Pemikiran Filosofis Pierre Teilhard de Chardin

Pemikiran Filosofis Pierre Teilhard de Chardin
Pierre Teilhard de Chardin
Teilhard de Chardin bukanlah seorang filsuf. Keahlian utamanya adalah geologi dan paleontology juga seorang Kristen dan imam. Dalam pergaulannya dengan dunia ilmiah ia telah menyaksikan dari dekat betapa jurang pemisah antara agama dan ilmu pengetahuan. Dari situ timbul cita-citanya untuk mendamaikan ilmu pengetahuan modern, dan khususnya pemikiran evolusionistis, dengan agama Kristen. Malah ia berpendapat bahwa pemikiran evolusionistis tidak perlu menyingkirkan agama, tetapi sebaliknya dapat membuka kesempatan baru dan lebih luas bagi agama. Usaha Teilhard itu mau membawa ia ke wilayah filsafat dan teologi. Di sini kita akan memandang beberapa aspek pemikiran Teilhard yang kiranya mempunyai implikasi filosofis juga.

Bersama dengan begitu banyak penganut teori evolusi, Teilhard yakin akan kesatuan fundamental yang menandai kosmos seluruhnya, termasuk manusia. Kesatuan tersebut harus dimengerti secara dinamis, artinya harus dimengerti sebagai suatu proses yang pernah dan barangkali masih berlangsung. Tetapi dalam visi kesatuan seperti itu bagi filsafat (dan agama juga) antara lain timbul dua kesulitan besar: bagaimana dapat kita mengerti peralihan dari tahap materi ke tahap kehidupan dan bagaimana dapat diterima peralihan dari tahap binatang ke tahap manusia? Dahulu banyak filsuf (dan teolog) berpendirian bahwa realitas seluruhnya dengan segala tahap-tahapnya (materi mati, kehidupan, dan manusia) diciptakan oleh Tuhan seperti apa adanya. Pohon mangga yang kita lihat berdiri di situ memang berasal dari biji mangga, tetapi pohon mangga pertama diciptakan Tuhan, seperti juga pohon kelapa, pohon cemara, dan seterusnya.

Pendirian terakhir ini dapat kita sebut kreasionisme. Menurut para penganut kreasionisme tidak mungkin bahwa yang hidup berasal dari yang tidak hidup. Dalam hal ini mereka menunjuk kepada eksperimen-eksperimen Louis Pasteur (1822-1895) yang telah membuktikan bahwa generatio spontanea (istilah yang dipakai untuk pandangan Aristoteles dan pemikir-pemikir Abad Pertengahan bahwa makhluk-makhluk hidup secara spontan tumbuh dari barang mati) itu mustahil. Mereka berpendapat juga bahwa tidak mungkin manusia berasal dari binatang, karena manusia sebagai makhluk rohani yang berkebebasan menurut kodratnya radikal berbeda dari binatang.

Teilhard berpikir bahwa pandangan tradisional itu terlalu tajam membedakan antara materi mati dan materi hidup di satu pihak dan antara materi dan roh di lain pihak. Menurut dia pada prinsipnya materi selalu juga mengandung kehidupan maupun kesadaran. Menurut perumusan Teilhard, materi dari semula mempunyai segi dalam (le dedans) di samping segi luar (le dehors). Dengan segi luar dimaksudkannya aspek fisis-kimiawi dari materi. Tetapi ia berpendapat bahwa materi lebih dari itu saja. Materi masih mempunyai aspek lain, suatu segi dalam, yaitu aspek hidup sadar. Teori evolusi yang menerima peralihan dari materi mati (makromolekul:protein) ke kehidupan (makhluk hidup bersel satu) dan dari binatang ke manusia tidak sama dengan materialism, justru karena materi itu lebih daripada suatu keadaan fisis-kimiawi saja. Materi selalu sudah hidup dan selalu sudah sadar, tetapi tidak selalu menurut intensitas yang sama. Kehidupan muncul karena segi dalam dari materi mencapai intensitas yang cukup besar dan manusia tampak karena segi dalam dari materi mencapai intensitas yang cukup besar lagi.

