mitos membawa suatu orientasi dan ketegangan dramatis dalam hidup manusia: pengalaman manusia dikaitkan dengan suatu sejarah yang menyangkut kebinasaan dan keselamatan. Ketiga, yang paling penting ialah bahwa dalam bentuk cerita mitos menjelaskan peralihan dari keadaan manusia tak berdosa yang asli ke keadaannya sekarang yang penuh noda, dosa, dan kebersalahan. Mitos mempunyai suatu aspek ontologis: memandang hubungan antara keadaan manusia yang asli dengan keadaan historisnya sekarang yang ditandai alienasi.—Tetapi, dari semula perlu disadari bahwa mitos tidak sama dengan alegori. Simbol-simbol yang digunakan dalam mitos tidak mungkin diterjemahkan dengan konsep-konsep; bahasa mitis tidak pernah diganti begitu saja dengan bahasa rasional.

Orang yang ingin mempelajari mitos-mitos tentang kejahatan harus mulai dengan mengadakan klasifikasi. Ia harus berusaha membedakan beberapa tipe mitos. Ricoeur membedakan empat macam mitos yang menyangkut awal mula dan kesudahan kejahatan: mitos kosmis, mitos tragis, mitos tentang Adam, dan mitos Orfis.

Mitos Babilonia yang bernama Enuma Elish dapat dianggap sebagai salah satu contoh khas tentang mitos kosmis. Dalam mitos itu kejahatan disamakan dengan khaos (keadaan kacau balau) yang terdapat pada awal mula. Dan sebaliknya, keselamatan atau pembebasan dari kejahatan disamakan dengan penciptaan dunia. Dunia diciptakan dengan kemenangan dewa Marduk atas naga laut Tiamat. Jadi, dunia diciptakan sebagai akibat perkelahian antara dewa-dewa, di mana Tiamat melambangkan keadaan kacau balau. Dengan kemenangan Marduk, khaos diatasi dan segera lahirlah kosmos (dunia yang teratur) yang dibentuk dari bagian-bagian mayat Tiamat. Manusia diciptakan sebagai akibat suatu perkelahian lain lagi, ketika dewa Ea—atas nasihat Marduk—membentuk manusia dari darah seorang dewa lain yang telah dikalahkannya. Dengan demikian penciptaan manusia adalah kemenangan definitive atas khaos dan serentak juga saat definitive didirikannya dunia yang teratur. Dalam pandangan mitis ini penciptaan dan keselamatan dianggap identik. Bisa terjadi, kadang kala khaos dari awal mula itu tampil ke muka lagi; kalau begitu, dengan ritus-ritus kemenangan Marduk yang pertama sekali lagi harus diulangi.

Mitos tragis menurut bentuknya yang paling jelas dijumpai dalam tragedy-tragedi Yunani, khususnya tragedy-tragedi yang ditulis Aiskhylos. Menurut pandangan tragis tentang manusia, dewa merupakan asal-usul kejahatan; dewa yang tidak berwujud persona, yang disebut Moira (suratan nasib, takdir), theos (tanpa kata sandang: ketuhanan), kakos daimon (roh jahat). Dewa mengakibatkan pahlawan (artinya manusia) menjadi bersalah dan terkutuk karena bersalah. Kejahatan adalah takdir yang menimpa seseorang karena ketidaktahuan atau kebutaan. Orang yang melakukan kejahatan lebih mirip dengan korban daripada dengan penjahat. Oidipus tidak mengetahui dan tidak menghendaki apa yang telah dilakukannya, ketika ia membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Kenajisan yang menimpa dirinya karena perbuatan itu tidak lain dan tak bukan adalah kutuk yang telah ditakdirkan menjadi nasibnya. Tragik memuncak lagi bila sang pahlawan menentang nasib yang telah ditakdirkan dan diramalkan tentang dia. Justru dengan menentang dan berusaha melarikan diri, ia mewujudkan nasib yang menimpa dirinya dengan tidak mengenal ampun. Drama tragedi yang menggambarkan kehidupan manusia itu menimbulkan fobos (ketakutan) akan kehidupan insani yang terancam dan terkutuk, tetapi juga eleos (kasihan) dengan eksistensi manusia yang karena takdir ilahi itu jahat dan penuh kesusahan. Dalam tragedi Yunani perasaan-perasaan dibahasakan dan dinyanyikan oleh paduan suara yang bertindak sebagai penonton dan komentator. Tetapi di sini juga terbuka kemungkinan untuk semacam keselamatan, bukan dalam arti ia dibebaskan dari penderitaan melainkan dalam arti ia diperdamaikan dengan nasibnya. Dengan menyaksikan petualangan-petualangan sang pahlawan di pentas dan turut menghayati apa yang dinyanyikan oleh paduan suara, si penonton mencapai catharsis, pembersihan hati, karena ia mengerti bahwa manusia harus menyerah kepada takdir yang tak terhindarkan. Pathei mathos—kata Aiskhylos--, manusia harus menderita untuk dapat mengerti. Kebebasan di sini sama dengan menerima apa yang mutlak harus terjadi.

