Sokrates. Metode

Metode Sokrates
Sokrates
Sokrates tidak menghidangkan suatu ajaran sistematis. Itu tidak boleh diharapkan juga dari seorang yang tidak membukukan pemikirannya. Tetapi itu sekali-kali tidak berarti bahwa ia bertindak tidak berencana. Sumber-sumber yang memberi informasi mengenai ajarannya, semua setuju dalam mengatakan bahwa sokrates mempergunakan suatu metode tertentu. Metode ini bersifat praktis dan dijalankan dalam percakapan-percakapan. Sokrates tidak menyelidiki fakta-fakta, melainkan ia menganalisis pendapat-pendapat atau tuturan-tuturan yang dikemukakan orang. Setiap orang mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai jabatannya dan seorang tukang mempunyai pendapat tertentu. Seorang negarawan misalnya mempunyai pendapat tertentu mengenai keahliannya. Kepada mereka dan kepada warga negara Athena lainnya Sokrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pekerjaan mereka dan sosial-sosial praktis dalam hidup seorang manusia.

Dalam hal ini kesaksian Xenophon agak cocok dengan dialog-dialog pertama dari Plato. Menurut Xenophon, Sokrates bertanya: apakah itu salah dan tidak salah, apakah itu adil dan tidak adil, apakah itu seorang pemberani dan seorang pengecut, dan lain-lain. Di antara dialog-dialog Plato yang pertama ada yang membahas keberanian (dialog yang bernama Lakhes), ada yang membicarakan pengendalian diri atau tahu ukuran (dialog Kharmides), ada yang mempercakapkan persahabatan (dialog Lakhes), dan lain sebagainya.

Sokrates selalu memulai dengan menganggap jawaban pertama sebagai suatu hipotesis dan dengan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut ia menarik segala konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena membawa konsekuensi-konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain. Lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan pertanyaan-pertanyaan lain dari pihak Sokrates dan seterusnya begitu. Dalam dialog-dialog yang dikarang Plato dalam masa mudanya sering terjadi bahwa percakapan berakhir tanpa hasil yang definitif. Plato sendiri mengatakan beberapa kali bahwa dialog-dialog itu berakhir dengan aporia (rasa bingung). Demikian halnya dengan ketiga dialog yang disebut tadi. Di sini kesimpulan terakhir ialah bahwa kita tidak tahu apakah itu keberanian, pengendalian diri dan persahabatan. Tetapi dalam dialog-dialog yang dikarang Plato pada usia yang lebih matang tidak jarang terjadi bahwa percakapan menghasilkan suatu definisi yang dianggap berguna.

Metode Sokrates yang diuraikan di atas biasanya disebut dialektika. Maksudnya mudah diperkirakan, jika kita ingat bahwa kata kerja Yunani dialegestai berarti bercakap-cakap atau berdialog. Metode Sokrates dinamakan dialektika, karena dialog atau percakapan mempunyai peranan hakiki di dalamnya. Dalam suatu kutipan yang terkenal dari dialog Theaitetos, Sokrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metodenya, yaitu maieutike tekhne (seni kebidanan). Seperti ibunya adalah seorang bidan, katanya, demikian pun tugas Sokrates dapat dibandingkan dengan pekerjaan seorang bidan. Tetapi ia tidak menolong badan bersalin, melainkan ia membidani jiwa-jiwa. Sokrates sendiri tidak menyampaikan pengetahuan, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaannya ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain. Dengan pertanyaan lebih lanjut ia menguji lagi nilai pikiran-pikiran yang sudah dilahirkan.

Dalam bukunya tentang metafisika, Aristoteles memberikan catatan mengenai metode Sokrates yang perlu diperhatikan di sini. Ada dua penemuan, demikian katanya, yang berasal dari Sokrates dan kedua-duanya menyangkut dasar ilmu pengetahuan sendiri. Di satu pihak ia menemukan induksi atau argumentasi induktif dan di lain pihak ia mengintrodusir definisi-definisi umum. Pernyataan Aristoteles itu cocok sekali dengan apa yang kita ketahui mengenai metode Sokrates berdasarkan dialog-dialog Plato. Tetapi Aristoteles memandang metode Sokrates dari sudut logika, yaitu baru pada Aristoteles sendiri mendapat corak sistematisnya; sedangkan Sokrates—seperti sudah kita lihat dan sepintas lalu diakui pula oleh Aristoteles—menjalankan metodenya dalam suatu konteks praktis, yaitu dengan menyelidiki tingkah laku manusia (the excellences of character).

