Suhrawardi Al-Maqtul. Epistemologi Iluminasionis

Epistemologi Iluminasionis Suhrawardi Al-Maqtul
Suhrawardi Al-Maqtul
Tampaknya dampak filsafat Suhrawardi yang paling luas adalah bidang epistemologi. Prinsip dasar iluminasionis adalah mengetahui sesuatu berarti memperoleh pemahaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan sesuatu. Pengetahuan tentang sesuatu berdasarkan pengalaman dianalisis hanya setelah pemahaman intuitif yang total dan langsung tentangnya. Adakah sesuatu dalam pengalaman seorang subjek? Demikian barangkali seseorang bertanya, yang menuntut agar apa yang diperolehnya itu diungkapkan melalui bahasa simbolik yang dikonstruksi secara khusus? Jawaban bagi pertanyaan ini harus diuji dari berbagai sudut pandang, tetapi jelaslah, bahkan pada tahap ini, bahwa bahasa iluminasi Suhrawardi dimaksudkan sebagai kosakata khusus yang melalui bahasa itu pengalaman iluminasi mungkin dapat dilukiskan. Jelas pula bahwa interpretasi terhadap simbolisme iluminasi serta implikasinya, sebagaimana yang dikemukakan secara terperinci oleh Suhrawardi dalam Al-Masyari’ wa Al-Mutarahat adalah aspek-aspek terpenting dalam kontroversi mengenai dasar filsafat iluminasi.

Filsafat iluminasi, seperti tergambarkan dalam karya-karya Suhrawardi, terdiri atas tiga tahap yang menggarap persoalan pengetahuan, yang diikuti oleh empat tahap yang memaparkan pengalaman. Tahap pertama ditandai kegiatan persiapan pada diri filsuf: ia harus meninggalkan dunia agar mudah menerima pengalaman. Tahap kedua adalah tahap iluminasi (pencerahan), ketika filsuf mencapai visi (melihat) Cahaya Ilahi (al-nur al-ilahi). Tahap ketiga atau tahap konstruksi, yang ditandai dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tidak terbatas, yaitu pengetahuan iluminasionis (al-‘ilm al-isyraqi) itu sendiri. Tahap keempat dan terakhir adalah pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang. Jadi, tahap ketiga dan keempat, seperti yang didokumentasikan dalam tulisan-tulisan Suhrawardi, merupakan satu-satunya komponen filsafat iluminasi, seperti yang dipraktikkan oleh Suhrawardi dan muridnya.

Awal tahap pertama ditandai dengan kegiatan seperti melakukan uzlah selama empat puluh hari, tidak makan daging dan mempersiapkan diri untuk menerima ilham dan wahyu. Aktivitas itu tergolong kategori umum praktik-praktik asketik dan mistik, meskipun tidak persis sama dengan maqam-maqam dan ahwal yang ditentukan oleh tarekat sufi. Menurut Suhrawardi, sebagian dari Cahaya Tuhan bersemayam dalam diri filsuf yang memiliki daya intuitif. Jadi, dengan menjalani aktivitas-aktivitas dalam tahap pertama, melalui ilham pribadi dan visi (musyahadah wa mukasyafah), filsuf menerima realitas eksistensi dirinya dan mengenai kebenaran intuisinya sendiri. Oleh karena itu, tahap pertama terdiri atas (1) aktivitas, (2) suatu syarat (yang dipenuhi oleh setiap orang, karena konon setiap orang mempunyai intuisi dan dalam diri setiap orang terdapat bagian tertentu dari Cahaya Tuhan), dan (3) ilham pribadi.

Tahap pertama membawa seseorang menuju tahap kedua dan Cahaya Ilahi memasuki wujud manusia. Kemudian, cahaya ini mengambil bentuk serangkaian cahaya apokaliptik (al-anwar al-sanihah), dan melalui cahaya-cahaya itu diperoleh pengetahuan yang berfungsi sebagai fondasi ilmu-ilmu sejati (al-‘ulum al-haqiqiyyah).

