Faul Ricoeur. Menuju Filsafat Bahasa

Menuju Filsafat Bahasa Faul Ricoeur
Faul Ricoeur
Jilid ketiga dari Filsafat Kehendak di mana abstraksi yang kedua, yaitu Transendensi, akan diatasi, sampai sekarang belum tersedia. Sementara itu perhatian Ricoeur telah ditarik ke masalah-masalah lain, khususnya masalah-masalah yang menyangkut Bahasa. Tema ini juga sudah dijumpai Ricoeur dalam filsafatnya tentang kehendak, ketika ia berefleksi tentang kejahatan. Ternyata masalah kejahatan tidak mungkin didekati melalui suatu usaha pembahasan langsung, seperti telah dilaksanakan sebelumnya tentang tema-tema maksud, motif, dan lain-lain dalam bagian pertama.

Karena itu metode fenomenologis tidak mungkin diterapkan di situ dan Ricoeur terpaksa menempuh suatu jalan putar dengan menggunakan metode hermeneutis mengenai simbol-simbol yang mengungkapkan pengalaman tentang kejahatan dalam kebudayaan-kebudayaan besar dulu: baik simbol-simbol primer (noda, dosa, dan kebersalahan) maupun simbol-simbol sekunder (mitos-mitos yang menceritakan tentang asal-usul serta cara mengatasi kejahatan). Dengan demikian hermeneutika muncul untuk pertama kali dalam rangka suatu refleksi filosofis tentang kehendak. Tetapi terdapat beberapa konsepsi tentang hermeneutika. Dengan mempraktekan hermeneutika, Ricour sendiri berusaha bukan saja mencari makna tersembunyi dari simbol-simbol, melainkan juga memperluas perspektifnya, belajar dari simbol-simbol, memperkaya pengetahuannya. Ia mempraktekan apa yang disebutnya a hermeneutics of recollection


Tetapi di samping itu terdapat suatu hermeneutika lain, suatu hermeneutika reduktif, suatu hermeneutika yang curiga terhadap apa yang tampak secara langsung dan berusaha mengasalkannya kepada sesuatu lain, suatu hermeneutika yang mereduksikan. Nah, justru itulah hermeneutika yang dipraktekan dalam psikoanalisa Freud terhadap masalah kebersalahan. Oleh Freud kebersalahan sebagian diasalkan dari kelainan neurotis dan sebagian dari pengaruh represif yang dijalankan oleh norma-norma kultural dan sosial. Ini menjadi alasan bagi Ricoeur untuk mendalami psikoanalisa. Dan tentu ada juga alasan bahwa simbol-simbol (seperti gejala neurotis, mimpi-mimpi, dan lain-lain) diberi tempat penting dalam penelitian psikoanalitis. Mula-mula ia bermaksud mempelajari tema kebersalahan saja pada Freud, tetapi lama kelamaan menjadi jelas ia harus menyoroti teori psikoanalitis sebagai keseluruhan. Antara lain karena dengan penemuannya tentang ketidaksadaran psikoanalisa mempersoalkan secara amat radikal konsep subjektivitas sebagaimana digunakan sepanjang sejarah filsafat Barat, termasuk filsafat Ricoeur sendiri. Semuanya itu diselidiki dan direnungkan Ricoeur dalam karyanya yang besar Perihal Interpretasi. Esei tentang Freud.

Sementara itu terjadilah perubahan besar dalam situasi filosofis di Prancis. Perhatian untuk fenomenologi dan eksistensialisme telah tergeser dengan timbulnya strukturalisme. Ricoeur, yang selalu peka terhadap aktualitas dalam pemikiran filosofis, harus menentukan posisinya dalam debat sekitar strukturalisme itu. Sebagaimana sudah kita ketahui, strukturalisme mengambil ilmu bahasa—khususnya fonologi—sebagai model untuk menjelaskan semua macam penggunaan tanda dalam kehidupan manusia. Dan menurut pikiran mereka bahasa harus dimengerti sebagai sebuah sistem, sebelum dapat dipandang sebagai sebuah proses kreatif. Sistem ini tidak disadari oleh si pemakai bahasa, tetapi menentukan dia pada taraf tak sadar. Pengikut-pengikut strukturalisme menarik konsekuensi-konsekuensi radikal dari konsepsi ini, antara lain mereka menolak prioritas subjek yang begitu ditekankan dalam eksistensialisme dan fenomenologi. 