Tetapi apakah yang harus kita katakan tentang eksperimen-eksperimen Pasteur yang telah menunjukkan bahwa dari barang mati tidak pernah dapat timbul suatu makhluk hidup? Teilhard berpendapat bahwa dalam proses evolusi setiap fase mempunyai waktunya sendiri. Itu berarti bahwa peralihan tersebut hanya satu kali bisa terjadi, yaitu ketika semua faktor bersangkutan mencapai keadaan demikian rupa sehingga peralihan tersebut sungguh-sungguh dapat berlangsung. Tidak mustahil bahwa keadaan tersebut tidak pernah akan dapat berlangsung. Tidak mustahil bahwa keadaan tersebut tidak pernah akan dapat ditiru lagi dalam laboratorium. Waktunya sudah lewat.

Hal yang sama berlaku juga tentang timbulnya manusia. Setelah tampak untuk pertama kali, kehidupan berkembang terus melalui berbagai jalan. Terjadilah pemisahan antara kawasan tumbuh-tumbuhan serta kawasan binatang dan dalam dua kawasan tersebut pun perkembangan berlangsung terus. Paleontology dapat mengikuti perkembangan tersebut, paling jelas pada taraf binatang bertulang punggung (vertebrata). Akhirnya terjadi perkembangan dari tahap kehidupan ke tahap manusia, dari biosphere, kata Teilhard. Loncatan ini juga bisa terjadi karena sudah tiba waktunya dan agaknya tidak pernah dapat diulang lagi.

Kalau dikatakan secara popular manusia berasal dari kera, perumusan itu agak menyesatkan. Janganlah diberi kesan seolah-olah manusia berasal dari jenis kera yang kita kenal sekarang. Baik kera seperti kita kenal sekarang maupun manusia berasal dari sebuah cabang yang sama yang sekarang ini tidak ada lagi. Justru tentang peralihan tersebut (di satu tempat atau mungkin di beberapa tempat sekaligus) paleontology tidak memiliki data-data konkret. Dan kemungkinan tipis sekali, praktis nol, bahwa data serupa itu akan ditemukan. Tengkorak-tengkorak dan fosil-fosil yang telah ditemukan sampai sekarang merupakan contoh tentang tahap perkembangan yang pada saat itu sudah tersebar cukup luas. Karena itu, teori evolusi tetap merupakan suatu hipotesa saja, sebab inti yang sebenarnya teori ini tidak dapat diverifikasi secara empiris. Namun demikian, hipotesa ini bukan sembarang hipotesa. Banyak sekali data empiris menunjang hipotesa ini, sehingga di kalangan para sarjana hampir tidak ada orang yang akan meragukan kebenarannya.

Salah satu pikiran dasar Teilhard ialah apa yang disebutnya hukum kompleksitas-kesadaran (la loi de complexite-conscience). Maksud hukum ini adalah menekankan kaitan erat antara kompleksitas struktur materi dan intensitas kesadaran. Kita sudah mendengar bahwa di samping segi luar materi mempunyai juga segi dalam. Segi dalam tersebut akan semakin intensif sejauh struktur materi (segi luar) lebih kompleks. Dalam konteks ini perkembangan otak memainkan peranan penting, Teilhard menyebutnya dengan konsep kefalisasi  (cephalization), dengan meminjam istilah dari ahli anatomi Belanda Dubois.

Dalam evolusi vetebrata menuju binatang menyusui (dengan puncaknya manusia), kita melihat volume otak semakin besar dan struktur otak semakin kompleks. Kefalisasi ini merupakan norma yang memungkinkan kita membedakan tahap lebih tinggi dan tahap lebih rendah dalam perkembangan evolusi. Kesadaran lebih tinggi dan struktur anatomis lebih kompleks bagi Teilhard merupakan dua aspek yang menandai fenomena yang sama, bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama.