Tahap ketiga adalah tahap mengonstruksi suatu ilmu yang benar (‘ilm shahih). Dalam tahap ini, sang filsuf menggunakan analisis diskursif. Pengalaman diuji coba dan cara pembuktian yang digunakan adalah demonstrasi (burhan) Aristotelian dalam Posterior Analytics. Kepastian yang sama diperoleh dengan bergerak dari data data indriawi (pengamatan dan pembentukan konsep) ke demonstrasi berdasarkan akal, yang merupakan basis pengetahuan ilmiah diskursif, terjadi ketika data visioner tempat filsafat iluminasi bersandar didemonstrasikan. Hal ini dipenuhi melalui proses analisis dengan tujuan mendemonstrasikan pengalaman dan mengonstruksikan suatu sistem yang meletakkan pengalaman pada tempatnya, kemudian mengabsahkannya, bahkan setelah pengalaman itu berakhir.

Pengaruh teori pengetahuan iluminasionis, yang secara umum dikenal dengan pengetahuan dengan kehadiran (al-‘ilm al-hudhuri), tidak terbatas pada lingkaran-lingkaran filosofis dan lingkaran spesialis lainnya, seperti logika iluminasionis, misalnya. Status epistemologis yang diberikan pada pengetahuan intuitif telah memengaruhi mistisisme spekulatif (‘irfan nazhari) di Persia dan puisi Persia. Dengan melihat sepintas paradigma yang terkait dengan jalan yang dipakai oleh penyair-filsuf-mistikus untuk menangkap dan menggambarkan kebijaksanaan, hal ini akan terbukti.

Paradigma itu melibatkan subjek (mawdhu’), kesadaran (idrak) dalam diri subjek itu dan yang berkaitan dengannya, dan kreativitas (khallaqiyyah). Transisi dari subjek (al-maudhii’) ke subjek yang mengetahui-menciptakan (al-maudhu al-mudrik al-khallaq) menandai transformasi manusia sebagai subjek alami ke manusia sebagai subjek yang mengetahui dalam tahap pertama yang dalam hal ini pengetahuan mentransendensikan pengetahuan yang sederhana dimulailah perjalanan spiritual. Ini akhirnya membawa pada kesatuan, ketika subjek yang mengetahui masuk ke alam kekuasaan (jabarut) dan Ilahi (lamt), dan manusia memperoleh realitas (haqiqah) sesuatu dan menjadi subjek yang mengetahui-mencipta. Yang akhirnya tercipta adalah puisi.

Karakter paling menonjol dari puisi Persia yang diakui dan diterima sebagai kesatuan adalah perspektif eksistensialnya dalam kaitannya dengan hasil filsafat (khususnya filsafat non-Aristotelian, yang dipersamakan dengan filsafat Timur Ibnu Sina, dan dengan filsafat iluminasi Suhrawardi). Dari sudut pandang ini, hasil akhir filsafat, yaitu kebijaksanaan, dapat dikomunikasikan hanya melalui medium puisi. Dengan demikian, kebijaksanaan puitis murni menginformasikan kepada manusia—wali-filsuf; penyair-wali; dan, puncaknya hanya penyair—setiap sisi respons terhadap lingkungan: jasmaniah dan rohaniah, etis dan politis, religius dan duniawi. Persepsi tentang realitas yang terjadi dan proses historis dikonstruksi (seperti dalam Syi’r sakhtan Persia) dalam bentuk metafisis—mungkin bentuk seni—yang secara sadar menggunakan metafora, simbol, mitos, nyanyian, dan legenda dalam setiap tahapan. Akibatnya, kebijaksanaan Persia lebih bersifat puitis daripada filosofis, dan selalu lebih bersifat intuitif daripada diskursif. Hal ini jelas merupakan warisan dan pengaruh filsafat iluminasi yang lebih populer. Cara kebijaksanaan puitis Persia (atau kebijaksanaan isyraqi puitis Persia) mengurai misteri-misteri alam sekalipun misalnya, bukan dengan meneliti prinsip-prinsip fisika, seperti yang dilakukan oleh para pengikut Aristoteles, melainkan dengan memasuki dan menghayati alam metafisis dan mitos, arketip, mimpi, fantasi, dan sentimen. Tipe pengetahuan ini membentuk basis pandangan Suhrawardi tentang pengetahuan iluminasionis dengan kehadiran.

