Hermeneutik dan Ilmu-Ilmu Sosial

Apa yang menjadi objek ilmu-ilmu sosial meliputi segala sesuatu yang termasuk ke dalam dunia-kehidupan, yaitu segala bentuk objek-objek simbolis yang kita hasilkan dalam percakapan dan tindakan, mulai dari ungkapan-ungkapan langsung, seperti pikiran, perasaan, dan keinginan, melalui endapan-endapannya, seperti dalam teks-teks kuno, tradisi-tradisi, karya-karya seni, barang-barang kebudayaan, teknik-teknik, dan seterusnya, sampai pada susunan-susunan yang dihasilkan secara tak langsung yang sifatnya stabil dan tertata, seperti pranata-pranata, sistem sosial, struktur kepribadian.
Hermeneutik dan Ilmu-Ilmu Sosial
Hermeneutik
Wilayah operasi ilmu-ilmu sosial ini, dunia-kehidupan sosial, oleh subjek (ilmuwan sosial) dijumpai sebagai objek-objek yang belum terstruktur secara simbolis. Objek itu merupakan pengetahuan pra-teoritis yang dihasilkan oleh para pelaku yang bertindak maupun berbicara. Dengan kata lain, objek ilmu-ilmu sosial itu adalah pengalaman pra-ilmiah sehari-hari dari subjek-subjek yang bertindak dan berbicara dalam suatu dunia sosial. Para pelaku dalam dunia-kehidupan sosial ini bukan berbicara dengan silogisme dan juga bukan bertindak menurut pola hubungan subjek-objek, apa yang disebut Habermas tindakan instrumental, melainkan berbicara dalam language-games yang melibatkan unsur kognitif, emotif dan volisional manusia dan bertindak dalam kerangka tindakan komunikatif, yaitu tindakan-tindakan untuk mencapai pemahaman timbal-balik. Sekurang-kurangnya dalam kondisi manusiawi yang wajar, hubungan-hubungan dalam dunia-kehidupan sosial tersusun atas language-games dan tindakan-komunikatif itu. Bidang-bidang dunia-kehidupan sosial yang sekarang telah mendapatkan status ilmunya antara lain sejarah, ekonomi, hukum, politik, studi agama, kesusastraan, kesenian, puisi, musikologi, filsafat, dan psikologi.

Dunia-kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan melalui pemahaman (Verstehen). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia-sosial itu terutama bukan kausalitas yang niscaya, melainkan makna. Oleh karena itu, tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna (Sinnverstehen). Dalam hal ini, seorang ilmuwan sosial tidak lebih tahu daripada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia-kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia perjelas itu. Untuk menjelaskannya, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus berpartisipasi ke dalam proses menghasilkan dunia-kehidupan itu. akhirnya, partisipasi itu mengandaikan bahwa ia sudah masuk di dalam dunia-kehidupan itu.

Untuk sekedar memperlihatkan perbedaan cara mendekati objek antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pembedaan antara metode Erklaren (menjelaskan menurut kausalitas) dan Verstehen dari Dilthey yang telah disinggung di atas bisa bermanfaat. Ilmu-ilmu alam berusaha menjelaskan (Erklaren) objeknya menurut penyebabnya. Di sini pengalaman dan teori dapat dipisahkan; ada suatu distansi terhadap objeknya. Verstehen yang merupakan metode ilmu-ilmu sosial justru memadukan pengalaman dan pemahaman teoretis. Pengalaman dan struktur-struktur simbolis yang dihasilkan di dalam dunia-kehidupan sosial itu tidak bisa tampak dari luar seperti data alamiah yang diobservasi oleh ilmu-ilmu alam, melainkan harus dilibati dari dalam diri subjek sosial. Apa yang ingin diketahui bukanlah terutama kausalitas, melainkan makna. Makna-makna yang terkandung di dalam tindakan, pranata, produk-produk kultural, kata-kata, jaringan-jaringan kerja sama sosial, dan dokumen-dokumen, dan seterusnya, hanya dapat diketahui dari dalam. Untuk mencapai pemahaman (Verstandigung) makna, secara fundamental ilmuwan sosial dituntut berpartisipasi di dalamnya, sebab makna dunia-kehidupan itu tertutup bagi pengamat yang tak mampu melangsungkan proses komunikasi.

Tentang bagaimana ilmuwan sosial mengetahui objeknya dari dalam ini, dalam sejarah hermeneutik sendiri tampil sebagai alternatif yang kemudian menjadi masalah yang didiskusikan. Hermeneutika Romantis yang dicetuskan oleh Schleiermacher dan Dilthey mempergunakan teori empati untuk menjelaskan bahwa objek dapat diketahui secara reproduktif oleh ilmuwan sosial. Seperti telah diketahui, hermeneutika menyibukan diri dengan problematik teks, meski kemudian pengertian teks ini diperluas menjadi dunia-kehidupan sosial.

