Soren Kierkegaard (1818-1855)

Riwayat Hidup dan Pemikiran Soren Kierkegaard
Soren Kierkegaard
Kierkegaard dikenal sebagai kritikus Hegel selain Scopenhauer. Ia lahir di Kopenhagen, Denmark pada 1818 M. Kierkegaard terkenal sebagai bapak eksistensialisme. Ia lahir ketika ayahnya berusia 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Masa kecilnya ia habiskan di perusahaan ayahnya. Ia belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Di universitas tersebut ia menantang keras pemikiran Hegel yang dominan di universitas.

Setelah beberapa kurun waktu ia lelah terhadap agama maka ia ingin hidup bebas dari kungkungan agama. Setelah mengalami skeptisisme religius ia pun menekuni kembali ilmu pengetahuan dan menjadi pastur di Lutherian. Pada 1840 ia bertunangan dengan Regina Olsen. Namun, ia tidak meneruskannya karena ia memutuskan hidup tanpa nikah dan hidup demi gereja dan perkembangannya ilmu pengetahuan. Ia banyak belajar filsafat, kesusastraan, dan buku-buku lainnya. Karya filsafat Jerman yang banyak dibacanya adalah filsafat Hegel. Latar sosio-kultural masyarakat Kopenhagen yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Kant dan Hegel secara mutlak membuatnya kritis sekaligus memberontak terhadap kedua pemikir kritis sebelumnya itu. Di masa mudanya Kierkegaard sempat melakukan perjalanan ke Jerman. Tetapi ia akhirnya banyak menghabiskan masa hidupnya di Denmark dan memerangi pengaruh rasionalis dari kedua filsuf besar Jerman tersebut sekaligus mencurahkan hidupnya pada perannya sebagai seorang pengganggu Sokratis di kalangan kaum borjuis Lutheran.

Kierkegaard selalu berusaha menentang rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk akal atau konsep keyakinan religius pada Kant. Kierkegaard menegaskan bahwa keyakinan pada hakikatnya bersifat irasional, suatu hasrat yang kuat dan bukan kepercayaan yang dapat dibuktikan. Secara umum, filsafat Kierkegaard mengunggulkan sang individu dan keberlainan Tuhan yang mendalam. Dalam mendefinisikan kesadaran baru agama Kristen, Kierkegaard memberi penafsiran agak spektakuler dibanding para pemikir pada umumnya mengenai eksistensi. Ia juga menegaskan pentingnya hasrat yang kuat, pilihan bebas, dan ketentuan diri dalam pertentangannya dengan pemikiran filsafat rasionalis yang populer di daerahnya pada masa itu.

Singkat kisah, inti pemikiran filsafat Kierkegaard selain mendasarkan pada individu juga ingin menegaskan jalan hidupnya pada ajaran agama Kristen yang dibedakannya dengan ironi yang besar dan kerap menyindir dari keyakinan lunak dan pegangan sosial umat Kristen.

Di antara karya Kierkegaard adalah:
- Om Begrebet Ironi (The Concep of Irony 1841)
- Enten-Eller, 1843
- Philosopiske Smuler, 1844
- Afsluttende Unidenskabelig, 1846

Dalam bukunya The Concept of Irony (1841), Kierkegaard banyak mengkritik pemikiran Hegel yang cenderung menghilangkan kepribadian manusia. Kierkegaard menemukan posisi penting dalam diri seseorang yang bereksistensi bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan keputusasaan dan ketakutannya menolak pandangan Hegel yang menganggap bahwa manusia sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang dunianya. Selain itu, ia juga menolak anggapan Hegel tentang objektivitas absolut pengetahuan manusia atau dunia sekitarnya. Menurut Kierkegaard, manusia memiliki pengetahuan manusia atas dunianya. Dan keseluruhan pengetahuan itu pada dasarnya bersifat subjektif.

Namun subjektivitas yang dimaksud Kierkegaard bukanlah subjetivitas tertutup—sebagaimana Cogito Descartes—melainkan subjektivitas yang terbuka yang sadar akan dunianya. Jadi, subjektivitas aku yang memercayai objektivitas engkau. Bukannya seperti Hegel, yang mengakui objektivitas engkau dengan menghilangkan subjektivitas aku. Dalam pandangan Kierkegaard, subjek dan objek saling berhubungan satu sama lain dan tak terpisahkan, yang spesifik dalam relasi subjek dan objek itu adalah bahwa subjek tetaplah tempat terakhir segala keputusan.

