Pemikiran Filosofis Gaston Bachelard

Pemikiran Filosofis Gaston Bachelard
Gaston Bachelard
Dalam pemikiran Bachelard terdapat dua jalur yang sangat berbeda dan selalu ia bedakan sendiri, tetapi tentu tidak dapat dipisahkan begitu saja. Satu jalur adalah soal-soal yang menyangkut sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan; sedangkan jalur kedua adalah penelitian tentang poetika atau imajinasi puitis. Pada pandangan yang pertama orang dapat heran bahwa tema-tema yang begitu berbeda--malah hampir bertentangan--digarap dan dibahas oleh orang yang sama. Dan perhatian yang dwiganda itu memang menjadikan Bachelard seorang filsuf yang unik dalam sejarah filsafat abad ke-20.

Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan Bachelard harus dimengerti dalam kerangka perubahan-perubahan besar yang berlangsung dalam ilmu pengetahuan modern. Filsafat ilmu pengetahuan tradisional, seperti misalnya karya-karya E. Meyerson, dalam hal ini tidak memadai lagi. Sudah dalam disertasinya Percobaan untuk Melukiskan Pengetahuan yang Semakin Dekat dengan Tujuannya (1928) Bachelard berusaha untuk menjalankan suatu refleksi filosofis yang baru atas dasar perubahan-perubahan dalam ilmu alam. Refleksi atas perkembangan dalam ilmu pengetahuan modern dapat memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan tidak terwujud atas dasar hukum-hukum abadi yang menguasai pemikiran manusia, sebagaimana dipikirkan dalam tradisi Kantian. Bagi Bachelard ilmu pengetahuan tidak merupakan salah satu contoh atau konfirmasi tentang cara berfungsinya roh manusiawi yang sesungguhnya sudah kita ketahui dari sumber-sumber lain. Ilmu pengetahuan sungguh-sungguh menciptakan filsafat kata Bachelard. Filsafat harus belajar dari ilmu pengetahuan dan tidak boleh berusaha untuk menguasai ilmu pengetahuan dengan mengeluarkan petunjuk-petunjuk atau aturan-aturan. Dengan tajam ia mengecam sikap angkuh filsuf-filsuf, seperti misalnya Sartre, yang mengabaikan ilmu pengetahuan. Bachelard tidak melihat masa depan lagi untuk filsafat, seandainya pemikiran filosofis itu menutup diri terhadap perkembangan-perkembangan yang berlangsung dalam ilmu pengetahuan.

Dengan demikian dapat dimengerti juga bahwa dalam pandangan ini terdapat hubungan erat antara sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan. Bagi Bachelard tidak ada suatu norma umum dan transhistoris untuk menentukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Kebenaran pengetahuan ilmiah tidak berasal dari suatu pendasaran logis atau filosofis, tetapi bergantung pada duduknya persoalan suatu ilmu pada saat tertentu dalam perkembangan historisnya. Norma-norma untuk menentukan benar tidaknya ucapan-ucapan ilmiah tidak datang dari luar, melainkan termasuk suatu bidang ilmiah tertentu; setiap ilmu menciptakan aturan-aturannya sendiri yang berlaku untuk menyusun dan mengecek teori-teorinya. Pengetahuan ilmiah merupakan buah hasil suatu proses yang bersifat historis dan regional (dalam arti: menyangkut suatu bidang penelitian tertentu). Pertanyaan akan pendasaran pengetahuan ilmiah dan usaha untuk menarik garis pemisah antara ucapan-ucapan ilmiah dan ucapan-ucapan non-ilmiah (masalah demarkasi), yang begitu ramai dibicarakan oleh lingkungan Wina dan Karl Popper, bagi Bachelard tidak relevan.

