Al-Farabi. Filsafat Kenegaraan

Filsafat Kenegaraan Al-Farabi
Al-Farabi
Dalam filsafat kenegaraan ini, Al-Farabi memulai pengkajiannya dari asal mula tumbuhnya negara, tujuan negara, negara utama, dan kriteria pemimpin negara.

Seperti halnya Plato, Aristoteles, dan Ibnu Abi Rabi’, Al-Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu, menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak hanya material, tetapi juga spiritual, tidak hanya di dunia fana ini, tetapi juga di akhirat. Pendapat Al-Farabi tentang tujuan hidup bermasyarakat itu memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang Muslim di samping pengaruh tradisi Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moralitas, dan etika.

Menurut Al-Farabi, masyarakat dibagi menjadi dua, yaitu masyarakat yang sempurna dan masyarakat yang tidak atau belum sempurna. Masyarakat yang sempurna diklasifikasikan menjadi (1) masyarakat sempurna besar; (2) masyarakat sempurna sedang; dan (3) masyarakat sempurna kecil. Masyarakat sempurna besar adalah gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta bekerja sama (perserikatan bangsa-bangsa). Masyarakat sempurna sedang adalah masyarakat yang terdiri atas satu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi ini (negara nasional), sedangkan masyarakat sempurna kecil adalah masyarakat yang terdiri atas penghuni satu kota (negara kota).

Adapun masyarakat yang tidak atau belum sempurna adalah masyarakat yang hidup di desa, kampung, lorong dan keluarga. Selanjutnya, di antara tiga bentuk penghidupan sosial itu, keluarga merupakan masyarakat yang paling tidak sempurna.

Perkembangan dari tidak/kurang sempurna menjadi sempurna menurut Al-Farabi bertingkat-tingkat. Mula-mula masyarakat manusia berupa masyarakat yang tersebar, lalu menjadi masyarakat desa dan kampung, kemudian menuju masyarakat kota yang sempurna dan berpemerintahan. Al-Farabi berpandangan bahwa masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Jika unsur-unsur masyarakat itu memiliki kebebasan individual yang lebih besar, dalam diri manusia unsur-unsur itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatnya.

Pandangan Al-Farabi mengenai kelas sosial sangat jelas ketika ia membagi kelas dalam masyarakat yang satu sama lain berbeda. Pandangan ini didasari oleh pemikiran filsafatnya bahwa manusia yang satu tidak sama dengan manusia lainnya. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain faktor iklim dan lingkungan tempat mereka hidup serta faktor makanan. Faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam pembentukan watak, pola pikir dan perilaku, orientasi atau kecenderungan serta adat kebiasaan.

Berbeda dengan Al-Farabi, Ibnu Sina (370-425 H/980-1033 M) berpandangan bahwa perbedaan manusia dengan sesamanya merupakan anugerah Tuhan yang dijadikan untuk memelihara keselamatan hidup dan perkembangan kemajuan hidupnya. Jika semua manusia bersamaan dalam segala hal, pastilah membawa kemusnahan mereka. Menurutnya, perbedaan yang terjadi pada manusia terjadi dalam empat hal: (1) kedudukan dan jabatan (politik); (2) kekayaan (ekonomi); (3) perusahaan (ekonomi); (4) kecerdasan dan ilmu pengetahuan (dunia pengetahuan).

Menurut Aristoteles, negara atau asosiasi politik lahir melalui proses alam dan perkembangan yang diperlukan dalam hidup manusia. Manusia adalah seekor hewan yang didorong oleh lingkungan (alamnya) untuk berkehidupan yang berbudi luhur. Berdasarkan hal tersebut, negara merupakan bentuk tertinggi dalam jenjang yang evolusioner. Dalam negara itulah, hakikat moral manusia terbentuk dalam sifat-sifatnya yang khusus dalam mencapai bentuknya yang tertinggi.

Berdasarkan pemikiran tersebut, jelas pandangan Al-Farabi tentang tujuan negara selaras dengan filsuf sebelumnya, seperti Plato, Aristoteles, ataupun Ibnu Abi Rabi’. Dalam kitab Suluk Al-Malik Fi Tadbir Al-Mamalik (Perilaku Raja dalam Pengelolaan Kerajaan-kerajaan), Al-Farabi memulai pembahasan mengenai negara atau kota (al-daulat wa al-madinah) berdasarkan kenyataan sosial bahwa manusia adalah makhluknya yang saling membutuhkan satu sama lainnya untuk mencukupi segala kebutuhannya. Keinginan mencukupi kebutuhan untuk bertahan hidup, untuk diperoleh dengan mengadakan kerja sama, berkumpul di suatu tempat agar bisa saling menolong dan memberi. Proses inilah yang mendorong terbentuknya kota-kota dan akhirnya menjadi negara.