Dalam mitos tentang Adam yang diceritakan dalam Kitab Kejadian, kitab pertama dari Kitab Suci Yahudi, manusia sendirilah ditunjukkan sebagai asal-usul kejahatan. Semua hal yang tidak beres masuk dunia karena manusia (Adam berarti manusia). Di sini kita menjumpai suatu mitos antropologis tentang kejahatan. Cerita tentang Adam itu mengungkapkan dengan cara mitis penghayatan bangsa Israel mengenai asal mula kejahatan yang sudah kita pelajari dalam simbol dosa. Karena monotheismenya yang mempunyai pandangan etis yang luhur, Israel menolak setiap mitos yang mengasalkan kejahatan dari Allah. Kejahatan berasal dari lubuk hati manusia; kejahatan disebabkan karena manusia tidak setia, karena ia jatuh. Penciptaan Tuhan itu sendiri baik dan sempurna, hanya manusia bertanggung jawab atas segala ketidakberesan dalam dunia.

Menurut Ricoeur, mitos Hibrani ini mempunyai dua segi dan akibatnya dapat dibaca dengan dua cara. Menurut suatu skema pertama peralihan dari keadaan baik ke keadaan jahat berlangsung karena satu orang, satu perbuatan dan pada satu saat. Satu orang yaitu Adam, mewakili seluruh umat manusia; bersama dengan diri Adam setiap manusia jatuh dalam dosa. Kejadian itu berlangsung dengan satu perbuatan, yaitu memakan buah terlarang dan dengan demikian pada satu saat keadaan tak berdosa berubah menjadi keadaan terkutuk. Dengan mendadak terjadilah keretakan dalam ciptaan Tuhan yang selaras dan sempurna itu; dunia yang diciptakan begitu bagus telah menjadi busuk. Di samping itu terdapat suatu skema kedua di mana terjatuhnya manusia digambarkan sebagai suatu drama yang mengikutsertakan beberapa tokoh dan beberapa fase. Selain dari Adam memainkan peranan juga Hawa dan ular. Ular mengingatkan kita pada naga-naga dari mitologi Babilonia, tetapi menurut mitos Hibrani ular itu bukanlah dewa melainkan ciptaan: Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh Tuhan Allah (kej. 3:1). Ular menggodai Hawa, yang kiranya melambangkan kerapuhan dan kelemahan manusia. Dan Hawa lalu menggodai Adam. Dalam peristiwa penggodaan ini menjadi jelas bahwa dosa tidak berasal dari manusia saja. Pendosa telah digodai. Kejahatan yang dilakukannya sudah ada sebelum ia jatuh. Kejahatan mendahului manusia. Ular melambangkan kejahatan yang berada di luar manusia, seperti halnya dengan simbol noda. Manusia tidak berbuat lain daripada melanjutkan kejahatan yang sudah ada sebelumnya. Dosa tidak pernah merupakan sesuatu yang baru, tetapi hanya meneruskan serta mengikutsertakan kuasa jahat yang mendahului manusia.—Dalam pandangan ini keselamatan tidak lagi bertepatan dengan penciptaan, seperti halnya dalam mitos kosmis. Keselamatan menjadi eskatologis (menyangkut akhir zaman). Keselamatan dinantikan dari seorang Penebus—Adam yang kedua—yang pada akhir zaman akan merampungkan penebusan yang sudah dimulai, dengan menciptakan bumi yang baru dan menggenapkan sejarah umat manusia.