Sifat historis dan regional kebenaran ilmiah mengakibatkan juga bahwa pengetahuan ilmiah diperoleh dalam suatu proses yang tidak kontinu. Sejarah ilmu pengetahuan ditandai dengan diskontinuitas. Dalam sejarah ilmu pengetahuan kita menjumpai pembaruan terus-menerus. Teori relativitas Einstein, misalnya, tidak mungkin diturunkan dari mekanika Newton. Sia-sia saja orang mencari kontinuitas antara dua teori ini. Terdapat suatu keretakan antara fisika Einstein dan fisika Newton. Dalam konteks ini Bachelard menciptakan istilah rupture epistemologique (keretakan epistemologis). Dalam sejarah ilmu pengetahuan terdapat banyak keretakan epistemologis serupa itu dan terjadinya keretakan-keretakan epistemologis sering kali merupakan prasyarat untuk mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan.

Pandangan ini memungkinkan Bachelard memberi suatu peranan positif kepada kesalahan-kesalahan dalam ilmu pengetahuan. Suatu teori baru merupakan pembetulan terhadap suatu teori lama. Dengan nada sedikit ekstrim, seperti sering disukai Bachelard, ia mengatakan bahwa dalam ilmu pengetahuan kebenaran itu tidak lain daripada kesalahan yang dibetulkan. Kalau kita memandang perkembangan ilmu pengetahuan modern, harus kita katakan bahwa kesalahan-kesalahan (berarti apa yang kemudian diakui sebagai kesalahan) memungkinkan tercapainya kebenaran. Kritik adalah sikap dasar ilmu pengetahuan modern. Kemajuan diperoleh dengan mengingkari pandangan-pandangan dan teori-teori lama. Suatu hipotesa ilmiah baru dirumuskan, karena--berdasarkan suatu eksperimen--harus dikatakan tidak terhadap hipotesa yang diterima selama itu.

Dengan demikian sudah dapat kita duga sedikit maksud judul bukunya Filsafat tentang Tidak (1940). Fisika Einstein dapat dipandang sebagai fisika non-Newtonian, sama seperti ilmu ukur non-Euklidis (ilmu ukur dari Riemann) telah mengganti ilmu ukur Euklidis. Jadi, tidak di sini tidak menunjukkan suatu pengingkaran begitu saja, tetapi suatu keretakan epistemologis yang menandakan peralihan kepada teori yang baru. Dalam disertasinya dari tahun 1928 ia mengungkapkan pikiran yang sama dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan modern maju melalui approximations, artinya selalu lebih dekat dengan kebenaran tanpa pernah mencapai kebenaran itu sepenuhnya dan definitif.

Zaman kita sekarang menurut Bachelard ditandai oleh le nouvel esprit scientifique (suasana ilmiah yang baru), seperti dikatakan dalam judul salah satu bukunya. Karena itu sekarang kita mengalami fase ketiga dalam perkembangan pemikiran ilmiah, sekurang-kurangnya sejauh menyangkut ilmu pengetahuan alam. Dua fase sebelumnya adalah fase pra-ilmiah dan fase ilmiah. Fase pra-ilmiah meliputi zaman purba dan Renaissance; fase ini ditandai oleh bentuk-bentuk pengenalan yang konkret. Fase ilmiah mulai pada akhir abad ke-18, ketika berdasarkan penggunaan ilmu ukur timbul bentuk-bentuk abstraksi yang pertama. Bachelard mengatakan bahwa dalam fase kedua ini pengenalan masih bersifat konkret-abstrak. Baru dalam fase ketiga, yaitu dalam suasana ilmiah yang baru, ilmu pengetahuan mendapat sifatnya yang sungguh-sungguh abstrak. Banyak karangan Bachelard mempelajari keretakan antara konsep-konsep serta teori-teori ilmiah di satu pihak dan konsep-konsep serta teori-teori ilmiah yang tradisional di lain pihak. Dalam hal itu teori relativitas adalah contoh yang banyak dipergunakan dan Bachelard berpendapat pula bahwa penemuan Einstein itu merupakan permulaan fase ketiga.