Menurut hermeneutik Romantis ini, pembaca teks harus mampu berempati secara psikologis ke dalam isi teks dan pengarangnya; pembaca harus mampu mengalami kembali pengalaman-pengalaman yang dialami pengarang yang termuat di dalam teks itu. Empati psikologis itu terutama dicetuskan oleh Schleiermacher, tetapi Dilthey mengatakan psikologisme itu untuk mencapai taraf objektivitas lebih tinggi dengan berpendapat bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan-keadaan psikis tokoh-tokoh dalam teks dan dari teks, melainkan bagaimana proses karya itu diciptakan. Bukan empati yang dilakukan terhadap pencipta teks, melainkan membuat rekonstruksi atas objektivasi mental, yaitu produk budaya. Jadi, perhatian atas struktur-struktur psikis dialihkan ke struktur-struktur simbolis, tetapi Dilthey tetap mempertahankan pendapat bahwa hermeneutik berarti ‘menafsirkan secara reproduktif’.

Gadamer memberikan jalan lain untuk memahami makna (Sinnverstehen), bukan dengan jalan reproduktif, melainkan dengan jalan produktif. Untuk menafsirkan makna, seorang pembaca teks atau ilmuwan sosial tidak bisa tidak terikat dalam konteks sosio-historis tempat ia berpijak, maka kesenjangan waktu mustahil dijembatani dengan empati atau sekedar mereproduksi struktur-struktur simbolis. Cara yang tepat adalah menafsirkan teks atau objek sosio-kultural itu dalam keterbukaannya terhadap masa kini dan masa depan, maka tugas penafsiran tak kunjung selesai, dan bersifat kreatif. Dunia-kehidupan sosial yang dihayati oleh pengarang teks maupun pembacanya pada zamannya yang dalam konteks yang lebih luas juga berati dunia kehidupan sosial yang menjadi wilayah observasi ilmu-ilmu sosial hermeneutis ini membuat definisi-definisi situasi yang harus ditafsirkan lagi dan lagi oleh pengamatnya.

Sekarang, bila kita ingin mengetahui bagaimana seluruh disposisi hermeneutis ini diterapkan di dalam ilmu-ilmu sosial. Kita harus mengetahui lebih dahulu apa yang menjadi pokok kajian ilmu-ilmu sosial sewaktu mendekati dunia-kehidupan sosial itu. ada tiga pokok yang sekurang-kurangnya menjadi kajian ilmu-ilmu sosial, yaitu pengalaman, ungkapan, dan pemahaman. Ketiganya tampil saling terkait satu sama lain dalam dunia-kehidupan sebagai struktur-struktur simbolis yang termuat sebagai tindakan, ucapan, pranata, kepribadian, dan seterusnya. Ketiga pokok ini pula yang dihadapi ilmuwan sosial dan harus dipahami dari dalam lewat partisipasi komunikatif. Ketiganya de facto merupakan ciri-ciri eksistensial manusia sendiri. Kita memahami diri kita maupun orang-orang lain hanya dengan menyatukan pengalaman kita sendiri ke dalam setiap bentuk ungkapan kehidupan kita sendiri maupun orang lain yang pada gilirannya harus kita pahami. Ketiga pokok ini khas dihadapi oleh ilmu-ilmu sosial, sedangkan ilmu-ilmu alam justru mengeliminasi ketiganya sebagai ‘unsur-unsur subjektif’.

Suatu dunia-kehidupan sosial dapat didekati menurut model pengalaman, ungkapan, dan pemahaman yang terkandung di dalam sebuah autobiografi. Sebuah autobiografi adalah sebuah hermeneutik atau penafsiran sosial seseorang atas proses kehidupannya sendiri. Apa yang terjadi dalam penulisan autobiografi adalah usaha mengangkat dunia-kehidupan yang pra-ilmiah, pra-struktural, pra-reflektif, dan karenanya juga pra-sadar, ke taraf kesadaran. Artinya, terjadi eksplisitasi interpretatif atas pengalaman, ungkapan, dan pemahaman diri si penulis autobiografi.

Dunia-kehidupan yang ditafsirkan itu membuat hubungan-hubungan antara ego, yaitu si penulis autobiografi, di satu pihak dan dunia luarnya, yaitu alter-ego dan alam, sejauh meresapi ego sebagai sesuatu yang bermakna. Oleh karena itu, hubungan-hubungan tersebut mengandung orientasi nilai bagi tindakan komunikatif ego. Orientasi-orientasi nilai inilah yang membuat autobiografi itu dapat dipahami sebagai sesuatu yang teratur, teleologis. Lalu, kita bisa menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang diungkapkan dan dapat dipahami oleh orang-orang lain.

