Ikhwan Ash-Shafa’. Manusia dan Jiwa

Manusia dan Jiwa Ikhwan Ash-Shafa’
Ikhwan Ash-Shafa’
Seperti halnya Al-Kindi, Ar-Razi, dan Al-Farabi, Ikhwan Ash-Shafa’ memandang manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jiwa, yang bersifat imateri, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah, air, udara, dan api. Dalam salah satu tulisan mereka, dikatakan bahwa masuknya jiwa ke dalam tubuh merupakan hukuman pada jiwa yang telah melakukan pelanggaran (melanggar larangan Tuhan, seperti dalam kisah Adam a.s. dan pasangannya, Hawa). Karena pelanggaran itu, jiwa diusir dari surga, yaitu alam rohani, dan harus turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh. Dengan hukuman itu, jiwa yang semula memiliki pengetahuan yang banyak secara aktual, setelah memasuki tubuh, menjadi lupa dengan pengetahuannya, dan jadilah pengetahuan itu terdapat dalam jiwa secara potensial saja. Dengan bantuan tubuh dan pancaindra tubuh sebagai alat jiwa, secara berangsur-angsur, jiwa manusia dapat memiliki kembali pengetahuan secara aktual.

Dalam versi lain tidak tergambar bahwa keterusiran Adam a.s. dari surga ke bumi adalah keterusiran jiwanya dari alam ruhani, yang merupakan surga bagi jiwa, masuk ke dalam tubuh yang terdapat di bumi. Tulisan versi ini menggambarkan bahwa Adam a.s. dan pasangannya Hawa, berada di surga, yakni taman yang subur dan menyenangkan yang terletak di suatu tempat yang tinggi di bumi juga. Karena setan berhasil menipu keduanya hingga melanggar larangan Tuhan, keduanya diusir dari tempat yang tinggi itu dan harus turun ke tempat yang lebih rendah di bumi, menjalani kehidupan yang jauh lebih susah karena tempatnya yang baru bukan taman yang subur.

Terlepas dari sebab keberadaan jiwa dalam tubuh manusia, pada awalnya jiwa manusia, menurut Ikhwan Ash-Shafa’, karena berada di dalam tubuh, tidak mengetahui apa-apa, tetapi memiliki kemampuan untuk menerima pengetahuan secara berangsur-angsur. Manusia harus dididik sedemikian rupa dengan ajaran-ajaran yang diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga mengaktual pada jiwanya pandangan keyakinan dan pengetahuan yang benar, baik tentang realitas maupun tentang apa yang seharusnya dibiasakan manusia. Dengan pendidikan yang benar, jiwa manusia menjadi suci, tidak bergelimang dosa karena memperturutkan hawa nafsu. Jiwa manusia yang bersih ini dikatakan oleh Ikhwan Ash-Shafa’ sebagai malaikat dalam potensi. Apabila datang waktu kematian, yaitu berpisahnya jiwa dari tubuh, jiwa manusia mengaktual menjadi malaikat, masuk ke alam surga, alam rohani, yang terletak di alam langit, serta berbahagia di sana dengan segala macam kesenangan rohani. Sebaliknya, jiwa manusia yang bergelimang dosa dan kotor karena memperturutkan hawa nafsu dikatakan sebagai setan dalam potensi. Apabila datang waktu kematian, jiwa manusia itu mengaktual menjadi setan, tidak bisa naik ke alam surga di langit, tetapi terombang-ambing dalam gelombang materi, menderita dalam neraka materi di bumi dan lapisan udara di bawah langit/falak bulan karena keinginannya yang tetap membara untuk mendapatkan kesenangan melalui jasmani tidak pernah terpenuhi.

Baik emanasi maupun hierarki, yang merupakan istilah-istilah kunci Neoplatonisme klasik, tergambar dengan jelas dalam pemikiran Ikhwan Ash-Shafa’. Dengan menggunakan tamsil matahari, yang memiliki kesamaan dengan pembandingan yang digunakan oleh Plotinus sebelumnya, ia menyatakan: Bagaimana kepemurahan dan kebaikan yang terdapat pada Tuhan memancar (afadhah) dari-Nya melalui keniscayaan kebijaksanaan (bi-wajib al-hikmah) sebagaimana cahaya dan kecemerlangan memancar dari matahari. Produk pertama emanasi (faidh) terus-menerus ini disebut Akal Aktif (al-‘aql al-fa’al), kemudian memancar Akal Pasif (al-‘aql al-munfa’il) atau Jiwa Universal; dari yang terakhir inilah memancar Materi Pertama”(Netton, 1982:35).