Marilah kita memandang beberapa detail yang menyangkut suasana ilmiah yang baru itu. Salah satu ciri yang paling menonjol ialah bahwa praktek ilmiah modern secara radikal terpisah dari pengalaman sehari-hari. Misalnya, dalam fisika atau kimia modern objek tidak lagi merupakan suatu data yang terjangkau oleh pengalaman inderawi. Ilmu pengetahuan modern tidak menemukan objek-objeknya, tetapi objek-objeknya dikontruksikan--jadi merupakan buah hasil suatu konstruksi oleh kegiatan ilmiah yang teknis maupun teoretis. Bagian-bagian atom umpamanya hanya berada sebagai objek berkat teknik dan teori ilmiah. Ilmu pengetahuan tidak lagi mempelajari fenomena-fenomena, tetapi menghasilkan fenomena-fenomena, sebab yang disebut fenomena itu merupakan efek dari aktivitas teknis-teoretis. Akibatnya, suatu ciri lain ialah bahwa ilmu pengetahuan tidak lagi melukiskan atau mencerminkan realitas, tetapi memproduksi dan mengoperasionalkan realitas. Dalam hal ini matematika memainkan peranan yang amat penting. Objek-objek ilmiah sebetulnya tidak lain daripada konstruksi-konstruksi matematis atau relasi-relasi serta kombinasi-kombinasi yang dirumuskan secara matematis. Dan semuanya itu mempunyai konsekuensi juga dari segi sosial. Ilmuwan abad ke-18 masih menulis buku-bukunya untuk suatu publik luas; uraiannya ditujukan kepada setiap pembaca terpelajar. Ilmuwan modern sekarang ini hanya menulis untuk segelintir ahli yang menguasai bidang yang sama.

Untuk menjelaskan suasana ilmiah yang baru itu, kita tidak menggunakan lagi teori-teori lama yang diberikan dalam filsafat ilmu pengetahuan tradisional (empirisme, positivisme, formalisme, rasionalisme). Teori-teori itu semua berat sebelah dan menutup jalan untuk perkembangan-perkembangan baru. Cara bekerja ilmu pengetahuan modern harus dimengerti secara dialektis, kata Bachelard. Dalam ilmu pengetahuan modern tidak ada metode-metode induktif belaka dan metode-metode deduktif belaka, tidak ada verifikasi; yang ada hanya lah dialektika. Konsep-konsep ilmiah harus didialektisasikan, kata Bachelard. Tidak ada hubungan yang tetap serta mantap antara teori dan eksperimen, antara apriori dan aposteriori. Konsep-konsep serupa itu selalu harus dimengerti dan ditentukan dalam kaitan satu sama lain. Rasionalisme membutuhkan penerapan (bandingkan judul bukunya Rasionalisme yang Diterapkan), seperti dari segi empirisme membutuhkan pengertian.

Untuk mempertanggungjawabkan apa yang berlangsung dalam ilmu pengetahuan modern kita tidak boleh membatasi pada satu pandangan filosofis saja. Dari segi filosofis, ilmu pengetahuan modern bersifat pluriform dan filsafat yang ingin memikirkan ilmu pengetahuan modern itu harus menjadi polyphilosopie, polifilsafat (awalan poli- berasal dari kata Yunani yang berarti banyak), atau--dengan kata lain--filsafat dialektis. Paham dialektika memegang peranan penting dalam pemikiran Bachelard. Ia tidak menggunakan paham itu dalam arti Hegelian atau Marxistis, tetapi dalam arti yang agak umum. Ia melihat dialektika sebagai dinamika intern dari ilmu pengetahuan yang ditandai oleh hubungan timbal balik antara dua kutub, seperti: ide dan pengalaman, koherensi teoretis dan ketelitian eksperimental.