Autobiografi yang dapat dipahami orang lain merupakan sebuah sarana komunikasi pengalaman, uangkapan, dan pemahaman atas ego dan pembacanya, maka semua itu bukan lagi merupakan makna yang bersifat privat, melainkan memiliki kesahihan intersubjektif. Komunikasi makna membentuk sebuah pengalaman pada taraf sosial, sebab orang lain mulai berpartisipasi dalam pengalaman, pemahaman dan ungkapan si penulis autobiografi dan menempatkan teks itu di dalam konteks kehidupannya sendiri. Bahwa orang lain dapat memahami autobiografi ego menunjukkan bahwa pengalaman, ungkapan, dan pemahaman ego tidak asing sama sekali bagi orang lain; ada semacam kerangka objektif kehidupan bersama tempat ego memahami diri, mengalami diri, dan mengungkapkan dirinya, singkatnya tempat ego menafsirkan dirinya. Kerangka objektif kehidupan bersama ini pula yang menyebabkan orang lain yang membaca autobiografi itu dapat memahami orientasi nilai di dalamnya. Kerangka objektif kehidupan bersama itulah yang oleh fenomenologi disebut dunia-kehidupan sosial.

Masih bergerak dalam model autobiografi, dapat kita katakan bahwa salah satu pokok dari ketiga pokok kajian hermeneutik (pengalaman, ungkapan, dan pemahaman), menduduki tempat yang sangat penting dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ungkapan, sebab bagaimana pun autobiografi adalah sebuah ungkapan pemahaman ego atas pengalamannya. Sekurang-kurangnya kita dapat menemukan tiga macam bentuk ungkapan dalam sebuah autobiografi, yaitu ungkapan-ungkapan dalam bentuk bahasa, dalam bentuk tindakan, dan dalam bentuk ungkapan pengalaman yang ekstra-linguistis, seperti mimik reaksi psikis, gerak-gerik, dan seterusnya. Ketiga bentuk ungkapan ini mengejawantahkan secara terbatas penghayatan ego dalam dunia-kehidupan sosialnya, sehingga dapat dimengerti orang lain. Ketiganya secara praktis juga terkait satu sama lain, sehingga pemahaman hermeneutis atau penafsiran mau tidak mau menyoroti ketiganya dalam saling keterkaitan satu sama lain. Untuk memahami ungkapan linguistis, kita tak dapat memisahkan dari konteks tindakan ego dan ungkapan ekstra-linguistis ego. Demikian pula kaitan yang lainnya satu sama lain dengan ungkapan linguistis itu. Kata-kata, tindakan, air muka, dan gerak-gerik saling menerangkan satu sama lain. Dengan kata lain, matra verbal dan matra non-verbal saling menafsirkan.

Matra verbal dan non-verbal yang saling menafsirkan ini terdapat di dalam kehidupan sehari-hari dan ungkapan linguistisnya terdapat di dalam language-games bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari atau language-games sehari-hari ini tidak dapat disamakan dengan silogisme yang monologal di dalam formulasi proporsional dalam ilmu-ilmu alam. Dalam silogisme (bila..., maka...) bahasa bersifat murni dan instrumental, yaitu merupakan ungkapan aksiomatis dari hasil eksperimen yang dapat diterapkan secara sahih universal dan teknis-instrumental. Akan tetapi, di dalam bahasa sehari-hari terkandung banyak unsur kepentingan, rasa-perasaan, konteks-konteks situasional temporal yang harus ditafsirkan. Adalah tugas hermeneutik sebagai metode ilmu-ilmu sosial menafsirkan ungkapan-ungkapan ini.

