Sokrates. Kepribadian dan Cara Hidupnya

Kepribadian dan Cara Hidupnya Sokrates
Sokrates
Ada cukup banyak teks yang mengatakan bahwa raut muka Sokrates tidak tampan. Dalam dialog Plato yang bernama Symposion seorang muda membandingkan Sokrates dengan Satyros: tokoh mitologi Yunani yang setengah berupa binatang dan setengah berupa manusia. Dan dalam suatu karya komedi, Aristophanes pun menyindir raut muka Sokrates. Tetapi badannya kuat dan ia dapat tahan dalam keadaan yang sulit. Pada musim panas dan musim dingin, ia mengenakan mantel yang sama dan selalu ia berjalan dengan kaki telanjang. Ia tahu mengendalikan diri, sehingga ia luput dari banyak kebutuhan insani. Seorang budak yang dipaksa untuk hidup begitu, pasti akan melarikan diri, kata Sofis Antiphon tentang cara hidup Sokrates ini. Tetapi walaupun Sokrates hidup dengan cara ugahari, ia betul-betul dapat ikut serta dalam pesta (Symposium).

Sikap religius Sokrates sering kali menjadi objek diskusi dan tidak dapat ditentukan dengan pasti. Sebagaimana orang Yunani yang berpendidikan, Sokrates pun menganggap mitologi tidak benar dan memandangnya sebagai penemuan yang diciptakan penyair-penyair. Tetapi Sokrates sendiri tentu adalah seorang yang beragama. Ia percaya pada Allah yang mahabijaksana dan mahabaik, yang menguasai dan menyelenggarakan seluruh dunia. Ia menganggap keaktifannya dalam bidang filsafat sebagai tugas yang dipercayakan kepadanya oleh Allah. Tetapi ia berpendapat bahwa kita harus beribadat kepada Allah menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh polis bersangkutan. Jadi, ia tidak menolak politeisme yang diterima umum dalam polis Yunani, biarpun kerap kali ia berbicara tentang Allah dengan cara yang menyerupai monoteisme. Bagi Sokrates, seperti juga bagi orang Yunani pada umumnya, perbedaan politeisme dan monoteisme tidak merupakan suatu hal yang dipersoalkan. Dan tidak ada bukti apa pun juga bahwa Sokrates mendirikan suatu golongan religius yang baru.

Menurut kesaksian Plato, Sokrates berkeyakinan bahwa Allah menyatakan diri kepada orang-orang yang saleh dengan mimpi, orakel, pertanda, dan lain sebagainya. Sokrates sendiri sudah sejak masa kanak-kanak mengalami suatu pertanda ilahi (daimonion semeion), yang melarang dia melakukan hal-hal tertentu. Pertanda ini tidak pernah memberi petunjuk-petunjuk positif, tetapi selalu bersifat negatif saja, yakni menyatakan bahwa suatu hal tidak boleh dilakukan. Dari uraian Plato dapat disimpulkan bahwa pertanda ilahi itu tidak sama dengan yang kita namakan hati nurani. Tetapi keterangan lebih lanjut tidak dihidangkan Plato.

Sokrates tidak mengasingkan diri dari para warga negaranya, tetapi sepanjang hari ia berada di jalan-jalan, di pasar dan terutama dalam gymnasia (tempat-tempat olahraga). Ia bercakap-cakap dengan semua macam orang, termasuk juga kaum Sofis. Selalu ia dikelilingi oleh sekelompok orang muda bangsawan yang menyaksikan percakapan-percakapan itu. Dalam percakapan serupa itu Sokrates biasanya tidak berbuat lain dari pada mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mereka semua menyangka bahwa mereka tahu apakah yang baik dan yang jahat dan banyak hal lain. Sokrates mau menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tidak tahu. Dengan itu, ia berlaku menurut orakel Delphoi. Sebab dalam Apologia Sokrates menceritakan bahwa pada suatu hari seorang sahabat bertanya kepada dewata di Delphoi, apakah ada orang yang lebih bijaksana daripada Sokrates. Dalam orakelnya dewata menjawab bahwa tidak ada orang yang lebih bijaksana. Terkejut karena orakel ini, Sokrates mulai memeriksa artinya.

Ia bercakap-cakap dengan para negarawan dengan maksud menunjukkan bahwa mereka lebih bijaksana daripada dia sendiri. Tetapi ia mendapati bahwa mereka dianggap bijaksana di mata orang lain dan bahwa mereka sendiri juga berkeyakinan mereka bijaksana. Padahal, Sokrates menemukan bahwa mereka tidak bijaksana. Lalu ia pergi kepada para penyair dan akhirnya ia mengunjungi para tukang. Tetapi hasilnya tetap sama. Oleh karenanya, Sokrates menarik kesimpulan bahwa dia lebih bijaksana karena ia menyadari bahwa ia tidak bijaksana, sedangkan orang Athena lain beranggapan bahwa mereka bijaksana. Dengan rasa humor yang besar ia berbuat seakan-akan ia tidak mengetahui apa-apa dan harus bertanya kepada orang lain yang berkeyakinan mereka tahu. Dengan demikian tampaklah ketidaktahuan mereka. Plato menamakan ketidaktahuan Sokrates ini sebagai ironi (eironeia).

Sehubungan dengan ironi ini Sokrates seringkali menekankan bahwa ia tidak memberi pelajaran dan tidak mempunyai murid-murid. Ia menyindir para Sofis yang meminta uang untuk pengajaran mereka. Tetapi kenyataannya Sokrates melaksanakan tugas yang sama seperti kaum Sofis, yakni menjamin pendidikan kaum muda yang terkemuka. Dapat diandaikan bahwa sahabat-sahabatnya menyokong Sokrates dengan bantuan berupa uang dan barang. Tetapi tentang itu tidak ada kesaksian, kecuali berita mengenai tawaran mereka pada waktu perkara pengadilan (postingan berikutnya).


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber.

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Sokrates. Biografi dan Karya
2. Sokrates. Metode
3. Sokrates. Etika 
4. Sokrates. Perkara Pengadilan dan Kematiannya
5. Sokrates. Ajaran
6. Sokrates. Pemikiran tentang Politik
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Sokrates. Kepribadian dan Cara Hidupnya"