Plato. Ajaran tentang Ide-ide

Ajaran tentang Ide-ide Plato
Plato
Ajaran tentang Ide-ide merupakan inti dan dasar seluruh filsafat Plato. Untuk mengartikan maksud Plato dengan istilah Ide, terlebih dahulu kita harus menekankan bahwa Plato mempunyai maksud lain daripada arti yang dimaksudkan orang modern dengan kata ide. Dalam Bahasa-bahasa modern kata ide berarti suatu gagasan atau tanggapan yang hanya terdapat dalam pemikiran saja. Akibatnya, bagi orang modern ide merupakan sesuatu yang bersifat subjektif belaka. Lain halnya pada Plato. Bagi dia Ide merupakan sesuatu yang objektif. Ada ide-ide, terlepas dari subjek yang berpikir. Ide-ide tidak diciptakan oleh pemikiran kita. Ide-ide tidak tergantung pada pemikiran; sebaliknya, pemikiran tergantung pada Ide-ide. Justru karena ada Ide-ide yang berdiri sendiri, pemikiran kita dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain daripada menaruh perhatian kepada ide-ide itu.

Adanya Ide-ide
Kalau kita hendak memahami alasan-alasan Plato untuk menerima Ide-ide yang berdiri sendiri, pertama-tama kita harus ingat akan keaktifan filosofis Sokrates. Dalam postingan sebelumnya sudah diterangkan bahwa Sokrates mencari definisi-definisi. Ia tidak puas dengan menyebut satu demi satu perbuatan-perbuatan yang adil atau tindakan-tindakan yang berani. Ia ingin menyatakan apa keadilan atau keberanian itu sendiri. Dengan perkataan lain, Sokrates berusaha menentukan hakikat atau esensi keadilan dan keutamaan-keutamaan lain. Plato meneruskan usaha Sokrates itu dengan melangkah lebih jauh lagi. Menurut dia esensi itu mempunyai realitas, terlepas dari segala perbuatan konkret. Ide keadilan, Ide keberanian dan Ide lain memang ada.

Cara lain untuk mengerti lebih baik asal usul ajaran Plato mengenai ide-ide ialah ilmu pasti. Kita sudah mendengar bahwa ilmu pasti sangat diutamakan dalam Akademia dan di bidang ini Plato tentu dipengaruhi oleh kaum Pythagorean. Ilmu pasti tidak membicarakan gambar-gambar konkret: suatu garis tertentu, suatu segi tiga tertentu, suatu lingkaran tertentu. Ilmu pasti membicarakan garis, segi tiga, dan lingkaran pada umumnya. Memang benar, pada waktu pelajaran ilmu ukur, Pak Guru menggambarkan suatu segi tiga tertentu. Tetapi dalil-dalil yang diterangkan tidak berlaku hanya untuk segi tiga yang tergambar pada papan tulis saja. Dalil-dalil itu berlaku bagi semua segitiga, atau lebih tepat lagi jika dikatakan dalil-dalil itu berlaku bagi segitiga pada umumnya, segitiga yang sempurna, segitiga yang ideal. Segitiga yang tergambar pada papan tulis tidak mewujudkan segitiga yang sempurna. Mengapa tidak? Pertama-tama karena sisi-sisinya tidak dapat digambarkan lurus secara eksakta. Berikutnya karena sisi-sisi segitiga yang tergambar itu mempunyai kepanjangan tertentu (25 sentimeter, misalnya saja), sedangkan sisi-sisi segitiga yang sempurna tidak mempunyai kepanjangan tertentu. Kalau ilmu pasti berbicara bukan tentang segitiga-segitiga yang konkret, melainkan hanya tentang segitiga yang ideal, maka Plato menarik kesimpulan bahwa segitiga seperti itu mempunyai realitas juga, biarpun tidak dapat ditangkap oleh panca indra. Tidak mungkin bahwa ilmu pasti berbicara tentang sesuatu yang tidak ada. Jadi, mesti terdapat suatu Ide segitiga. Segitiga-segitiga yang digambarkan pada papan tulis hanya merupakan tiruan tak sempurna saja dari Ide segitiga.