Terlebih dahulu kita boleh bertanya mengapa Aristoteles mengatakan bahwa Sokrates telah menemukan induksi. Dalam logikanya Aristoteles mempergunakan istilah induksi untuk mengacu ke proses pemikiran di mana akal budi manusia, dengan bertolak dari pengetahuan tentang hal-hal khusus, menyimpulkan pengetahuan yang umum. Dan memang itulah yang dilakukan Sokrates. Ia bertitik tolak dari contoh-contoh konkret dan dari situ ia hendak menyimpulkan sesuatu yang umum. Misalnya Sokrates mau menyelidiki apakah yang dimaksudkan orang dengan kata arete (keutamaan). Ada banyak orang yang mempunyai keahlian tertentu yang dianggap sebagai arete mereka. Dari sebab itu Sokrates bertanya kepada tukang-tukang besi, tukang-tukang sepatu dan tukang-tukang tenun apakah keutamaan itu menurut pendapat mereka. Dari jawaban-jawaban yang diberikan, Sokrates mengupayakan perumusan yang melukiskan sifat umum dari konsep keutamaan, dengan menyisihkan sifat-sifat khusus yang berlaku hanya bagi seorang tertentu saja.

Penemuan kedua yang menurut Aristoteles berasal dari Sokrates ialah definisi-definisi umum, dan tentu saja ada hubungan erat dengan induksi tadi, sebab definisi-definisi dihasilkan atas dasar induksi. Kita orang modern sudah begitu biasa dengan membentuk definisi-definisi, sehingga kita hampir tidak menyadari lagi betapa penting penemuan Sokrates ini untuk pengetahuan ilmiah. Suatu definisi berusaha menentukan intisari atau hakikat suatu hal.

Definisi tentang lingkaran, misalnya, misalnya ingin menjelaskan apakah sebenarnya hakikat lingkaran. Definisi itu berlaku bagi tiap-tiap lingkaran, entah besar, entah kecil, entah di tempat ini, entah di tempat lain, entah masa kini, entah masa lampau, entah masa depan. Definisi itu berlaku bagi semua lingkaran, justru karena definisi mau menemukan hakikat yang terdapat pada semua lingkaran. Jadi, definisi hanya mungkin karena ada sesuatu yang tetap dan mantap dalam semua lingkaran, yaitu hakikatnya. Dengan sengaja kami memilih lingkaran sebagai contoh, karena contoh seperti itu kiranya paling jelas. Tetapi Sokrates sendiri tidak mendefinisikan gambar-gambar matematis, melainkan sifat-sifat yang menyangkut tingkah laku manusia. Dengan demikian ia mengandaikan bahwa keutamaan-keutamaan seperti keadilan, keberanian dan lain sebagainya mempunyai suatu hakikat yang tetap. Dalam hal ini ia berbalik dari Sofis-sofis seperti Protagoras yang menganut suatu relativisme dengan menganggap bahwa adil tidaknya dan berani tidaknya suatu perbuatan tergantung pada manusia saja, karena manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu. Tetapi Aristoteles menambahkan bahwa Sokrates tidak membuat hakikat itu menjadi sesuatu yang berdiri sendiri. Kita akan melihat bahwa dalam hal itu Sokrates berbeda dengan Plato dan murid-muridnya, karena dalam uraian mengenai filsafat Plato akan diterangkan lagi bahwa hakikat yang diucapkan dalam definisi-definisi Sokrates, dianggap Plato sebagai Ide.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber.

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Sokrates. Biografi dan Karya
2. Sokrates. Kepribadian dan Cara Hidupnya 
3. Sokrates. Etika
4. Sokrates. Perkara Pengadilan dan Kematiannya
5. Sokrates. Ajaran
6. Sokrates. Pemikiran tentang Politik
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Sokrates. Metode"