Ibnu Bajjah. Teori Ittishal

Teori Ittishal Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah
Seperti halnya Al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Bajjah percaya bahwa pengetahuan tidak diperoleh semata-mata melalui indra. Pertimbangan-pertimbangan universal dan niscaya, isi ilmu yang prediktif dan eksplanatif serta landasan bagi penalaran apodeiktik (aphodeictic) tentang alam, hanya dapat dicapai dengan bantuan Akal Aktif (aql faal) yang diatur oleh inteligensi.

Dalam mengelaborasi Akal Aktif, Ibnu Bajjah memaparkan terbentuk empat prinsip tentang proses akal, yaitu sebagai berikut.
1. Hubungan antara sarana dan tujuan. Sarana sangat diperlukan bagi tujuan di alam; tetapi di alam gagasan, tujuanlah yang pertama-tama hadir. Gagasan itu biasanya mendahului badan atau tidak akan ada kepastian yang mengatasi (dan mengarahkan) permainan kejadian dan kehancuran tidak terkendali yang sebaliknya.

2. Proses perubahan. Segala sesuatu menjadi bukan seperti sekarang. Mereka tidak menjadi sebab-sebab, tetapi menjadi seperti sebab-sebab yang menghasilkan perubahan dalam diri mereka. Dengan demikian, perubahan dikuasai oleh bentuk-bentuk universal. Akibat-akibat bukan ditimbulkan oleh bentuk partikular khusus, melainkan oleh sebab dari suatu sifat yang tepat. (Karena itu, kesediaan menerima perubahan, watak-watak dasar sesuatu, adalah formal dan universal, bukan material dan idiosinkratik).

3. Daya imajinasi yang membimbing insting binatang. Binatang tidak mencari air minum atau makanan tertentu, seperti teman mencari teman atau orang tua mencari keturunan, tetapi mencari makanan atau air apa pun yang akan memenuhi tabiat dasar mereka. Binatang tidak mempunyai konsep-konsep universal. Gagasan-gagasan yang menjelma dalam tingkah laku mereka pasti hadir secara implisit dan objektif bukan eksplisit dan subjektif.

4. Kerja pikiran itu sendiri. Kita memahami suatu substansi sepanjang kita dapat menisbahkan predikat terhadapnya. Tanpa predikat itu, kita tidak mengetahui apa-apa tentangnya dan kita pun tidak dapat mengatakan bahwa kita benar-benar memahami.

Jika benar, argumen terakhir ini membuktikan bahwa akal manusia tidak bisa direduksi menjadi jasmani atau fungsi indriawi belaka. Dari sini, Ibnu Bajjah terbukti memandangnya sebagai langkah mudah ke arah Akal Aktif hipostatik, sebagai sumber dan pendorong rasionalitas manusia. Argumen pertama Ibnu Bajjah sejajar dengan argumen desain (design argument) Stoa, yang menawarkan imanensi spiritual yang disukai kaum peripatetik dan neoplatonik sebagai alternatif bagi imanensi jasmani yang disukai kaum Stoa, dalam menjelaskan urutan sarana ke tujuan dalam alam semesta ini. Argumen kedua dan ketiga sama-sama bertentangan dengan beberapa bentuk reduksi nominalis. Kedua argumen itu bermaksud menetapkan Akal Aktif sebagai satu-satunya solusi terpercaya bagi masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh materialisme.