Yang berlaku bagi segitiga tadi dapat dikatakan pula mengenai banyak hal lain lagi. Misalkan saja, ada banyak hal yang boleh disebut bagus: kain bagus, patung bagus, rumah bagus, dan lain sebagainya. Sehelai kain tidak disebut bagus karena itu kain, sebab terdapat juga kain yang jelek. Yang menyebabkan kain itu disebut bagus ialah Ide yang bagus. Memang ada suatu Ide yang bagus yang sebagian diwujudkan dalam kain ini, dalam patung ini dan dalam semua hal yang disebut bagus. Dengan sengaja kami mengatakan sebagian, karena kain ini mewujudkan yang bagus secara murni. Di satu pihak kain ini masih mempunyai banyak ciri lain lagi selain bagus saja (misalnya merah, mahal, buatan luar negeri, dan seterusnya). Di lain pihak, selain kain ini, masih ada banyak hal lagi yang harus disebut bagus pula. Karena itu, Ide yang bagus merupakan yang bagus itu sendiri, secara sempurna: tidak tercampur dengan sesuatu yang lain. Plato menyebutnya dengan kata-kata Yunani idea serta eidos dan juga dengan kata morphe yang berarti bentuk.

Dua dunia
Dari yang terurai sampai sekarang dapat disimpulkan bahwa menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri dari dua dunia. Satu dunia mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indra. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus keesokan harinya sudah layu. Lagi pula, dunia indrawi ditandai oleh pluralitas. Selain bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus juga. Harus diakui pula bahwa di sini tidak ada sesuatu pun yang sempurna. Di samping dunia indrawi itu terdapat suatu dunia lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri atas Ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Semua Ide bersifat abadi abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu Ide yang bagus. Demikian halnya dengan Ide-ide lain. Dan tiap-tiap Ide bersifat sama sekali sempurna.

Apakah hubungan antara dua dunia itu? Ide-ide sekali-kali tidak dipengaruhi oleh benda-benda jasmani. Lingkaran yang digambarkan pada papan tulis lalu dihapus lagi, sama sekali tidak mempengaruhi Ide lingkaran. Tetapi Ide-ide mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan antara Ide-ide dan realitas jasmani bersifat demikian rupa sehingga benda-benda jasmani tidak bisa berada tanpa pendasaran oleh Ide-ide itu. Plato mengungkapkan hubungan itu dengan tiga cara (1) Pertama-tama ia mengatakan bahwa Ide itu hadir dalam benda-benda konkret. Tetapi dengan itu Ide itu sendiri tidak dikurangi sedikit pun juga. (2) Dengan cara lain, ia mengatakan bahwa benda konkret mengambil bagian dalam Ide. Dengan demikian Plato mengintroduksikan paham partisipas (metexis) ke dalam filsafat. Tiap-tiap benda jasmani berpartisipasi pada satu atau beberapa Ide. Kalau kita mengambil sebagai contoh: satu bunga bagus, maka bunga itu mengambil bagian dalam Ide bunga, bagus, dan satu. Tetapi partisipasi itu tidak mengurangi Ide bersangkutan. (3) Akhirnya, Plato mengatakan juga bahwa Ide merupakan model atau contoh (paradiegma) bagi benda-benda konkret. Benda-benda konkret itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut.

Dua jenis pengenalan
Anggapan Plato tentang dua dunia menjuruskan juga pendiriannya tentang pengenalan. Menurut Plato ada dua jenis pengenalan. Di satu pihak ada pengenalan tentang Ide-ide. Itulah pengenalan dalam arti yang sebenarnya. Plato menamakannya dengan kata episteme (pengetahuan, knowledge). Pengenalan ini mempunyai sifat-sifat yang sama seperti objek-objek yang dituju olehnya: teguh, jelas dan tidak berubah. Rasio adalah alat untuk mencapai pengenalan dan ilmu pengetahuan adalah lapangan istimewa di mana pengenalan ini dipraktekan. Dengan menerima pengenalan yang bersifat teguh, jelas dan tidak berubah, Plato serentak juga menolak relativisme kaum Sofis. Bagi Protagoras dan pengikut-pengikutnya manusia adalah ukuran dalam bidang pengenalan, sedangkan bagi Plato ukuran itu ialah Ide-ide. Berdasarkan Ide-ide itu, menjadi mungkin kebenaran yang mutlak.

