Etika Harmoni dalam Perbandingan dengan Etika Barat

Etika Harmoni dalam Perbandingan dengan Etika Barat
Harmoni Sosial
Kita berbicara mengenai etika harmoni Jawa (selanjutnya akan disebut etika harmoni saja). Etika ini menstrukturisasi cara hidup semua orang Jawa, khususnya orang Jawa yang secara kultural tidak hanya mengarahkan dirinya pada kewajiban-kewajiban agama Islam (juga disebut Santri), melainkan kendati mengaku Islam tetap mempertahankan pandangan dunia Jawa-nya (disebut juga kaum abangan). Jika berbicara tentang etika spesifik ini, sama sekali tidak memisahkan dari horizon yang lebih luas dari lingkungan kebudayaan Indonesia, Asia Timur dan akhirnya Asia. Di dalam etika harmoni tercermin mentalitas Asia, yaitu mentalitas yang terutama dibentuk oleh pengaruh-pengaruh pribumi, Islam dan India. Hal itu tidak menampik bahwa suatu mentalitas yang serupa itu dapat ditemukan juga di dalam tradisi Cina dan Konfusian.

Kita memahami etika Barat sebagai konsepsi etis yang telah berkembang melalui Pencerahan Eropa. Etika ini menunjukkan perbedaan yang jelas dari etika harmoni. Etika Pencerahan sebagaimana dirumuskan oleh Immanuel Kant memiliki ciri kewajiban yang diturunkan dari disposisi suara hati.

Bertentangan dengan etika Pencerahan itu kewajiban-kewajiban moral dalam etika harmoni tidaklah absolut dan juga tidak bersifat tanpa syarat, melainkan bersyarat. Yang penting bukanlah mengikuti perintah-perintah mutlak subjektivitas kita, melainkan hasil faktual tindakan kita bahwa kita memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat. Akibatnya, etika harmoni tidak menarik batas yang jelas antara perilaku yang keliru dan kesalahan moral. Tidak terpenuhinya tuntutan itu tidak berarti jahat, melainkan keliru, tidak tepat, tolol atau—dalam bahasa Jawa—durung ngerti. Kata jahat dalam arti moral tidak terdapat dalam bahasa Jawa. Istilah yang dipakai untuknya, ala, berarti jelek, atau tidak tepat. Di dalam hal ini tidak ada perbedaan yang jelas antara moral dan estetika.

Kita dapat menganggap etika harmoni sebagai etika kebijaksanaan atau etika keutamaan. Etika ini berdasarkan pada pandangan dunia mitis bahwa jagad cilik (mikrokosmos) atau individu seharusnya berada dalam hubungan yang harmonis dengan jagad gede (makrokosmos) atau lingkungan alamiah dan sosial. Termasuk dalam asas harmoni ini juga kesatuan mitis antara penguasa dan rakyatnya (manunggaling kawula lan gusti). Kebaikan tertinggi bagi orang Jawa adalah harmoni kosmis atau—demikian sebutan orang Jawa—keadaan slamet (selamat) yang di dalam pengalaman subjektif tercermin sebagai katentreming ati (kedamaian batiniah). Keadaan ini terwujud lewat harmonisasi diri individu dengan masyarakat dan lingkungan alamiahnya. Slamet itu, menyerupai eudaimonia pada Aristoteles, bukanlah tujuan instrumental; keadaan itu tidak dicapai, melainkan dialami. Seorang yang bijaksana dan berkeutamaan bertindak tepat menurut tuntutan-tuntutan etika harmoni dan dengan jalan itu dia mengalami ketenangan batiniah dan kebahagiaan. Karena mendasarkan diri pada the idea of good life dan bukan pada the idea of justice, etika harmoni lebih dekat pada etika Aristotelian daripada etika Kantian dalam filsafat Barat. Manusia tidak berada di pusat, karena etika harmoni itu berciri kosmosentris dan mendekati filsafat pra-Sokratik.


Ket. klik warna biru untuk link

Download


Tuntutan-Tuntutan Etika Harmoni

Sumber
Hardiman, Budi.F. 2001. Hak-Hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Etika Harmoni dalam Perbandingan dengan Etika Barat"