Teori ini dapat dilihat dari kemungkinan wahyu kenabian dan pengetahuan khusus orang-orang yang dekat dengan Tuhan, yaitu para wali (auliya), di antaranya adalah para sahabat Nabi (shahabah). Melalui interaksi khusus antara akal dan imajinasi, mereka memperoleh dari malaikat—dalam bahasa para filsuf, mereka memperoleh dari inteligensi tidak mewujud yang mengatur bola-bola langit, suatu penglihatan inti, demikian Ibnu Bajjah menyebutnya, yang menggemakan ungkapan Sokrates tentang mata hati.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori ittishal Ibnu Bajjah, yaitu tentang hubungan manusia dengan Akal Aktif. Tujuan teori ini adalah mencapai, mengenal, dan mengetahui Tuhan dengan cara mengetahui perbuatan Tuhan—memahami sesuatu melalui gagasan universalnya. Sebab setiap perbuatan ada tujuannya, baik perbuatan manusia maupun Tuhan—baik bersifat jasmani maupun rohani. Dalam tulisan Abdul Hadi tentang Ibnu Bajjah dituliskan bahwa: ... Perbuatan manusia memiliki sejumlah tujuan yang berbeda tingkatannya. Ada perbuatan untuk tujuan jasmani, seperti makan dan minum, memakai pakaian, atau membuat rumah sebagai tempat tinggal. Ada pula perbuatan dengan tujuan rohani, yang meliputi sejumlah tingkatan yang juga berbeda seperti: (1) perbuatan memakai pakaian yang indah dan serasi, yang menimbulkan kenikmatan pada indra batin; (2) perbuatan yang menimbulkan kenikmatan pada daya khayal, seperti perbuatan memperlengkapi diri dengan persenjataan, tidak pada waktu perang; (3) perbuatan berkumpul sesama orang-orang yang saling bersimpati atau sesama pemain, yang menghasilkan kegembiraan rohani tertentu; (4) perbuatan dengan tujuan untuk mengaktualkan dengan sempurna daya akal pikiran, seperti upaya mempelajari suatu pengetahuan demi pengetahuan itu, bukan demi mendapatkan uang atau harta lainnya.

Seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Bajjah tidak melihat pencarian mistik sebagai saingan bagi sains (ilmu), tetapi sebagai puncak dan buah sains. Pengetahuan ilmiah menjadi dasar pemahaman komprehensif tentang bentuk-bentuk yang merupakan tujuan hakiki seorang ahli. Selanjutnya, sains bagi Ibnu Bajjah bukanlah upaya bebas-nilai atau bernilai netral dalam kaitannya dengan istilah itu. Memahami sesuatu dalam konteks filsafat Plato dan Aristoteles seperti filsafat Ibnu Bajjah, berarti melihat nilai, kesempurnaan, dan kebaikannya, tidak hanya bagi kita, tetapi juga dalam dirinya sendiri. Sebab, dalam kebaikan itu termanifestasikan kebaikan Tuhan. Pengetahuan komprehensif di sini tidak mengesampingkan kebenaran moral dan spiritual. Kedua hal itu merupakan penjelasan dari sifat dan peran kita sendiri serta takdir kita di antara inteligensi yang melampaui hal-hal yang jasmani semata.

Sebagai ilustrasi teori ittishal ini, Ibnu Bajjah menggambarkan kehidupan dan segala tujuan hidup seseorang dengan ungkapan sebagai berikut: ... seseorang bisa hidup dengan baik di dunia, mengurus urusannya, tetap sehat dan memiliki rumah dan harta benda, tetapi tidak satu pun di antara semua itu sama dengan kehormatan atau kemuliaan, dan kita tidak bisa meyakinkan diri bahwa hal-hal tersebut merupakan puncak dari jenis kehidupan yang mengagumkan... mereka hanya tujuan bagi jiwa yang dangkal... hanya lazim bagi binatang tidak rasional dan karenanya bersifat kebinatangan.

Ibnu Bajjah berpendapat bahwa hanya ketika bertindak secara rasionallah kita menjadi bebas. Bahwa tujuan kita yang sebenarnya adalah pengetahuan spiritual, berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan Tuhan.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Ibnu Bajjah. Riwayat Hidup
2. Ibnu Bajjah. Karya Filsafat
3. Ibnu Bajjah. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Bajjah. Tentang Materi dan Bentuk
5. Ibnu Bajjah. Tentang Akal dan Pengetahuan
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Ibnu Bajjah. Teori Ittishal"