Pandangan Teilhard tentang evolusi ini tidak bertentangan dengan paham penciptaan seperti dalam agama Kristen atau Islam. Dalam paham penciptaan dapat dibedakan dua aspek. Aspek pertama adalah menciptakan dipahami sebagai menjadikan, artinya, yang diciptakan itu sama sekali bergantung pada Sang Pencipta. Aspek ini diterima sepenuhnya oleh Teilhard. Seluruh proses evolusi hanya bisa terjadi karena Allah telah meletakan kemungkinan ini dalam materi. Proses evolusi seluruhnya dengan segala seluk beluknya bergantung pada Allah sebagai Pencipta. Aspek kedua adalah bahwa dunia mempunyai permulaan dalam waktu. Teolog besar abad pertengahan, Thomas Aquinas, berpendapat bahwa hal tersebut tidak dapat dibuktikan secara filosofis tetapi hanya diterima karena kesaksian Alkitab.

Teilhard bersama dengan ilmuwan lain beranggapan bahwa evolusi kosmos itu sendiri menunjukkan adanya permulaan seluruh proses tersebut. Ilmu pengetahuan sendiri mengisyaratkan ke arah Allah Pencipta yang memungkinkan permulaan kosmos. Teilhard menandaskan juga bahwa pandangan evolusionistis tersebut tidak mengurangi sedikit pun keagungan Allah sebagai Pencipta. Sebaliknya, pandangan tersebut lebih sesuai dengan keluhuran Sang Pencipta daripada pendirian bahwa setiap sekian puluh ribu tahun diperlukan suatu aktus penciptaan khusus untuk mengadakan jenis tumbuhan atau binatang yang baru.

Teilhard de Chardin tidak berhenti pada masa lampau kosmos dan umat manusia. Ia mencoba meneruskan juga garis-garis evolusionisme ke arah masa depan. Menurut dia, proses evolusi masih berlangsung terus dan ia ingin menggariskan prospek perjalanannya. Inilah salah satu segi yang paling menarik dalam pemikirannya, tetapi juga paling banyak dipersoalkan.

Perhatiannya untuk masa depan tersebut berkaitan erat dengan keyakinannya bahwa evolusi harus ditafsirkan sebagai kemajuan. Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan banyak pemikir dalam abad ke-20. Berbeda dengan abad ke-18 dan ke-19 yang pada umumnya sangat mendewakan paham kemajuan, dalam abad ke-20 kita melihat timbulnya pesimisme. Agaknya Oswald Spengler mewakili pesimisme tersebut dengan cara yang paling menonjol. Melawan arus pesimisme tersebut, Teilhard berpendapat bahwa proses evolusi dan sejarah harus ditafsirkan sebagai kemajuan. Tetapi apakah menilai evolusi sebagai kemajuan tidak merupakan suatu penilaian yang semata-mata subjektif? Adakah norma untuk menilai evolusi sebagai kemajuan? Pada taraf biologis, bertambahnya kompleksitas yang disertai dengan bertambahnya kesadaran dapat dilihat sebagai norma. Lebih sulit adalah mencari suatu norma untuk menentukan kemajuan jika evolusi biologis sudah mencapai kepenuhannya, yaitu dengan timbulnya homo sapiens. Dengan kata lain, lebih sulit untuk menafsirkan sejarah sebagai kemajuan. Kita akan melihat bahwa penafsiran yang diberikan Teilhard berkaitan erat dengan perspektif religiusnya.

Bagaimana pandangan Teilhard tentang evolusi yang akan datang? Menurut dia, hanya di satu bidang masih ada kesempatan untuk evolusi lebih lanjut, yaitu dalam noosphere, dengan kata lain, evolusi yang menyangkut manusia. Di semua bidang lain evolusi sudah mencapai titik penghabisannya. Manusia, katanya dalam prakata buku Fenomena Manusia, adalah poros dan garis depan evolusi. Dengan demikian evolusi yang akan datang sangat berbeda dengan evolusi sebelumnya, sebab manusia adalah makhluk bebas. Karena itu evolusi yang akan datang akan melibatkan kebebasan manusia. Karena itu pula tidak mustahil bahwa manusia pada suatu ketika akan memusnahkan kehidupan di bumi, termasuk dirinya sendiri. Kita ingat saja kemungkinan-kemungkinan yang terbuka dengan ditemukannya tenaga nuklir.