Dari model autobiografis di atas kita dapat segera memperluas konteks metode hermeneutis ke realitas sosial, dunia-kehidupan sosial yang menjadi wilayah observasi ilmu-ilmu sosial. Pengalaman, ungkapan, dan pemahaman para pelaku dalam sebuah dunia-kehidupan sosial juga, seperti ego dari autobiografi, memiliki matra vertikal dan horizontalnya yang harus ditafsirkan oleh seorang ilmuwan sosial. Matra vertikal itu adalah konteks sejarah masyarakat, sedangkan matra horizontalnya adalah konteks sosial pengalaman bersama. Kedua matra terungkap kompleksitasnya dalam bentuk-bentuk tindakan komunikatif, ungkapan-ungkapan linguistis, pranata-pranata, produk-produk budaya, dan segala sesuatu yang lain yang masuk ke dalam unsur-unsur dunia kehidupan sosial itu. Untuk mendekati objek-objek sosial ini, seorang ilmuwan sosial harus menafsirkannya dengan memperhitungkan matra historis dan sosialnya. Lalu, seluruh proses yang melekat dalam penafsiran sebuah autobiografi harus pula diperhitungkan di dalam proses penafsiran dunia-kehidupan sosial. Seperti halnya sebuah autobiografi, sebuah hasil studi ilmu-ilmu sosial merupakan suatu usaha mengangkat dunia-kehidupan sosial yang pra-struktural, pra-ilmiah, pra-reflektif, dan akhirnya pra sadar ini ke taraf kesadaran ilmiah, lewat penafsiran hermeneutis.

Sejak Dilthey mencoba memberikan pendasaran metodologis ilmu-ilmu sosial dengan metode hermeneutis ini, ditemukan sebuah dilema yang menyangkut penafsiran. Untuk mengetahui sebuah ungkapan, kita harus menempatkannya ke dalam konteks yang lebih luas. Lalu, untuk memahami konteks yang lebih luas itu, kita juga harus memahami ungkapan-ungkapan yang menyusunnya. Misalnya untuk memahami sebuah puisi kita harus memahami terlebih dahulu konteks tradisi sastra puisi; untuk memahami tradisi itu kita harus memahami puisi-puisi yang membentuknya. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa untuk memahami bagian-bagian, kita harus memiliki pemahaman terlebih dahulu tentang totalitas, dan totalitas dipahami melalui pemahaman atas bagian-bagiannya. Begitu juga jika kita ingin memahami sebuah segmen dunia sosial, misalnya penghayatan agama di kalangan kelas bawah, kita harus memahami dahulu berbagai kompleks di sekitar penghayatan agama itu, misalnya kehidupan budaya, ekonomi, sosial, dan juga hubungannya dengan kelas-kelas sosial lainnya; demikian juga keseluruhan masyarakat harus dipahami dari komponen-komponen pembentuknya dan penghayatan agama kelas bawah ini merupakan salah satu di antaranya. Struktur melingkar dari penafsiran yang kemudian dikenal dengan istilah lingkaran hermeneutis ini dan gagasan tentang pra-paham di atas disumbangkan bukan hanya oleh Dilthey, melainkan juga oleh Heidegger dan seorang teolog, Bultman. Lingkaran ini bukan semacam vicious circle (lingkaran setan), melainkan justru menunjukkan dinamika kreatif dan progresif dari penafsiran, sebab lingkaran itu sesungguhnya berupa spiral.

Dari sini kita dapat menempatkan ilmu-ilmu sosial dalam konteks kehidupan yang lebih luas. Penerapan metode hermeneutis dalam ilmu-ilmu sosial mau tak mau menempatkan ilmu-ilmu itu ke dalam konteks praksis tindakan komunikatif dalam masyarakat. Lingkaran hermeneutis yang terjadi dalam proses penafsiran yang dilakukan ilmu-ilmu sosial sebenarnya merupakan cara bagaimana praksis komunikasi dalam masyarakat dilakukan, dan ilmu-ilmu sosial menempati salah satu tahap pemahaman diri masyarakat atas praksisnya. Karena praksis sejati dalam hubungan-hubungan komunikatif bertujuan untuk mencapai pemahaman timbal balik, ilmu-ilmu sosial memainkan peranannya untuk menangkap proses pencapaian pemahaman timbal-balik ini ke taraf rasional dan reflektif. Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial memainkan peranan salah satu fungsi kehidupan, yaitu komunikasi sosial untuk mencapai saling pemahaman dalam masyarakat. Dan karena pengalaman, ungkapan, pemahaman, lalu akhirnya juga penafsiran bersifat dinamis menurut spiral hermeneutis, ilmu-ilmu sosial, khususnya yang memakai metode hermeneutis, juga bersifat dinamis dalam arti terkait dalam konteks praksis sosial yang berdimensi spatio-temporal. Sang ilmuwan sosial sendiri tidak terlepas dari konteks tindakan komunikatif itu, dalam arti dia terlibat di dalamnya, dan memang mesti demikian. Lalu, klaim kebebasan nilai ilmu-ilmu sosial dari positivisme dapat dikritik karena bagaimanapun juga ilmu-ilmu sosial ini terkait dengan kepentingan praksis untuk mencapai saling pemahaman dalam masyarakat.


Ket. klik warna biru untuk link

Download


Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Hermeneutik dan Ilmu-Ilmu Sosial"