Mulla Shadra. Pemikiran Teologis

Pemikiran Teologis Mulla Shadra
Mulla Shadra
Mulla Shadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan berbagai argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya yang terkenal adalah burhan shiddiqin. Inti argumen ini adalah menempatkan semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan, semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu sendiri serta tidak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tidak bergantung kepada wujud lain.

Burhan shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Shadra berpijak pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh Mulla Shadra dalam argumen tersebut tidak menegaskan bahwa Tuhan itu berwujud, tetapi menegaskan persepsi yang benar bahwa secara hakiki Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan segala makhluk dan menghadirkan semua maujud. Dia meliputi segala sesuatu, Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki dan setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli wujud-Nya.

Gambaran Mulla Shadra tentang Tuhan yang sangat dalam ini beserta argumen shiddiqin-nya merupakan hasil dari perjalanan panjang peradaban makrifat Ilahi manusia dan evolusi pemikiran filosofis di dunia Islam. Puncak kulminasi pemikiran filsafat ini, secara sempurna mempertemukan tiga unsur, yaitu wahyu sebagai teks suci Tuhan, pemikiran filsafat, dan teologi (ilmu kalam).

Dalam mazhab pemikiran Mulla Shadra, wujud makhluk, jika dibandingkan dengan wujud Tuhan, bukanlah wujud yang hakiki. Makhluk disebut sebagai bayangan, citra, dan manifestasi. Makhluk ini secara hakiki tidak menampakkan dirinya, tetapi menampakkan Tuhan. Makhluk adalah citra Tuhan, bayangan Tuhan, dan manifestasi Tuhan. Makhluk bukanlah suatu wujud mandiri yang dengan perantaraannya Tuhan tercitrai dan terbayangkan, ia adalah citra dan tajalli Tuhan.

Dalam aliran filsafat, secara umum dikatakan bahwa wujud terbagi atas dua, yaitu wujud Tuhan dan wujud makhluk. Wujud Tuhan meniscaya dengan sendirinya (swa-wujud), tidak terbatas, azali dan abadi, sedangkan wujud makhluk bergantung kepada-Nya, terbatas, dan baru tercipta (hadits). Cara menjabaran seperti ini juga digunakan oleh Mulla Shadra pada awal pembahasannya tentang wujud, tetapi secara perlahan-lahan dan sistematis—setelah kajiannya tentang prinsip kausalitas, wujud hubungan, kebergantungan hakiki wujud kuiditas dan kehakikian wujud—kemudian mewarnai kajian-kajian filosofisnya dengan warna yang berbeda dari filsafat umum dan mengubah pandangannya secara ekstrem tentang hubungan Tuhan dan selain-Nya.

Konstruksi argumen Mulla Shadra tentang Tuhan berbeda dengan konstruksi yang dibangun oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi. Dalam pemikiran Al-Farabi, wujud awal dan esa adalah Wajib al-Wajib. Oleh karena itu, Dia tidak membutuhkan yang lain dalam perwujudan dan keabadian-Nya. Dia adalah Sebab Pertama untuk semua realitas wujud, Dia sempurna, tak bergantung, abadi, bukan materi dan tidak mengalami perubahan. Tuhan secara esensial memiliki ilmu dan mengetahui segala realitas yang terjadi di alam. Tidak satu pun yang menyamai dan menyerupai-Nya.

Filsafat yang dikembangkan oleh Mulla Shadra ini akhirnya menjadi karakteristik filsafat Islam pada era modern dengan pola perpaduan antara rasional dan irasional, antara rasio dan rasa, antara moral dan spiritual. Akhirnya, menjadi trade mark filsafat Islam pada fase berikutnya dan sampai saat ini, masih dikembangkan dan dijadikan rujukan oleh para pengkaji filsafat Islam generasi berikutnya.

Mulla Shadra mencoba menguraikan posisi filsafat Islam sejak kelahirannya sampai pada tingkat perpaduannya. Ia mengklaim bahwa filsafatnya merupakan tujuan akhir dari sebuah perjalanan filsafat dalam Islam dengan berbagai argumen berikutnya.
1. Meletakkan sistem filsafat hikmah di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhuri/badihi, sambil menegaskan bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self-evident). Dasar-dasar swabukti tidak memerlukan pembuktian (burhanah) atau pengukuhan (itsbat), tetapi hanya memerlukan pemaparan atau penjelasan.
2. Menurunkan sejumlah prinsip rasional-filosofis untuk mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip swabukti yang telah diketahui manusia secara hudhuri tersebut.
3. Menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis yang bersumber dari prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah mukasyafah (penyingkapan batin) para mistikus. Kategori pengetahuan ini juga sering disebut dengan ilmu gaib atau ilmu laduni.
4. Menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis dan mukasyafah dengan teks-teks suci dalam rangka memperteguh dan memperluas bangunan filsafat hikmah.
5. Mengajukan metodologi sistematis untuk mencapai kebenaran utuh sebagaimana tersebut di atas secara teoretis dan praktis. Dalam karya utamanya Hikmah Muta’aliyah Fi Al-Asfar Al-Arba’ah (Hikmah yang Memuncak dalam Empat Perjalanan Manusia), Mulla Shadra memaparkan lima langkah yang telah diambilnya untuk menemukan kebenaran tertinggi, kebenaran utuh, yang tidak sekedar bersifat rasional-filosofis, mistis-emosional, teksual-keagamaan, tetapi juga kebenaran dalam pengertian realisasi langsung (tahaqquq).