Mereka mengakibatkan juga kesulitan besar bagi hermeneutika, sebab menurut mereka Bahasa tidak menunjuk kepada sesuatu di luar dirinya. bahasa merupakan suatu sistem tertutup di mana setiap unsur menunjuk ke semua unsur lain; sia-sia saja kita mencari suatu makna yang menunjuk ke luar, yaitu ke dunia, sebagaimana selalu diandaikan oleh hermenutika. Bagi strukturalisme, bahasa tidak menunjuk ke suatu dunia di luar; bahasa membentuk suatu dunia tersendiri. Juga hubungan dengan penutur atau pengarang yang memaksudkan suatu makna dan dengan pendengar atau pembaca yang menafsirkan makna itu ditolak oleh mereka sebagai subjektivisme yang tidak dapat diterima. Timbulnya strukturalisme itu (bersama beberapa aspek dari psikoanalisa yang memperlihatkan tendensi yang sejenis). Oleh Ricoeur dialami sebagai tantangan. Di satu pihak ia berusaha belajar dari strukturalisme. Pendekatan struktural dimasukannya dalam pendekatan hermeneutis. Ia mengakui sifat bahasawi (the lingual character) dari simbol-simbol; simbol-simbol itu memang tercantum dalam suatu sistem bahasawi. Dilain pihak ia mencoba mengkritik strukturalisme sebagai suatu pandangan yang terlalu berat sebelah tentang bahasa. Untuk melaksanakan kedua usaha itu Ricoeur memusatkan perhatian hermeneutisnya pada teks. 

Di antara unsur-unsur bahasa lainnya sebuah teks (jadi, suatu diskursus tertulis yang menurut Ricoeur tidak dapat diasalkan begitu saja kepada diskursus lisan) mempunyai ciri-ciri khusus. Sebuah teks adalah otonom atau berdiri sendiri: tidak bergantung pada maksud pengarang, pada situasi historis karya atau buku di mana teks tercantum dan pada pembaca-pembaca pertama. Kalau hermeneutika diterapkan pada teks, sifat hermeneutika sendiri berubah. Hermeneutika tidak lagi mencari makna tersembunyi di balik teks (seperti dilakukan Ricoeur dalam hermenutika tentang simbol-simbol dulu), tetapi mengarahkan perhatiannya kepada makna objektif sebuah teks, terlepas dari maksud subjektif pengarang atau orang lain. Menginterpretasikan sebuah teks bukannya mengadakan suatu relasi intersubjektif antara subjektivitas pengarang dan subjektivitas pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus: diskursus teks dan diskursus interpretasi. Interpretasi selesai, bila dunia teks dan dunia interpretator bercampur baur menjadi satu.

Dengan mendekati teks-teks secara objektif--terlepas dari relasi-relasi intersubjektifnya--Ricoeur belajar banyak dari strukturalisme. Tetapi ia tidak mau berhenti disitu. Bila suatu teks sudah dilepaskan dari situasi dialogal--situasi yang menandai diskursus lisan, tetapi kita tidak boleh memperlakukan teks atau diskursus tertulis sebagai diskursus lisan; teks itu otonom---maka masih mungkin dua sikap yang berbeda. Di satu pihak kita dapat menyingkirkan setiap referensi teks kepada sesuatu yang lain; kita dapat memandang teks sebagai sesuatu yang tertutup dalam dirinya dengan hanya memperhatikan relasi-relasi internnya. Itulah sikap yang diambil strukturalisme dan cara memandang ini membuka perspektif-perspektif yang menarik. Namun demikian, masih mungkin suatu sikap lain dan sebenarnya sikap kedua ini diandaikan oleh sikap pertama, tetapi rupanya strukturalisme tidak mengakui atau sekurang-kurangnya tidak mementingkan kenyataan itu. Teks juga berbicara tentang sesuatu. Tetapi dengan itu teks tidak lagi merupakan suatu realitas tertutup, karena di sini tampak referensi kepada suatu dunia, bukan sebagai sesuatu yang dicari di belakang teks melainkan sebagai sesuatu yang berada di depan teks, kalau boleh dikatakan demikian.