Di lain pihak ada pengenalan tentang benda-benda jasmani. Pengenalan ini mempunyai juga sifat-sifat yang sama seperti objeknya: tidak tetap, selalu berubah. Dibandingkan dengan pengenalan tadi, pengenalan jenis kedua ini tidak bernilai banyak, karena tidak menghasilkan kepastian. Plato menamakannya doxa (pendapat, opinion). Sudah nyata bahwa pengenalan yang kedua ini dicapai dengan panca indra.

Memperdamaikan Herakleitos dengan Parmenides
Sesudah keterangan-keterangan tadi, sekarang kita dapat mengerti bahwa Plato berhasil memecahkan suatu persoalan yang besar sekali dalam filsafat pra-sokratik, yaitu pertentangan antara Herakleitos dan Parmenides. Karena teorinya mengenai Ide-ide, Plato dapat memperdamaikan ajaran Herakleitos dengan ajaran Parmenides. Kita sudah mendengar bahwa menurut Herakleitos semua senantiasa dalam keadaan berubah; tidak ada sesuatupun yang tetap atau mantap. Kratylos melangkah lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa pengenalan tidak mungkin karena perubahan yang tak henti-hentinya, bahkan tidak dapat diberikan nama kepada benda-benda. Plato beberapa lamanya mengikuti ajaran Kratylos, sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya. Menurut Plato, pendapat Herakleitos dan Kratylos itu memang benar, tetapi hanya berlaku bagi dunia indrawi saja. Di sini semuanya betul-betul berada dalam perubahan, dan pengenalan yang sejati tidak mungkin. Namun demikian, pendapat Parmenides benar juga, tetapi hanya berlaku bagi Ide-ide.  Dalam dunia ideal ini tidak ada perubahan, karena Ide-ide bersifat abadi. Lagi pula, Ide-ide ini merupakan fundamen bagi pengenalan yang sejati.

Ide-ide mana harus diterima?
Berkenaan dengan teori mengenai Ide-ide timbullah pertanyaan yang tidak gampang dijawab, yaitu apakah ada Ide-ide untuk semua benda jasmani atau hanya untuk beberapa benda saja? Yang pasti ialah bahwa Plato menerima Ide-ide etis dan matematis. Tetapi dalam karya-karyanya ia bergumul dengan masalah apakah juga ada Ide-ide untuk benda-benda lain, khususnya untuk benda-benda yang disajikan kepada pengenalan indrawi. Demikian misalnya dalam dialog Parmenides diajukan pertanyaan apakah juga ada Ide-ide untuk rambut, lumpur, dan lilin cap. Kita tidak pernah mendapat jawaban yang jelas. Rupanya Plato tidak dapat memecahkan persoalan ini. Barangkali pemecahan semacam itu bagi dia juga tidak merupakan soal hidup atau mati. Faktor penentu ialah bahwa Ide-ide memang ada. Dengan itu filsafat Plato mendapat fundamennya. Seluk beluk lebih lanjut mengenai Ide-ide itu hanya merupakan suatu persoalan sampingan saja.