Dalam pengantar Al-Asfar, Mulla Shadra menyatakan:
Teori-teori diskursif hanya akan mempermainkan para pemegangnya dengan keragu-raguan. Kelompok yang datang belakangan akan melaknat kelompok yang datang sebelumnya, sehingga ‘Setiap umat yang masuk (ke dalam neraka) akan melaknat umat sebelumnya (yang telah ikut menyesatkannya)’. (Q.S. Al-A’raf [7]: 38)

Mulla Shadra melancarkan kritikan bertubi-tubi pada kalangan Peripatetik yang bersikukuh memegang akal dan prinsip-prinsip rasional sebagai satu-satunya alat penyingkap kebenaran. Menurut Mulla Shadra, akal memiliki keterbatasan, sebagaimana alat-alat pengetahuan manusia lainnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu metodologi yang menyinergikan semua potensi yang ada sehingga tiap-tiap potensi itu dapat mengambil perannya dalam mengantarkan manusia pada kebenaran seutuhnya dan puncak kesempurnaannya.

Selanjutnya, dalam Mafatih Al-Ghayb, Mulla Shadra menuturkan: Banyak orang yang bergelut dalam ilmu pengetahuan menyangkal (adanya) ilmu gaib laduni (langsung dari sisi Allah) yang dicapai oleh para ahli suluk dan ahli makrifat (yang lebih kuat dan lebih kukuh dibanding semua kategori ilmu lain) dengan mengatakan, ‘Apakah ada ilmu tanpa proses belajar, berpikir dan bernalar?’. Ia memaparkan bukti-bukti filosofis untuk menepis keragu-raguan semacam itu. ia membingkai bukti-bukti filosofisnya dengan dalil-dalil tekstual yang melimpah ruah.

Dalam sistem filsafat hikmah, metode rasional-filosofis tidak dapat berdiri secara terpisah dari metode penyucian hati. Begitu pula, sebaliknya; keduanya saling membutuhkan, sedemikian sehingga jika yang satu berjalan tanpa yang lain, akan terjadi kerancuan dan kesesatan.

Mulla Shadra menyatakan, Kaum sufi biasanya mencukupkan diri pada rasa dan intuisi (wijdan) dalam mengambil kesimpulan, sedangkan kami tidak akan berpegang pada apa yang tidak berdasarkan bukti-bukti demonstratif (burhan). Ia meneruskan, Janganlah engkau peduli pada berbagai kepura-puraan para sufi, dan jangan pula engkau gandrung pada berbagai celoteh para filsuf gadungan. Hati-hatilah wahai sahabatku, atas kejahatan kedua golongan ini. Semoga Allah tidak mempertemukan kita dan mereka walau hanya sekejap mata.

Di tempat lain, Shadra menyimpulkan, Oleh sebab itu, yang paling tepat adalah kembali pada metode kami dalam memperoleh makrifat dan pengetahuan dengan memadupadankan metode para filsuf yang bertuhan (muta’allih) dan para mistikus yang beragama Islam.

Upaya Mulla Shadra mendamaikan metode rasional-filosofis dan spiritual-mistis dengan ajaran-ajaran Islam berawal dari keyakinannya pada keunggulan Islam. Baginya, keunggulan Islam yang menggabungkan kekuatan rasional dengan kekayaan spiritual hanya dapat dipahami dan diapresiasi melalui kedua metode ini secara seimbang.

Dalam Al-Mabda wa Al-Ma’ad, Mulla secara singkat memaparkan keserasian bukti-bukti rasional dan ajaran-ajaran tradisional Islam. Pada karya utamanya, Al-Asfar, secara ekstensif, ia meneguhkan keserasian metode filosofis dan mistis dengan ajaran-ajaran Islam. Ia menandaskan, Mustahil hukum-hukum syariat yang hak, Ilahi dan putih-bersih berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti; dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan Al-Qur’an dan Sunnah.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Mulla Shadra. Riwayat Hidup
2. Mulla Shadra. Karya Filsafat
3. Mulla Shadra. Pemikiran Filsafat
4. Mulla Shadra. Kebangkitan Jasmani
5. Kunci Filsafat Mulla Shadra
6. Mulla Shadra. Dasar-Dasar Filsafat Hikmah
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Mulla Shadra. Pemikiran Teologis"