Pemikiran Al-Farabi tentang negara yang utama (al-madinah al-fadilah) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Kepala, tangan, kaki, dan anggota tubuh lain masing-masing memiliki fungsi tertentu. Menurutnya, bagian yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala karena dari kepala (otak), segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Al-Farabi memandang negara sebagai organisasi yang di dalamnya terdiri atas beberapa unsur yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menopang. Menurutnya, negara yang utama (al-madinah al-fadilah) ibarat tubuh manusia yang utuh dan sehat. Semua organ dan anggota badannya bekerja sama sesuai dengan tugas masing-masing, yang terkoordinasi dengan rapi demi kesempurnaan hidup tubuh dan penjagaan kesehatannya. Tubuh manusia memiliki sejumlah organ dengan berbagai fungsi yang berbeda satu sama lain, dengan kadar kekuatan dan kepentingan yang tidak sama. Dari organ yang banyak itu terdapat satu organ pokok dan paling penting, yaitu jantung, dan beberapa organ lain yang tingkat kepentingannya bagi tubuh manusia hampir sama dengan jantung. Organ-organ ini bekerja sesuai dengan kodrat masing-masing membantu jantung. Karena kepentingannya bagi tubuh manusia, organ-organ ini bersama jantung menduduki peringkat pertama.

Menurut Al-Farabi, negara memiliki warga dengan bakat dan kemampuan yang berbeda. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala. Masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan kepala. Bersama-sama kepala, mereka termasuk peringkat pertama. Di bawah mereka terdapat sekelompok warga yang tugasnya mengerjakan hal-hal yang membantu warga peringkat pertama, dan kelompok ini berada pada peringkat atau kelas dua. Di bawah mereka terdapat kelompok lain lagi yang bertugas membantu kelas yang di atasnya, dan demikian terus sampai pada kelas terakhir dan terendah yang terdiri atas warga-warga yang tugasnya melayani kelas-kelas lain, dan mereka tidak dilayani oleh siapa pun.

Atas dasar pemikiran itu, apabila dalam sebuah negara, para anggota masing-masing kelas menjalankan tugasnya tanpa mencampuri tugas-tugas yang lain, negara itu dapat dipandang sebagai negara yang utama (al-madinah al-fadila). Ketika tujuan negara utama, kebahagiaan, bentuknya, dan keserasian terganggu dan dijadikan bahan tertawaan, akan lahir empat macam kemungkinan kota (negara) korup, yaitu kota kebodohan (jahil), kota pembangkang (fasik), kota pembelot (mutabaddilah), dan kota yang sesat.

Menurut Al-Farabi, negara yang buruk itu banyak macamnya, misalnya negeri yang fasik, negeri yang bodoh (Jahiliah), dan negeri yang sesat (dhallah). Negeri yang bodoh terdiri atas enam macam: (1) negeri dharurat (dharuriah), yaitu negeri yang penduduknya hanya memperoleh kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal; (2) negeri kapitalis (baddalah), yaitu negeri yang penduduknya mementingkan kekayaan dan harta benda; (3) negeri gila hormat (kurama), yaitu negeri yang penduduknya mementingkan kehormatan saja; (4) negeri hawa nafsu (khissah wa syahwah), yaitu negeri yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya; (5) negeri anarkis (jami’ah), yaitu negeri yang setiap penduduknya ingin merdeka dengan melakukan keinginan masing-masing.

Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan tersebut terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi kenegaraan yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dikarenakan Al-Farabi tidak pernah memangku jabatan pemerintahan sehingga ia tidak memiliki peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi adalah situasi pada waktu itu, kekuasaan Abbasiyah diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan dengan berbagai motivasi, antara lain aliran, kesukuan, dan kebendaan.

Berpijak pada uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa pemikiran kenegaraan Al-Farabi adalah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur negara. Teori kenegaraannya itu paralel dengan filsafat metafisiknya tentang kejadian alam (emanasi yang bersumber pada yang satu). Hubungan dunia dengan Tuhan itu dapat menjadi teladan bagi hubungan antara masyarakat dan raja.

Sesuai dengan teorinya bahwa penghuni negara itu terbagi dalam banyak kelas, Al-Farabi berpendapat bahwa tidak semua warga negara mampu dan dapat menjadi kepala negara. Orang yang boleh menjadi kepala negara hanyalah anggota masyarakat atau manusia yang paling sempurna, dari kelas yang tertinggi, dan dibantu oleh orang-orang pilihan dari kelas yang sama.

