Perempuan dalam Masyarakat Muslim

Perempuan dalam Masyarakat Muslim
Masyarakat Muslim
Gambaran perempuan dalam masyarakat muslim abad ke-20 berbaur antara suram dan cerah. Beberapa kajian mengindikasikan bahwa perempuan dalam dunia Islam masih didominasi oleh gambaran status inferior yang diakibatkan oleh doktrin Islam yang mapan secara sosial. Jika reformasi hukum digunakan sebagai indikator status wanita dalam dunia muslim, maka dalam hal ini ada seorang ilmuwan menemukan bahwa paling tidak ada tiga kelompok negara. Elizabeth White yang menggunakan sembilan indikator dalam kerangka reformasi hukum (usia minimum perkawinan, pendaftaran pernikahan, terputusnya pernikahan, reformasi sekuler dan hukum sipil yang menggantikan hukum Islam) mengontruksi sebuah tabel bahwa hanya tiga negara yang sudah memenuhi semua indikator tersebut. Meski demikian dalam level praktik, hal ini berarti bahwa wanita diperlakukan lebih baik dalam masyarakat tersebut.

Di Turki, sebagai contoh, kaitannya dengan poligami, meskipun peraturan Republik (Republikcan Civil Code) sudah menghapuskan poligami dan memberikan hak warisan hanya bagi anak yang dilahirkan dari pernikahan yang dilangsungkan oleh pemerintahan sekuler, Fatma Cosar mencatat di akhir tahun 70-an, tradisi poligami Islam masih marak. Ia mengatakan bahwa di beberapa desa dan kota kecil, di mana kehidupan ekonomi masih bergantung pada hasil pertanian dan produksi, laki-laki masih terbiasa mempunyai satu istri atau lebih setelah mempunyai istri yang dinikahi dengan mengikuti peraturan pemerintahan sekuler. Mereka mencari pasangan yang secara seksual menarik. Penerimaan masyarakat atas praktik tersebut diperoleh hanya dengan cara menikah beda agama (seperti nikah siri di Indonesia).

Di antara masalah-masalah sosial akibat pernikahan semacam itu bahwa anak yang dilahirkannya dianggap tidak sah oleh peraturan pemerintah dan hal ini sepenuhnya sampai pada ayah mereka sehingga mereka diperlakukan secara fair dalam hal keuangan. Tunisia hampir termasuk kelompok negara pertama seperti Turki, namun tampaknya negara ini kekurangan peraturan pemerintah yang berfungsi menggantikan peraturan agama dalam hal warisan. Meski demikian, Tunisia terkenal karena memberlakukan peraturan yang melarang poligami dan menetapkan hukum penjara satu tahun dan denda 200.000 Frank bagi para pelanggar. Meski demikian, dalam praktiknya lagi, kekuatan konservatif di negara tersebut menentangnya. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pada tahun 1957, sebagai contoh, suatu kelompok penuntut keadilan (a group of the justice) dan beberapa pengadilan agama mensponsori sebuah petisi yang menentang peraturan tersebut. Kadang-kadang para hakim dan pengadilan umum milik pemerintah tidak mau menerapkan peraturan ini. Akibatnya, beberapa hakim syari’ah dimutasikan atau ditekan untuk menerima hukum yang termasuk baru itu. Paling tidak dalam satu kesempatan, presiden sendiri, Bourgiba, secara pribadi mencampuri proses yang terjadi di sebuah pengadilan sipil karena ia merasa seorang wanita sudah diperlakukan tidak adil. Lagi, kekuatan konservatif dan reformis terus-menerus saling berhadapan.

Kelompok negara muslim kedua terdiri dari negara-negara yang sudah menerapkan reformasi hukum namun agak setengah-setengah sebab adanya penentangan yang kuat dari kekuatan konservatif di dalam negeri tersebut yang secara gigih mempertahankan doktrin Islam yang mapan tentang wanita. Masuk dalam kategori ini negara seperti Mesir, Suriah, Yordania, Pakistan, Indonesia dan lain-lain. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pembatasan masyarakat Islam tradisional terhadap wanita sebagaimana diletakkan oleh hukum perdata dari negara sekuler berkaitan dengan tingkat pendidikan dan partisipasi wanita dalam aktivitas ekonomi. Ditemukan bahwa ada hubungan statistik yang kuat antara variabel-variabel reformasi hukum dan pendidikan wanita. Artinya, bahwa bertambahnya reformasi yang terus meningkat—yang mempengaruhi status hukum wanita—setara dengan bertambahnya tingkat pendidikan kaum wanita. Semakin rendah usia minimum perkawinan, sebagai contoh, semakin rendah level pendidikan kaum wanita. Dalam kaitan ini ditemukan pula bahwa dengan beberapa variasi, kebanyakan negara muslim mempraktikkan pernikahan di bawah umur, meskipun hukum mereka mungkin tidak mengatakan demikian. Tentang partisipasi wanita dalam aktivitas ekonomi, ditemukan pula bahwa negara yang meningkatkan pembatasan Islam yang lebih ketat terhadap wanita, maka partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi di negara tersebut lebih sedikit kecuali di bidang pertanian.

Perdebatan di atas menunjukkan bahwa sementara pada level teoretis, reformasi hukum yang memengaruhi wanita dimaksudkan untuk menambah atau meningkatkan status dari wanita, pada taraf pelaksanaannya mereka ditentang secara gigih oleh kekuatan konservatif dengan mempertahankan pembatasan-pembatasan tradisional muslim terhadap wanita. Meskipun kekuatan konservatif ini kelihatannya mewakili larangan dan argumen agama, dalam kenyataannya mungkin mereka hanya mengungkapkan kekuatan tradisional daerah pedesaan sebagai lawan kekuatan modern perkotaan. Jika hal tersebut merupakan permasalahannya, perdebatan tentang status wanita dalam masyarakat muslim lebih bersifat sosiologis daripada doktrin agama.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
M. Atho Mudzhar. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
 

Download

Baca Juga
Wanita dalam Doktrin Islam Klasik
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Perempuan dalam Masyarakat Muslim"