Multikulturalisme dan Isu SARA

Multikulturalisme dan Isu SARA
Multikulturalisme
Mengusir orang asing adalah mengusir komunitas, dan karenanya engkau mengusir dirimu sendiri dari komunitas itu
Jean Francois Lyotard


Apakah suatu negeri, jika bukan suatu bangsa?—demikian judul bab buku Clifford Geertz yang melaporkan pengamatannya yang mutakhir tentang politik identitas yang mulai merebak di akhir abad ke-20. Dalam pemakaian sehari-hari kita menyamakan begitu saja konsep-konsep, seperti: bangsa (nation), negara (state), negeri (country), masyarakat (society) dan rakyat (people). Yang paling problematis menurut Geertz adalah pasangan konsep negeri dan bangsa. Kalau keduanya disamaratakan begitu saja, konsep yang pertama akan ditelan oleh yang terakhir, dan ini merupakan imajinasi yang mengecoh, karena sebuah negeri seolah-olah didiami oleh satu bangsa saja. Bangsa dijelaskan sebagai kumpulan orang dengan bahasa, darah, sejarah, dan tanah yang sama dan “negeri” sebagai teritorium atau tanah dari kumpulan orang itu.

Dalam arti ini negeri merupakan arena politis, political space tempat interaksi sosial ditata, peluang-peluang dan sumber-sumber produktif dibagi-bagikan, sedangkan bangsa adalah kekuatan politis dalam arena itu. tetapi dunia seolah terbius dalam imajinasi tentang identifikasi negeri dan bangsa, sampai perang Balkan membangunkannya dari tidur ala sleeping beauty itu. Yugoslavia..., demikian tulisnya, betul-bentul merupakan contoh terang-terangan dari ketidakcocokan isi dan kenyataan dari konsep-konsep ‘bangsa’ dan ‘negeri’ yang sering disamakan begitu saja.

Bekas Yugoslavia tercabik-cabik secara internal oleh kekuatan-kekuatan nasional yang sekarang menjadi negara-negara kecil. Bukan hanya itu, dari luar negeri ini juga diserang lewat separatisme Makedonia, permusuhan dengan Hongaria dan Bulgaria. Gerak penghancuran itu mulai berturut-turut dari perang Yugoslavia, melalui perang Serbia-Kroatia dan berakhir dengan perang Bosnia. Yugoslavia hanyalah sebuah contoh ekstrem bagaimana identifikasi bangsa dan negeri tidak berfungsi. Jika mata diarahkan ke negara-negara lain, akan jelaslah bahwa kebanyakan negeri di dunia ini sebenarnya terdiri dari banyak bangsa, sehingga identifikasi keduanya justru akan mengaburkan struktur dunia dewasa ini. Kanada, misalnya, didiami oleh orang-orang keturunan Prancis, Inggris, para imigran dan pengungsi dari Eropa dan Asia. Mosaik kultural semacam itu dapat ditemukan dalam negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Swiss, Sri Langka, India, Mesir, Malaysia, Kenya, Guatemala, Belgia dst. Dan bagaimana dengan Indonesia?

Penuturan Geertz di sini menarik. Menurutnya Indonesia ini sedemikian kompleksnya, sehingga sulit melukiskan anatominya secara persis. Negeri ini bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali dst), melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalis, dst). Indonesia demikian tulisnya, adalah sejumlah bangsa dengan ukuran, makna dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama. Indonesia pun sebuah contoh untuk menunjukkan bahwa negeri dan bangsa tidak dapat disamakan begitu saja.

Apakah suatu negeri, jika bukan suatu bangsa?—di dalam era migrasi dan globalisasi ini, pertanyaan itu terdengar seperti gaung dari masa silam yang mungkin makin salah untuk dilontarkan. Tapi tunggu dulu. Jika negeri dan bangsa ingin tetap didekatkan satu sama lain, mungkinkah dengan memberi makna yang berbeda untuk bangsa? Kita, tulis Geertz, membutuhkan sebuah politik baru: sebuah politik yang menegaskan diri etnis, religius, ras, bahasa ataupun regional tidak sebagai irasionalitan masa silam ataupun bawaan, sebagai irasionalitas yang harus ditekan atau diatasi, suatu politik yang memperlakukan berbagai ungkapan kolektif ini tidak sebagai kegilaan yang dilecehkan ataupun sebagai emosi yang tak terkenali, melainkan menghadapi berbagai ungkapan kolektif itu seperti juga menghadapi ketidaksamaan, penyalahgunaan kekuasaan dan problem-problem sosial lainnya. Bangsa seharusnya lebih dilihat sebagai civic nation daripada ethnic nation. Sejauh manakah konsep liberal tentang bangsa itu dapat diwujudkan? Politik yang dibayangkan oleh Geertz menangani masalah yang di negeri kita disebut SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) ataupun separatisme itu sebagai masalah penataan politis dan keadilan, yakni sebagai soal pembagian hak-hak di dalam sebuah negara. Dan politik multikulturalisme yang ditawarkan oleh profesor Will Kymlicka dalam buku Multicultural Citizenship merupakan upaya untuk memenuhi harapan semacam itu.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hardiman, Budi.F. 2001. Hak-Hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta


Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Multikulturalisme dan Isu SARA"