Penelitian tentang bahasa itu dijalankan dengan meyakinkan dalam suatu karya besar yang berjudul La metaphore vive (1975) (Metafora Hidup). Buku ini merupakan studi mendalam tentang metafora dengan mengikutsertakan hasil penelitian linguistik, retorika lama serta baru, semiotik, dan filsafat bahasa. Sebenarnya lebih tepat bila dikatakan bahwa buku ini terdiri atas delapan studi, yang masing-masing berdiri sendiri dan bisa dibaca sebagai suatu keseluruhan tersendiri. Metafora dipelajari pada tahap kata, kalimat, dan diskursus. Buku ini sekarang sudah dianggap sebagai sebuah studi klasik tentang metafora dan diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing, antara lain bahasa Jepang. Pentingnya tidak terbatas pada filsafat tetapi menyangkut juga linguistik dan ilmu sastra.

Trilogi buku yang dianggap oleh Ricoeur sendiri sebagai karya kembar dengan Metafora Hidup berjudul Temps et recit (Waktu dan Cerita). Karya yang terdiri atas tiga jilid ini mempelajari bahasa dari sudut pandang narasi atau cerita. Dan memandang ada hubungan erat antara metafora dan cerita. Kita bisa menyebut seorang pemain sepak bola singa di lapangan hijau (=metafora) atau kita bisa menceritakan bagaimana penampilannya dalam pertandingan sepakbola, sehingga mengingatkan kita akan kejayaan seekor singa. Metafora sebetulnya merupakan semacam cerita singkat. Baik metafora maupun cerita menyampaikan makna kepada kita, tetapi makna itu tidak mempunyai isi semantis sendiri, melainkan menunjukkan sesuatu yang lain. Kita menyebutnya kiasan. Cara penyampaian makna dalam cerita tidak selalu sama. Ada cara cerita yang mengklaim kebenaran dan ketepatan (seperti dalam ilmu sejarah, biografi, dan otobiografi) dan ada bercerita lain yang kita sebut fiksi (novel, cerita pendek, dan sebagainya). Tesis Ricoeur adalah bahwa faktor yang mempersatukan semua bentuk dan jenis naratif ialah waktu. Ciri khas yang menandai semua macam cerita adalah sifat temporalnya. Kata Ricoeur: Semuanya yang diceritakan berlangsung dalam waktu, memakan waktu, berjalan secara temporal; dan apa saja yang mengenal perkembangan dalam waktu, bisa diceritakan. Barangkali dapat dikatakan bahwa tiap-tiap proses temporal baru dikenal sebagai temporal, sejauh dengan salah satu cara bisa diceritakan. Dengan demikian timbul hubungan erat antara waktu dan cerita, yang menjadi tema pokok untuk penelitian Ricoeur ini.