Dalam buku Hikmah Al-Isyraq Suhrawardi membahas cara memperoleh landasan pengetahuan iluminasionis. Ia mengatakan, Aku, mula-mula, tidak memperoleh (filsafat iluminasi) melalui berpikir, tetapi melalui sesuatu yang lain, aku mencari pembuktian lebih lanjut baginya. Maksudnya, prinsip-prinsip filsafat iluminasi (serupa dengan visi yang pertama, dan dengan pengetahuan tentang keseluruhan), diperoleh Suhrawardi bukan melalui pemikiran dan spekulasi, melainkan melalui sesuatu yang lain. Ini, seperti yang diceritakan Suhrawardi dan para komentatornya, Syahrazuri (abad ke-7 H/ke-13 M), Quthb Ad-Din Al-Syiraz (abad ke-8 H/ke-14 M), dan Harawi (abad ke-11/ke-17 M), merupakan modus eksperiensial khusus untuk mencari pengetahuan yang dinamakan visi iluminasionis (al-musyahadah al-isyraqiyyah). Epistemologi dari tipe visi ini digarap secara sangat terperinci oleh Suhrawardi. Epistemologinya menjadi subjek pembahasan semua komentator setelah masa Suhrawardi dan dirumuskan serta dikaji kembali oleh salah seorang filsuf iluminasionis Muslim abad ke-20 terkemuka, Sayyid Muhammad Kazhim Ashshar, dalam studinya tentang prinsip dan argumen ontologis Wahdah-i-Wujud wa Bada’.

Teori pengetahuan Suhrawardi yang telah direkonstruksi itu terdiri atas pertimbangan intuitif (al-ahkam al-hads—yang menyerupai gagasan Arsitotelian aghinoia) dan apa yang dinilainya sebagai proses ganda visi-iluminasi (al-musyahadah wal al-isyraq), yang juga berfungsi sebagai landasan bagi rekonstruksi ilmu yang kuat dan sahih (al’ilm al-shahih). Aspek-aspek ini juga membentuk basis metodologi ilmiah (al-thariq al-‘ulum) yang merupakan saripati konsep Suhrawardi tentang pengetahuan dengan kehadiran. Pengalaman visioner, yang mengantarkan pada pengetahuan yang tidak diperoleh melalui proses berpikir (fikr), berlangsung dalam alam khusus yang disebut mundus imaginalis (‘alam mitsal). Pengalaman eksperiensial dalam alam imajiner (khayali) menentukan apakah sesuatu itu, yang akhirnya hanya dapat dikomunikasikan melalui bahasa yang tidak biasa, seperti bahasa puitis atau modus-modus simbolik metabahasa lainnya. Jadi, puisi yang mencakup metafisika metafor dan simbolik, secara teoretis diberi status yang paling sejati.

Pengetahuan tentang diri sendiri merupakan unsur mendasar dari teori pengetahuan iluminasionis. Pengetahuan sebagai persepsi (idrak) jiwa adalah esensial dan berdiri sendiri karena seorang individu sadar akan esensi itu sendiri. Kesadaran-diri dan konsep Aku—diri-sebagai-diri, atau kediriannya—adalah dasar pijakan pengetahuan. Yang akhirnya diperoleh melalui kesadaran awal akan esensi diri seseorang adalah jalan pengetahuan, yang disebut pengetahuan dengan kehadiran dan penglihatan (al-‘ilm al-hudhuri al-syuhudi). Bagi Suhrawardi, ini merupakan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh oleh para filsuf Peripatetik, yang bertumpu pada kesatuan dengan Akal Aktif.