Masih terdapat mitos tipe lain yang mempunyai kedudukan agak terisolasi tetapi pengaruhnya besar sekali dalam kebudayaan Barat. Oleh Ricoeur mitos ini disebut mitos tentang jiwa yang diasingkan atau juga mitos Orfis, karena berasal dari tradisi keagamaan Yunani yang dikenal sebagai Orfisme. Suatu aliran keagamaan yang menjalankan pengaruh mendalam atas perkembangan filsafat Yunani, khususnya Platoisme, dan Neoplatonisme. Mitos ini memecah manusia ke dalam jiwa dan tubuh. Jiwa datang dari tempat lain dan mempunyai status ilahi tetapi sekarang terkurung dalam tubuh. Jadi, manusia telah jatuh karena jiwanya dikaitkan dengan tubuh dan dalam keadaan itu kejahatannya semakin bertambah dan semakin bertambah pula kerinduan akan pembebasan. Pembebasan itu diperoleh melalui jalan pengetahuan, khususnya pengetahuan bahwa tubuh itu hanya hawa nafsu dan bahwa jiwa harus menentangnya untuk sekali lagi dapat mencapai taraf ilahi.

Sebagai filsuf kita tidak boleh membatasi diri pada suatu analisa tentang simbol-simbol dan mitos-mitos yang mengungkapkan pengalaman manusia terhadap kejahatan. Filsuf harus berusaha juga untuk menggali dan memahami kebenaran yang terkandung dalam semuanya itu. Ricoeur berpendapat bahwa di sini ia harus mengadakan suatu pertaruhan (le pari; kata yang tentu saja mengingatkan kita pada Pascal). Ia bertaruh bahwa suatu refleksi filosofis mengenai kejahatan harus berpusatkan mitos tentang Adam. Dari situ semua mitos lain akan dapat dimengerti dan sebagian dibenarkan sebagian dikritik. Pilihannya berakar dalam kenyataan bahwa mitos Yahudi itu memberi tempat kepada kebebasan dan tanggung jawab manusia. Namun demikian, mitos tentang Adam itu menjelaskan kejahatan tidak semata-mata etis; manusia bukan saja bersalah karena ia melakukan kejahatan dengan cara bebas, secara tak terelakkan ia juga menjadi korban kejahatan karena ia menyerah pada kejahatan yang sudah merajalela. Yang terakhir itu adalah kebenaran dari mitos tragis, sebagaimana juga mitos-mitos lain memuat unsur-unsur kebenaran. Bila kita membaca mitos-mitos lain dalam perspektif mitos tentang Adam itu, tampaklah dimensi-dimensi supra-etis dari kejahatan dan serentak juga batas-batas suatu pandangan eksklusif etis tentang kejahatan. Mitod Hibrani ini membutuhkan mitos-mitos yang lain, supaya teologinya tidak menjadi suatu monotheisme etis yang terlalu simplistik (Allah sebagai legislator dan Hakim sepenuh-penuhnya berhadapan dengan subjek etis yang selalu dan seluruhnya bebas). Dengan demikian, Allah pada akhirnya tetap Deus Absconditus (Allah yang Tersembunyi) dan manusia tidak saja bersalah tetapi juga menjadi korban suatu mysterium iniquitatis (misteri kejahatan), karena hal-hal yang tidak beres di dunia ini tidak pernah merupakan semata-mata hukuman saja.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber:
Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta. 


Baca Juga
1. Faul Ricoeur. Biografi 
2. Faul Ricoeur. Menuju Filsafat Bahasa
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Filsafat Kehendak. Paul Ricoeur"