Teilhard tidak sepakat dengan mereka yang mengatakan bahwa seandainya manusia memusnahkan dirinya evolusi biologis akan menuju lagi ke suatu noosphere yang baru sebab setiap tahap penting dalam evolusi hanya terjadi sekali saja dan tidak dapat diulangi. Karena itu, Teilhard yakin bahwa evolusi seluruh kosmos, termasuk manusia, tidak akan gagal. Dan krisis yang dialami manusia abad ke-20 dan yang mengakibatkan pesimisme zaman kita ini hanya merupakan krisis pertumbuhan ke arah suatu tahap lebih tinggi. Bagaimana tahap tersebut dapat dibayangkan? Dengan memperhatikan fenomena yang ia sebut planetisasi. Kita lihat bahwa planet kita semakin bersatu. Dalam hal ini perkembangan teknologi memainkan peran besar. Kita ingat saja sarana angkutan (kereta api, kapal, dan pesawat terbang), sarana komunikasi (telepon, radio, dan televisi), dan industri modern. Kemungkinan-kemungkinan teknis ini sangat penting untuk merealisasikan sepenuhnya proses planetisasi, yaitu kesatuan semakin erat antara semua bangsa dan kebudayaan, sehingga berkat suatu konsentrasi rohani atau spiritualisasi terciptalah umat manusia yang sungguh-sungguh bersatu padu.

Allah sebagai Pencipta adalah awal proses evolusi. Allah adalah Alpha. Tetapi Allah merupakan juga Omega. Seluruh proses evolusi menuju ke Titik Omega, kata Teilhard. Energy matahari pada suatu ketika, memang baru sesudah jutaan tahun, akan habis. Dan akhirnya energi dalam seluruh jagat raya akan habis pula. Apakah hal tersebut berarti bahwa kita semua menuju ke suatu titik penghancuran? Tidak. Seluruh evolusi dunia, termasuk sejarah manusia, berjalan ke arah tujuan yang sama, Titik Omega, di mana Allah menjadi semua di dalam semua. Di sini spiritualisasi mencapai kepenuhannya pada taraf supra-manusiawi. Tetapi Titik Omega tersebut tidak seluruhnya termasuk masa mendatang, sebab sekarang ini sudah real dan aktif sebagai daya yang mempersatukan dan mensintesakan seluruh proses evolusi dan sejarah.

Pemikiran-pemikiran Teilhard tentang Titik Omega ini menimbulkan banyak pertanyaan. Dan hal yang sama dapat dikatakan juga tentang seluruh pandangannya. Beberapa di antara pertanyaan tersebut sudah disadari sendiri oleh Teilhard. Pertanyaan-pertanyaan lain baru dikemukakan oleh para kritisi setelah karya-karyanya diterbitkan secara anumerta. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak selalu mendapatkan jawaban yang memuaskan. Walaupun dalam karangan-karangan Teilhard terdapat banyak hal yang tidak jelas dan tidak meyakinkan, pandangannya sebagai keseluruhan selayaknya tetap menarik perhatian banyak sarjana dari berbagai bidang keahlian, lebih-lebih karena di sini kita menghadapi suatu usaha yang berani dan penuh imajinasi untuk mendamaikan agama dan ilmu pengetahuan. Dan memang perlu diakui bahwa kesenjangan antara agama dan ilmu pengetahuan merupakan salah satu masalah terbesar dalam dunia intelektual modern.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Baca Juga
Pierre Teilhard de Chardin. Biografi dan Karya

Sumber :
Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer, Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Pemikiran Filosofis Pierre Teilhard de Chardin"