Perbedaan besar antara Plotinus dan Ikhwan Ash-Shafa’ tampak dalam hierarki wujud Ikhwan. Plotinus memostulatkan struktur yang relatif sederhana, setidak-tidaknya dalam komposisinya jika tidak dalam elaborasi, teologisnya, tentang Yang Esa, Akal, dan Jiwa, sedangkan Ash-Shafa’ mengembangkan hierarki wujud ini menjadi sembilan tingkat struktur emanasi.

Neoplatonisme Rasa’il yang dihasilkan oleh Ikhwan Ash-Shafa’ tidak mungkin ditekankan. Penyerapan karya-karya ini, di samping elemen Aristotelian dan elemen-elemen lainnya, menjadikan Rasa’il sebagai salah satu karya paling sinkretis yang dikenal dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Akan tetapi, perlu disebutkan di sini, kita tidak boleh membiarkan tulisan-tulisan mereka memberikan kesan sinkretisme yang sama sekali tidak orisinal dan tidak berarti apa-apa. Rasa’il bukan sekedar penggabungan total dari berbagai pengaruh. Realitasnya jauh lebih subtil. Sinkretisme menjelaskan sebagian kontradiksi dalam teks mereka, tetapi tujuan mereka adalah menerangkan orisinalitas mereka yang sebenarnya.

Hal yang diinginkan Ikhwan Ash-Shafa’ dan tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan setiap doktrin Islam dan non-Islam yang dapat mereka kumpulkan adalah keselamatan yang hendak dicapai melalui penyucian diri dalam kehidupan.

Apakah Ikhwan Ash-Shafa’ benar-benar Muslim? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua cara, bergantung pada eksklusif atau inklusifnya citra yang dimiliki seseorang mengenai Islam (Netton, 1982:106). Cara yang baik untuk mencirikan atau mengikhtisarkan mereka adalah menyebut Ikhwan sebagai Orang-orang Muslim yang bijak (Netton, 1981:67). Mereka sangat menghormati pengetahuan dan kebijaksanaan. Karena menghargai intelek, mereka sering melalaikan tubuh dalam cara-cara yang benar-benar asketis dan Platonik. Minat mereka pada kecermatan pemikiran, dan pandangan yang mendukung gagasan mereka, telah membawa mereka pada eklektisisme rumit yang mencakup pandangan orang Kristen dan orang India, dan membuahkan capaian lanjut mereka dalam matematika. Apakah mereka benar-benar filsuf atau sekedar intelektual pembual (magpies) tanpa suatu sistem yang jelas? Jika seseorang mendefinisikan filsuf menurut pengertian etimologis aktual kata itu, jawabannya ya. Mungkin mereka tidak melahirkan suatu sistem tunggal yang rapi. Teks mereka tampak sarat dengan kontradiksi, tetapi tidak diragukan lagi bahwa teks itu ditopang oleh pendirian filosofis dan teologis yang asli, pendirian tentang keselamatan melalui asketisme dan kebijaksanaan. Begitulah Ikhwan Ash-Shafa’—misteri sejarah yang memberikan nilai yang tinggi dalam filsafat Islam.

Secara sistematik, pemikiran filsafat bagi golongan Ikhwan Ash-Shafa’ bertingkat-tingkat. Pertama-tama, cinta pada ilmu, kemudian mengetahui hakikat wujud menurut kesanggupan manusia, dan terakhir adalah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan filsafat, Ikhwan Ash-Shafa’ membaginya menjadi empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan, ilmu ketuhanan memiliki bagian-bagian yaitu:
1. Mengetahui Tuhan
2. Ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan
3. Ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh dan jiwa, yang ada pada benda langit dan benda alam
4. Ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik pribadi (akhlak)
5. Ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat hidup di hari kemudian

Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan Ash-Shafa’ adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terperinci adalah cinta pada ilmu pengetahuan di samping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.

Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan Ash-Shafa’ yakin bahwa tidak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia. Peniruan ini, menurut Ikhwan Ash-Shafa’ dapat dicapai melalui pengetahuan teoretis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama hanya berada pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduanya.

Bagi Ikhwan Ash-Shafa’, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkap pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan adalah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenangan ragawi dan imbalan kasat mata.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Ikhwan Ash-Shafa’
2. Karya Filsafat Ikhwan Ash-Shafa’
3. Ikhwan Ash-Shafa’. Pemikiran Filsafat
4. Ikhwan Ash-Shafa’. Filsafat Alam
5. Ikhwan Ash-Shafa’. Filsafat dan Angka
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Ikhwan Ash-Shafa’. Manusia dan Jiwa"