Seperti sudah dikatakan tadi, karya besar ini terdiri atas tiga jilid. Buku pertama berjudul Temps et recit I (1983) dan tidak diberi anak judul. Baru dalam edisi 1991 ditambahkan anak judul: L'intrigue et le recit historique (Plot dan Cerita Sejarah). Dalam bagian pertama dibahas hubungan timbal balik antara narativitas (suasana khas cerita) dan temporalitas. Untuk itu dianalisa dulu uraian termasyur Augustinus tentang waktu yang diberikan dalam bukunya Confessiones. Kemudian dipelajari dengan sangat teliti pandangan Aristoteles tentang mythos (menurut interpretasinya mirip dengan pengertian modern plot) dan mimesis (tiruan) dalam bukunya Poetica. Dalam bagian kedua disoroti narativitas yang menandai ilmu sejarah. Buku kedua berjudul Temps et recit II. La configuration dans le recit de fiction (1984) (Waktu dan Cerita II. Konfigurasi dalam Cerita Fiksi) menyoroti narativitas dalam fiksi, artinya dalam kesusastraan. Secara konkret Ricoeur mengilustrasikan analisanya dengan menunjuk kepada novel dari pengarang seperti Thomas Mann, Marcel Proust, dan Virginia Woolf, di mana faktor waktu memegang peranan penting. Dalam arti tertentu para sastrawan menguasai waktu, karena dalam karya sastranya mereka sendiri membentuk waktu. Buku kedua ini bisa dilihat sebagai suatu uraian tersendiri dan dapat dibaca terlepas dari buku pertama. Buku ketiga diberi judul Temps et recit III: Le temps raconte (1985) (Waktu dan Cerita III: Waktu yang Diceritakan). Pertanyaan yang terutama dibahas di sini adalah: bagaimana pengalaman waktu sehari-hari dimodifikasi melalui pengaruh cerita. Hal itu dibeberkan pada tahap cerita historis maupun fiktif. Dalam mencari jawaban Ricoeur berdialog dengan hampir seluruh sejarah filsafat dan ilmu-ilmu bahasa. Khususnya ia membuka diskusi dengan tiga mitra dialog: fenomenologi, historiografi, dan kritik sastra.

Isi kedua karya monumental terakhir tadi sebagian besar pernah dibawakan sebagai ceramah di salah satu universitas di Eropa atau Amerika, sebelum diterbitkan dalam bentuk buku. Pada tahun 1986 Paul Ricoeur mendapat kehormatan untuk membawakan The Gifford Lectures yang sangat prestisius di Universitas Edinburgh, Skotalndia, dengan judul On selfhood: the question of personal identity. Menurut tradisi yang sudah lama, Gifford Lectures ini menyediakan kesempatan kepada seorang sarjana besar untuk mengadakan sintesa seluruh pemikirannya. Setelah ditambah dengan ceramah-ceramah lain yang diberikan di Universitas Munchen, Jerman, Universitas Roma, Italia, dan tempat lain, ceramah-ceramah di Edinburg itu menghasilkan karya besar lain lagi berjudul Soi-meme comme un autre (1990) (Dirinya Seperti Orang Lain). Buku yang terdiri atas sepuluh studi besar ini dinilai sebagai suatu puncak terakhir dalam karier Ricoeur di bidang filsafat. Yang disajikan disini adalah suatu penelitian tentang jati diri atau identitas pribadi manusia. Kita bisa mengatakan juga bahwa dalam buku ini Ricoeur mengusahakan suatu hermeneutika tentang kedirian (selfhood). 


Untuk itu Ricoeur memanfaatkan seluruh pengetahuannya yang ensiklopedik tentang sejarah filsafat, ditambah dengan kepiawaiannya dalam berbagai cabang ilmu bahasa. Hermeneutika tentang kedirian ini dijalankan dengan menyelidiki empat pertanyaan: Siapa yang berbicara? Siapa yang bertindak? Siapa yang menceritakan sesuatu? Siapa yang merupakan subjek moral dari tanggung jawab? Semuanya ini bukannya pertanyaan abstrak, melainkan cara konkret manusia menanyakan tentang dirinya sendiri, sehingga pertanyaan-pertanyaan ini bisa dilihat sebagai sebagian dari cerita yang dikisahkan manusia kepada dirinya sendiri dan orang lain. Identitas manusia dilukiskan Ricoeur antara lain dalam perspektif narativitas. Buku ini memuat juga apa yang Ricoeur sendiri sebut etika kecil-nya. Studi yang ketujuh, kedelapan, dan kesembilan berturut-turut membahas kedirian dan sudut pandang etis, kedirian dan norma moral, dan kedirian dan kebijaksanaan Praktis.

Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber:

Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Baca Juga
1. Faul Ricoeur. Biografi 
2. Filsafat Kehendak Paul Ricoeur
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Faul Ricoeur. Menuju Filsafat Bahasa"