Menurut Al-Farabi, kepala negara itu diadakan dahulu, menyusul kemudian rakyat yang akan dikepalainya. Ia beralasan pada analogi bahwa jantung terbentuk terlebih dahulu, kemudian jantung menjadi sebab terbentuknya organ-organ tubuh yang lain. Jantung pula yang menjadi sebab tumbuhnya kekuatan dan energi bagi organ-organ itu serta tersusunnya urutan martabat masing-masing. Apabila ada organ yang tidak bekerja dengan baik atau rusak, jantung memiliki wahana untuk menghilangkan ketidakbaikan atau kerusakan itu. Demikian pula, kepala negara harus ada dahulu. Dari kepala negara ini terbentuklah negara dan bagian-bagian atau rakyatnya. Kepala negara membentuk wewenang, tugas, dan kewajiban serta martabat atau posisi warga negara. Jika ada warga negara yang tidak baik, kepala negara dapat menghilangkan ketidakbaikan itu.

Dalam kitab ‘Ara Ahlu Al-Madina Al-Fadila, Al-Farabi mengatakan bahwa hal penting dalam negara adalah pimpinan atau penguasa, bersama-sama dengan bawahannya sebagaimana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Penguasa harus orang yang paling unggul, baik dalam bidang intelektual maupun moralnya. Di samping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas berupa: (1) kecerdasan; (2) ingatan yang baik; (3) pikiran yang tajam; (4) cinta pada pengetahuan; (5) sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks; (6) cinta pada kejujuran; (7) kemurahan hati; (8) kesederhanaan; (9) cinta pada keadilan; (10) ketegaran dan keberanian; (11) kesehatan jasmani; (12) kefasihan berbicara.

Apabila tidak seorang pun yang memiliki secara utuh kedua belas kriteria di atas, kedudukan pimpinan negara dipikul secara kolektif (semacam presedium) antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin. Sebagai contoh, misalnya negara itu diketahui oleh seorang yang memiliki kecerdasan dan cinta pada kejujuran, dan beranggotakan seorang yang cinta pada keadilan, seorang yang memiliki kemurahan hati, seorang yang memiliki keberanian, dengan catatan bahwa jika terdapat warga negara yang memiliki kecerdasan dan cinta kejujuran, negara itu tetap tidak mempunyai raja, padahal suatu negara tanpa raja tidak akan bertahan lama dan akan mengalami kehancuran. Berdasarkan sejumlah kriteria Al-Farabi bagi pemimpin negara, tampaknya Al-Farabi konsisten dengan pemikiran filosofisnya tentang kota model bahwa kota sebagai keseluruhan dari bagian-bagian yang terpadu, serupa dengan organisme tubuh. Apabila ada yang sakit, yang lainnya akan bereaksi dan menjaganya.

Mengenai pengangkatan pemimpin atau kepala negara, Al-Farabi tidak menjelaskannya secara eksplisit. Tampaknya ia cenderung bahwa pengangkatan pemimpin tidak melalui pemilihan oleh seluruh warga negara, tetapi lebih menghendaki dengan penunjukan. Pandangan ini mirip dengan paham Syi’ah, bahwa pemimpin itu ditunjuk bukan dipilih. Seorang pemimpin negara adalah ma’sum, secara tabiatnya ia telah dipersiapkan Tuhan untuk menjadi kepala negara. Dengan demikian, kepala negara ada lebih dahulu baru rakyatnya.

Dalam kaitannya dengan kepemimpinan negara, pandangan Al-Farabi mirip dengan pandangan Plato yang menyatakan bahwa warga negara terdiri atas tiga kelas: (1) kelas pertama dan tertinggi yang terdiri atas pemimpin negara yang mempunyai kewenangan memerintah serta mengelola negara; (2) kelas kedua terdiri atas angkatan bersenjata yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan negara, baik terhadap rongrongan dari atas maupun dari luar; (3) kelas ketiga dan terendah, terdiri atas pandai besi, pedagang, dan petani.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Al-Farabi. Riwayat Hidup
2. Al-Farabi. Karya Filsafat
3. Al-Farabi. Pemikiran Filsafat
4. Al-Farabi. Metafisika
5. Al-Farabi. Filsafat Praktis 
6. Al-Farabi. Logika dan Filsafat Bahasa
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Al-Farabi. Filsafat Kenegaraan"