Kierkegaard menyanggah dengan tegas tuduhan terhadap dirinya yang dianggap menekankan subjektivitas tanpa memberi ruang sedikit pun pada objektivitas. Saya dituduh menyebabkan anak muda menyetujui subjektivitas tanpa membantahnya sama sekali. Barangkali hanya sesaat. Akan tetapi, bagaimana mungkin dapat menghilangkan seluruh lautan objektivitas yang bertindak sebagai penonton, kecuali dengan tekanan kategori individual yang terpisah. Di bawah dalih objektivitas, tujuannya adalah mengorbankan sifat individual. Inilah inti persoalan. (Kierkegaard, 1960:101-102).

Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Kierkegaard banyak memengaruhi pemikiran sejumlah ahli teolog Protestan dan filsuf-filsuf eksistensialis, termasuk Heidegger, Jaspers, Marcel dan Buber. Bagi Kierkegaard, bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil risiko dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya.

Menurut Kierkegaard, eksistensi manusia memiliki tiga tahap: eksistensi estetis, eksistensi etis, dan religius. Pertama, tahap eksistensi estetis. Pada tahap ini orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual (libido) oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistik, dan bertindak menurut suasana hati (mood). Manusia estetis adalah manusia yang hidup tanpa jiwa, ia tidak mempunyai aktor dan isi dalam jiwanya. Kemauannya adalah mengikatkan diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya yang menjadi tren dalam masyarakat menjadi petunjuk hidupnya, dan oleh sebab itu ia ikuti secara saksama.

Namun semua itu tidak dilandasi oleh passion apa pun, selain untuk mengetahui dan mencoba. Manusia estetis adalah manusia yang pada akhirnya hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan karena semakin banyaknya alternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. Jalan keluarnya hanya ada dua: bunuh diri lari dari kegilaan atau masuk dalam tingkatan hidup yang lebih tinggi, yakni tingkat etis.

Kedua, tahap eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memerhatikan dunia batinnya. Di sini ada semacam pertobatan. Dalam konteks semacam ini individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri padanya. Prinsip kesenangan (hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang ia menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Sudah mulai ada passion dalam menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan.

Lebih dari itu, jiwa individu etis sudah mulai terbentuk sehingga tidak lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Pedoman hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi dan berani mengatakan tidak pada setiap tren yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan zamannya—sejauh tren itu tidak sesuai suara hati dan kepribadiannya. Manusia yang sudah dalam tahap ini akan melawan segala penyimpangan ketidakadilan dan kezaliman serta apa saja yang menentang keluhuran nilai-nilai kemanusiaan.

Kierkegaard memilih Sokrates sebagai model manusia etis. Sokrates adalah manusia yang sudi mengorbankan dirinya dengan minum racun untuk mempertahankan keyakinan mengenai nilai kemanusiaan yang luhur. Ia adalah sosok yang sadar akan peran dan otonomi individu, subjek atau aku dalam menerima kebenaran yang bersifat universal, namun sosok Sokrates belum sampai pada tahap eksistensi yang sesungguhnya. Realitas tempat ia menceburkan diri baru realitas dunia yang fana ini. Ia belum sampai pada tahap yang lebih tinggi, yakni tahap religius, yaitu saat manusia mulai dihadapkan dengan Tuhan dan kegagalan diterima sebagai dosa.

Ketiga, tahap religius. Keautentikan hidup manusia sebagai subjek atau aku akan tercapai dengan mata tertutup, lompat dan meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Tahap ini tidak menggunakan pertimbangan-pertimbangan rasional, tidak dibutuhkan alasan-alasan ilmiah, yang diperlukan hanyalah keyakinan subjektif yang berdasarkan iman. Perbedaan lainnya terletak pada objektivitas dan subjektivitas nilai. Nilai-nilai kemanusiaan pada tahap etis bersifat universal (objektif), karena itu ia sulit diterima akal sehat. Dengan begitu, tidak mengherankan kalau sikap dan perilaku manusia religius sering dianggap tidak masuk akal, nyentrik atau bahkan gila. Manusia religius hidup dalam Tuhan dan hanya mengikuti jalan Tuhan dan tidak lagi terikat baik pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal (etis) maupun tuntutan pribadi dan masyarakat pada zamannya (tahap etis).

Sosok Ibrahim, yang oleh Kierkegaard ditempatkan sebagai manusia religius ideal, dapat membantu kita memahami apa yang dimaksud Kierkegaard dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan iman itu. Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya karena dasar keyakinan pribadinya, bahwa Tuhan lah yang memerintahkan untuk mengorbankan anaknya itu. Meskipun masyarakat dan moralitas kemanusiaannya menilai perbuatan itu salah dan tidak manusiawi, ia yakin bahwa justru ia akan berdosa kalau tidak mengikuti perintah Tuhan. Apa yang harus dikorbankan untuk sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang transenden, yakni perintah Tuhan.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber.
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik hingga Postmodern. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Soren Kierkegaard (1818-1855)"