Suhrawardi menyinggung dalam sejumlah karyanya pertimbangan intuisi (ahkam al-hads, hukm al-hads) yang digunakan sebagai bentuk absah dari pengambilan kesimpulan. Dalam segala hal, keabsahan pertimbangan intuisi tidak perlu dipertanyakan dan diberi peringkat demonstrasi. Demikian pula, pertimbangan intuitif, yang menjadikan demonstrasi tidak lagi diperlukan. Intuisi, dalam pengertian yang digunakan oleh Suhrawardi, kemungkinan besar merupakan pengembangluasan dari kesadaran kilat (agkhinoia) Aristoteliasn, tetapi Suhrawardi memasukkan tipe khusus penyimpulan ini ke dalam epistemologinya. Dengan menggunakan terminologi teknis peripatetik yang telah dimodifikasi, ia mengidentifikasi intuisi pertama-tama sebagai suatu aktivitas akal habitual (‘aql bi al-malakah) dan kedua sebagai aktivitas akal suci (al-‘aql al-quds). Akan tetapi, ia menganggap tindakan terpenting dari intuisi sebagai kemampuan subjek dalam menangkap secara cepat sebagian besar inteligibel (ma’qulat) tanpa bantuan seorang guru. Dalam kasus semacam ini, intuisi memahami terma tengah (al-haddal-ausath) suatu silogisme, yang serupa dengan pemahaman (langsung) akan definisi esensialis—jelasnya, esensi dari sesuatu itu.

Iluminasi dipancarkan oleh Cahaya dari segala cahaya ke tingkat manusia melalui prinsip perantara tertentu, yaitu cahaya-cahaya yang mengendalikan (al-anwar al-qahirah) dan cahaya-cahaya yang mengatur (al-anwar al-mudabbirah). Di antara cahaya yang mengatur, cahaya prinsipiil yang secara langsung memengaruhi jiwa manusia adalah cahaya isfahbad.

Teori Suhrawardi tentang visi berlaku pada fisika dan metafisika. Analisis teori dimulai dengan pembahasan tentang visi eksternal (ibshar), yang disebut visi, atau melihat, melalui indra-indra lahir (musyahadah bi al-hiss al-zhahir). Dalam fisika, Suhrawardi menolak kejasmaniaan sinar-sinar (jismiyyah al-syu’ra) dan pandangan yang menganggap sinar sebagai warna-warna (launiyyat al-syu’a). Ia menolak teori visi lahir yang berpendapat bahwa visi (ibshar) berlangsung karena sinar-sinar meninggalkan mata dan menemui (yulaqi) objek-objek penglihatan. Suhrawardi juga tidak menerima pandangan bahwa tindakan melihat (ru’ya) berlangsung ketika bentuk sesuatu (shurah al-syai’) tercetak pada cairan bening (al-rutthubah al-jalidiyyah).

Bagi Suhrawardi, fakta bahwa visi tidak memiliki keluasan temporal dan tidak perlu ada hubungan material (rabithah) antara yang melihat dan yang dilihat, yang berarti bahwa penglihatan atau visi telah ada sebelum pemikiran dan lebih unggul atasnya. Hal ini dikarenakan pemerian sifat-sifat esensial, genus, dan diferensia memerlukan waktu. Konstruksi silogisme dialektis dan induktif juga membutuhkan waktu. Akan tetapi, visi berlangsung dalam sesaat nirwaktu (an), dan ini adalah momen iluminasi.

Teori tentang visi, sebagaimana yang dikembangkan oleh Suhrawardi dan digambarkan dalam metafisika filsafat iluminasi, adalah penerapan dari teori umum tentang pengetahuan. Suhrawardi menyatakan kembali kesimpulan-kesimpulan yang dicapai dalam teori fisikanya: teorema (tentang visi) Anda kini telah mengetahui bahwa penglihatan bukanlah tercetaknya bentuk objek pada mata, dan bukan sesuatu yang keluar dari mata. Oleh karena itu, penglihatan hanya dapat berlangsung ketika objek cemerlang (al-mustanir) bertemu dengan (muqabalah) mata yang sehat”.