Hierarki antara Ide-ide
Suatu persoalan lain menyangkut urutan dan ketergantungan satu sama lain yang kiranya terdapat pada Ide-ide sendiri. Kita sudah mendengar bahwa dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, banyak hal yang adil, dan lain sebagainya, sebagaimana halnya dalam dunia jasmani, melainkan dalam dunia ideal hanya ada satu Ide yang bagus. Satu Ide keadilan, dan lain sebagainya. Tetapi dalam dunia ideal sendiri soal pluralitas tidak teratasi, karena ada banyak Ide. Lagi pula, banyak Ide itu tidak lepas satu dari yang lain. Ide tiga misalnya mempunyai hubungan dengan Ide ganjil; Ide api mempunyai hubungan dengan Ide panas dan seterusnya. Plato menamakan hubungan antara Ide-ide sebagai persekutuan (koinonia) dan dalam dialog-dialognya ia mencoba menerangkan kesatuan antara banyak Ide itu. Dalam Politeia ia mengatakan bahwa antara Ide-ide terdapat suatu orde atau hierarki. Seluruh hierarki itu memuncak dengan Ide yang baik. Itulah ide tertinggi yang menyoroti semua Ide yang lain, sebagaimana matahari menyinari semua benda jasmani. Dalam Sophistes Plato mengusulkan pemecahan lain. Pada puncak dunia ideal terdapat lima Ide (Ada, Identik, Lain, Diam, dan Gerak). Semua Ide mempunyai hubungan dengan kelima Ide tadi. Kelima Ide tertinggi seakan-akan merupakan jaringan yang menghubungkan semua Ide lain. Tetapi kita tidak diberitahu bagaimana anggapan ini dapat disesuaikan dengan pendirian Politeia bahwa yang baik merupakan puncak bagi seluruh dunia ideal.

Mitos tentang gua
Sesudah diterangkan teori mengenai Ide-ide menurut garis besarnya, sekarang kita dapat mengerti mitos Plato yang masyur sekali tentang penunggu-penunggu gua yang termuat dalam dialog Politeia. Manusia dapat dibandingkan—demikian katanya—dengan orang-orang tahanan yang sejak lahirnya terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu terarah pada dinding gua. Di belakang mereka ada api menyala. Beberapa orang budak belian mondar-mandir di depan api itu, sambil memikul bermacam-macam benda. Hal itu mengakibatkan rupa-rupa bayangan yang dipantulkan pada dinding gua. Karenanya orang-orang tahanan itu menyangka bahwa bayang-bayang itu merupakan realitas yang sebenarnya dan bahwa tidak ada realitas yang lain. Namun, sesudah beberapa waktu satu orang tahanan dilepaskan. Ia melihat sebelah belakang gua dan api yang ada di situ. Ia sudah mulai memperkirakan bahwa bayang-bayang tidak merupakan realitas yang sebenarnya. Lalu ia dihantar ke luar gua dan melihat matahari yang menyilaukan matanya. Mula-mula ia berpikir bahwa ia sudah meninggalkan realitas. Tetapi berangsur-angsur ia menginsafi bahwa itulah realitas yang sebenarnya dan bahwa dahulu ia belum pernah memandangnya. Pada akhirnya, ia kembali ke dalam gua dan bercerita kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat bukannya realitas yang sebenarnya melainkan hanya bayang-bayang saja. Namun mereka tidak mempercayai orang itu dan seandainya mereka tidak terbelenggu, mereka pasti akan membunuh tiap orang yang mau melepaskan mereka dari gua.

Mitos ini mesti dimengerti sebagai berikut. Gua tadi ialah dunia yang disajikan kepada panca indra kita. Kebanyakan orang dapat dibandingkan dengan orang tahanan yang terbelenggu: mereka menerima pengalaman spontan begitu saja. Tetapi ada beberapa orang yang mulai memperkirakan bahwa realitas indrawi tidak lain daripada bayang-bayang saja: merekalah filsuf. Mula-mula mereka merasa heran sekali, tetapi berangsur-angsur mereka menemui Ide yang baik (matahari) sebagai realitas tertinggi. Untuk mencapai kebenaran, yang perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan suatu usaha khusus untuk melepaskan diri dari panca indra yang menyesatkan. Tetapi, sebagaimana terjadi dalam mitos, filsuf pun tidak akan dipercayai orang.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Plato. Biografi
2. Plato. Sifat Khusus
3. Plato. Karya-Karya 
4. Plato. Politeia
5. Plato. Ajaran tentang Jiwa
6. Plato. Nomoi 
7. Plato. Politikos
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Plato. Ajaran tentang Ide-ide"