Sebagaimana sudah kita lihat, sejarah ilmu pengetahuan tidak ditandai dengan suatu evolusi yang kontinu. Tetapi di samping revolusi-revolusi yang sering menggoncangkan dan agak mendadak, sejarah ilmu pengetahuan mengalami juga periode-periode yang mandul dan penuh kemacetan. Jika Bachelard menggunakan istilah Keretakan epistemologis untuk menjelaskan revolusi-revolusi itu, ia menggunakan istilah hambatan epistemologis untuk menganalisa periode-periode yang ditandai kemacetan itu.

Yang dimaksudkan dengan hambatan-hambatan epistemologis itu bukan hambatan-hambatan lahiriah seperti rumitnya materi yang diselidiki atau kesukaran untuk menangkap fenomena-fenomena tertentu. Juga tidak dimaksudkan kelemahan indera manusia atau keterbatasan pemikiran manusiawi. Suatu hambatan epistemologis terjadi, bila manusia buta terhadap kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan yang secara objektif sudah tersedia bagi ilmu pengetahuan. Hambatan-hambatan epistemologis adalah pola-pola pikiran yang merintangi proses pengenalan untuk berjalan terus menuju konsekuensi yang sebenarnya sudah dapat dilihat. Hambatan-hambatan epistemologis adalah contre-pensees, kontra-pikiran, kata Bachelard.

Buku yang ditulis khusus tentang tema ini adalah Pembentukan Suasana Ilmiah (1938). Di situ ia menyelidiki sejumlah hambatan epistemologis dari ilmu fisika abad ke-17 dan ke-18. Dalam konteks ini dapat dimengerti pula mengapa untuk Bachelard pemikiran ilmiah selalu terjadi melawan arus, selalu harus bersedia mengatakan tidak. Ini disebabkan karena adanya hambatan-hambatan epistemologis dan salah satu hambatan epistemologis yang terbesar bagi ilmu pengetahuan modern adalah pengalaman spontan.

Kiranya sudah jelas bahwa suatu hambatan epistemologis baru tampak sebagai hambatan, bila dapat ditempatkan dalam suatu kerangka historis yang agak luas, bila--dengan kata lain--periode bersangkutan sudah lewat sebagai periode. Suatu hambatan epistemologis jauh lebih sulit dan malah hampir tidak mungkin untuk ditemukan, bila orang masih sedang mengalami dan menjalani periode tertentu. Tetapi prinsip itu berlaku lebih umum. Periode-periode dari sejarah ilmu pengetahuan hanya dapat dianalisa dengan bertitik tolak dari dan berdasar pada duduk persoalan yang aktual dalam suatu ilmu pengetahuan. Suatu periode dengan segala kekhususannya hanya tampak bila kita dapat menoleh ke belakang. Cara menoleh ke belakang ini oleh Bachelard disebut recurrence, suatu istilah yang tidak mudah diterjemahkan, tetapi barangkali maksudnya didekati sedikit dengan kata retrospeksi. Setiap penemuan ilmiah yang baru akan mengakibatkan bahwa pandangan ilmiah sebelumnya tampak dalam cahaya yang baru. Sesudah teori relativitas Einstein, mekanika klasik Newton tampak dengan cara lain. Jika kita mempraktekan sejarah ilmu pengetahuan, tidak cukuplah kita memandang teori-teori ilmiah dari masa lampau sebagai fakta-fakta yang tidak berubah. Teori-teori masa lampau selalu harus dikaitkan dan dibandingkan dengan duduk persoalan yang mutakhir dalam ilmu pengetahuan. Boleh ditambah lagi bahwa cara epistemologis untuk memandang masa lampau ilmu pengetahuan itu dapat mempunyai manfaat untuk ilmuwan sekarang ini. Studi epistemologis tentang sejarah ilmu pengetahuan dapat meningkatkan kesiapsiagaan ilmuwan dewasa ini dalam mengatasi hambatan-hambatan epistemologis yang merintangi penelitiannya sekarang.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber:

Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Baca Juga
1. Gaston Bachelard. Biografi dan Karya
2. Gaston Bachelard. Poetika
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Pemikiran Filosofis Gaston Bachelard"