Dengan demikian, visi lahir berlangsung sesuai dengan teori umum Suhrawardi tentang pengetahuan, yaitu bahwa subjek (mata yang jernih) dan objek (sesuatu yang cemerlang) hadir dan sama-sama membutuhkan tindakan visi. Agar tindakan visi itu terwujud, syarat berikut harus dipenuhi: (1) kehadiran cahaya disebabkan oleh pemancaran Cahaya dari segala cahaya; (2) ketiadaan penghalang atau tabir (hijab) antara subjek dan objek; (3) iluminasi pada subjek dan objek. Mekanisme yang memungkinkan subjek teriluminasi adalah hal yang rumit dan pelik, serta melibatkan aktivitas tertentu fakultas imajinasi. Ketika suatu objek dilihat, ia bertindak dalam dua cara, yaitu dengan tindakan visi dan tindakan iluminasi. Dengan demikian, visi-iluminasi diaktualisasikan ketika tidak ada rintangan yang menghalangi subjek objek.

Ringkasnya, landasan filsafat iluminasi adalah bahwa hukum-hukum yang mengatur penglihatan dan visi didasarkan pada kaidah yang sama, yang terdiri atas eksistensi cahaya, tindakan visi, dan tindakan iluminasi. Jadi, dalam filsafat iluminasi Suhrawardi, cahaya, iluminasi, penglihatan, visi, tindakan-tindakan kreatif dan dengan keluasan semua hal—dapat dijelaskan melalui eksistensi cahaya yang dipancarkan oleh Cahaya dari segala cahaya.

Tujuan akhir iluminasi, menurut Suhrawardi, adalah menempatkan manusia dalam jajaran alam malaikat (uqul), yang diliputi oleh hakikat dan makrifat tentang Allah, menguasai ilmu Allah, dan dapat meraihnya yang sebelum kemunculannya ke alam ini, seperti halnya teori filsafat idealisme (al-mutsul) Plato. Lebih lanjut, Suhrawardi menegaskan, Semua orang sepakat bahwa cara untuk meraih akhirat harus mengetahui Yang Maha Tunggal (Al-Haqq), malaikat, jiwa-jiwa suci, dan tempat kembali untuk orang-orang bahagia. Oleh sebab itu, melakukan latihan spiritual (riyadhah) dan mengonsentrasikan diri untuk meraihnya. Anda pasti dapat menggapai apa yang telah dicapai oleh mereka.

Secara umum, epistemologi yang dikembangkan oleh Suhrawardi sama dengan epistemologi yang dikemukakan oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi sebelumnya. Dasar utama epistemologi adalah hubungan langsung dengan akal aktual (al-aql al-fa’al). Suhrawardi menganggap bahwa hubungan langsung dengan akal aktual merupakan landasan utama bagi setiap orang mempersiapkan jiwanya secara khusus untuk menerima limpahan makrifat dari akal aktual. Peristiwa itu sebagaimana terjadi pada para wali, berlangsung melalui metode mujahadah dan riyadhah.

Sekalipun demikian, jika pada satu sisi Suhrawardi identik dengan pikiran Ibnu Sina, pada pihak lain berbeda, pada dasarnya mereka memiliki tujuan yang sama dan utama. Dalam analisis Abu Al-‘Ala Afifi, tujuan utama kedua filsuf tersebut—Ibnu Sina dan Suhrawardi—adalah sama, yaitu menentang para penganut filsafat peripatetik dan memasukkan unsur-unsur baru dalam filsafat Aristoteles yang bercampur dengan Neoplatonisme. Hanya, mereka berbeda pandangan dalam unsur-unsur baru yang hendak dimasukkan ke dalam filsafat Aristoteles. Ibnu Sina memasukkan unsur-unsur gnoslisisme dan hermetisme, sedangkan Suhrawardi memasukkan unsur-unsur filsafat Iran kuno yang menduduki tempat istimewa dalam mazhab pemikiran filsafatnya. Suhrawardi menyebut unsur-unsur filsafat Iran kuno ini dengan istilah al-khuthab al-sabil al-quds, dan Al-ulum asy-syarif. Selain itu, ia juga memberikan istilah lain. Dengan demikian, antara Suhrawardi dengan Ibnu Sina terdapat upaya saling memengaruhi atau, dalam istilah logika, ada perpaduan antara yang umum dan yang khusus. Ibnu Sina dan Suhrawardi sama-sama menganut filsafat iluminasi yang menerjemahkan filsafat Aristoteles dan memadukan dengan filsafat Neoplatonisme, sebagaimana dipahami oleh kaum peripatetik. Sementara itu, filsafat Suhrawardi dianggap unik sebab filsafat iluminasinya meminjam teori dari filsafat Iran kuno. Sementara itu, pada sisi lain, mereka mengatakan bahwa filsafat iluminasi adalah pemikiran filsafat Plato, Hermes, Agademon, dan Asqalius, bahkan Empedocles. Terlepas dari berbagai pengaruh yang ada terhadap teori iluminasi Suhrawardi, harus diakui bahwa ia mampu menampilkan pola dan corak lain dalam filsafat isyraq. Bahkan, diikuti dengan penerus isyraqiyah di Persia, India, dan Pakistan sampai Mulla Shadra. Secara sistematis, dapat diringkas pemikiran filsafat As-Suhrawardi Al-Maqtul bahwa hikmah isyraqnya didasarkan pada rasa, sebagaimana dikataka, Apa yang kukemukakan (dalam hikmah al-isyraq) tidak kuperoleh melalui pemikiran, tetapi kuperoleh melalui sumber lain. Dan aku pun segera mencari argumentasinya.

Adapun mengenai wujud, As-Suhrawardi menyusun sebuah teori, yang ia kemukakan secara simbolis, berdasarkan teori emanasi. Menurutnya, ada beberapa alam yang melimpah dari Allah; atau cahaya dari segala cahaya, yang mirip matahari, yang sama sekali tidak kehilangan cahayanya sekalipun ia bersinar terus-menerus.
Al-Isyraq berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan searti dengan al-kasyf. Akan tetapi, jika dilihat pada inti ajaran ini, al-isyraq lebih tepat diartikan penyinaran atau iluminasi. Pemikiran ini merupakan gabungan dari tasawuf dan filsafat dari berbagai aliran yang ia wariskan melalui karya tulisnya Hikmatul Isyraq.

Dengan konsep tersebut, As-Suhrawardi memberikan kesimpulan bahwa dengan ide inilah memancar wujud-wujud materi yang beragam sebagaimana terlihat pada alam semesta ini. Alam ini merupakan bayang-bayang dari pancaran dari seluruh Nur Al-Anwar sehingga menurut paham Isyraqyyahnya, alam ini terdiri atas aspek alam makna, yang terdiri atas alam uluhiyat, dan aspek akal budi.

Hikmah al-isyraq memperkenalkan satu hal bahwa untuk memperoleh kebenaran yang beremanasi dari pencahayaan-Nya, kita harus menjadi cahaya bagi diri kita sendiri. Caranya, kita harus mengenal bahwa secara esensial, kita diciptakan sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan hati, rasionalitas dan spiritualitas, untuk mencapai kodrat kemanusiaan dan keilahian dalam diri kita. Diri kita adalah cahaya atau cerminan dari cahaya-Nya, akhirnya tidak perlu diragukan lagi. Dengan diri yang bercahaya ini, kita dapat memeluk kesejatian insani yang sesungguhnya, menjadi figur pencerah bagi dunia, dan memancarkan pesona yang tidak habis-habisnya dan memberikan kedamaian di muka bumi. Cahaya yang menghadirkan kedamaian dan kenyamanan dalam satu cahaya yang abadi.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Suhrawardi Al-Maqtul. Riwayat Hidup
2. Suhrawardi Al-Maqtul. Karya Filsafat
3. Suhrawardi Al-Maqtul. Pemikiran Filsafat
4. Suhrawardi Al-Maqtul. Filsafat Iluminasi
5. Suhrawardi Al-Maqtul. Metodologi Filsafat
6. Suhrawardi Al-Maqtul. Struktur Filsafat Iluminasi
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Suhrawardi Al-Maqtul. Epistemologi Iluminasionis"