Pemikiran Filosofis Gabriel Marcel

Pemikiran Filosofis Gabriel Marcel
Gabriel Marcel
Di sini tidak akan diusahakan untuk mengikuti seluruh perjalanan Marcel sebagai filsuf. Perkembangan pasti ada. Sebagai mahasiswa muda ia dipengaruhi oleh idealism dan rasionalisme yang pemikiran beberapa profesornya di Universitas Sorbone, khususnya O. Hemelin dan L. Brunschvicg. Tetapi ia cepat merasa tidak puas dengan suasana berpikir tersebut, lalu menempuh jalannya sendiri. Berangsur-angsur ia berkembang ke arah puncak filsafatnya, yang dicapai sekitar tahun 30-an. Sesudah Perang Dunia II, ketika ia banyak diundang ke luar negeri, ia memperdalam pemikirannya dan menerapkannya pada masalah-masalah yang menyangkut dunia modern. Tetapi kita tidak meneropongi perkembangan tersebut. Kita akan berusaha mempelajari beberapa tema penting dari filsafat Marcel ketika sudah mencapai kematangannya.

Salah satu ciri khas pemikiran Marcel adalah penolakannya terhadap filsafat sebagai sistem. Sistematisasi mau tidak mau akan mematikan pemikiran yang hidup. Karena alasan yang sama ia merasa kurang senang, bila pemikirannya disebut dengan salah satu -isme. Malah cukup lama ia menolak untuk berbicara tentang filsafatnya (seolah-olah ia mempunyai suatu filsafat yang serba lengkap). Untuk beberapa waktu (kira-kira 1946-1948) ia menerima eksistensialisme Kristiani sebagai nama untuk menamai pemikirannya. Tetapi sesudah itu ia dengan tegas menolak nama tersebut sebagai sebutan yang mengerikan (I’affreux vocable), karena warna khusus yang oleh filsuf-filsuf lain (terutama Sartre) diberikan istilah eksistensialisme. Lagi pula, sebutan Kristiani juga tidak cocok, karena pemikirannya bersifat umum dan tidak ditujukan pada orang Kristen saja. Hanya usul seorang murid untuk menamakan pemikirannya sebagai neosokratisme dapat diterima Marcel, sebab dengan nama tersebut dinyatakan sifatnya sebagai orang yang senantiasa sedang mencari dan bertanya-tanya.

Tidak gampang membahas secara singkat suatu pemikiran filosofis yang begitu tegas menolak setiap pendekatan sistematis, baik sejauh menyangkut cara penguraiannya maupun menyangkut sejauh isinya. Di sini hanya disinggung beberapa tema dalam filsafat Marcel yang kiranya paling menarik perhatian di kemudian hari.

Metode Filosofis
Salah satu cara untuk menjelaskan metode yang digunakan Marcel adalah berusaha menjawab pertanyaan, mengapa orang ini adalah filsuf dan serentak juga pengarang drama? Seni drama dan filsafat bagi Marcel tidak merupakan dua aktivitas yang terpisah. Bagi dia terdapat kesatuan erat antara filsafat dan seni drama, karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memahami siapa sebenarnya manusia. Dan drama sangat membantu untuk mendekati manusia dalam keadaan yang konkret, dalam hidup yang nyata. Hubungan dengan drama langsung menjadi jelas, bila kita mendengar Marcel melukiskan metode filosofisnya sebagai berikut: cara pendekatan saya adalah… dari kehidupan memanjat sampai ke taraf pemikiran, lalu turun lagi dari pemikiran ke kehidupan dengan usaha untuk menerangi kehidupan tersebut. Drama dapat dianggap sebagai sarana istimewa untuk menengahi pemikiran dan kehidupan. Dengan menekankan kaitan timbal-balik antara pemikiran dan pengalaman konkret ini Marcel dapat menghindari empirisme maupun rasionalisme, dua ekstrim besar yang sudah begitu lama menghantui filsafat modern.

De I’existence a I’etre (Dari Eksistensi ke Ada) adalah judul yang diberikan Troisfontaines kepada bukunya tentang Gabriel Marcel. Dengan itu ditunjukkan baik metode maupun isi filsafat Marcel. Titik tolaknya adalah eksistensi. Apakah arti eksistensi di sini? Sudah pada tahun 1925, sebelum eksistensialisme Kierkegaard dikenal di Prancis dan sebelum Heidegger dan Jaspers mengarang karya-karya mereka yang sempat menggalakkan eksistensialisme sebagai suatu aliran filosofis, Marcel menulis artikel yang berjudul Existence et objectivite, (Eksistensi dan Objektivitas). Bagi Marcel, objektivitas adalah lawan eksistensi. Eksistensi tidak pernah dapat dijadikan objektivitas. Eksistensi adalah situasi konkret saya sebagai subjek dalam dunia. Saya ini warga Negara Indonesia, lelaki, setengah baya, mempunyai watak tertentu, mendapatkan pendidikan tertentu, dan seterusnya. Pendeknya, eksistensi adalah seluruh kompleks yang meliputi semua faktor konkret, kebanyakan kebetulan, yang menandai hidup saya.

Yang khas bagi eksistensi ialah bahwa saya tidak eksplisit menyadari situasi saya tersebut. Tentu saja, saya adalah subjek yang mempunyai kesadaran, tetapi saya tidak menginsafi apakah artinya eksistensi saya dalam dunia. Baru dalam perjumpaan dan pergaulan dengan orang lain beberapa manusia akan berhasil menyadari lebih jelas situasi mereka yang sebenarnya. Dalam arti itu eksistensi adalah lapangan pengalaman langsung, wilayah yang mendahului kesadaran, eksistensi adalah taraf hidup begitu saja, tanpa refleksi. Tetapi supaya hidup saya dalam dunia mencapai arti sepenuh-penuhnya, perlu saya tinggalkan taraf pra sadar tersebut dan menuju ke kesadaran sungguh-sungguh. Dari relasi-relasi yang semula dianggap sebagai nasib saya, saya perlu beralih ke suatu keadaan yang betul-betul saya terima secara bebas. Dengan kata lain, dari eksistensi saya harus menuju ke Ada.

Peralihan ini meliputi tiga fase: admiration (kekaguman), reflexion (refleksi), dan exploration (eksplorasi). Kita dapat memperoleh kesan sedikit tentang metode Marcel dengan memandang sebentar ketiga fase tersebut.

Permulaan filsafat bukannya kesangsian (seperti halnya pada banyak filsuf modern sejak Descartes), melainkan admiration yang mencangkup baik keheranan maupun kekaguman. Dalam hal ini Marcel sebenarnya cukup dekat dengan Plato dan Aristoteles, sebab kedua-duanya menempatkan keheranan pada awal mula filsafat. Jadi kita tidak mulai dengan mencari titik suatu teguh yang tak tergoyahkan (Descartes), tetapi kita berpangkal pada eksistensi kita seperti apa adanya. Permulaan bersifat eksistensial dan tidak rasional, apalagi ilmiah. Kita muai dengan merasa heran tentang kenyataan, khususnya tentang diri kita sendiri, dan lebih khusus lagi tentang inkarnasi, artinya situasi saya sebagai makhluk bertubuh yang terjalin dengan kosmos. Sikap kagum ini tidak tanpa syarat. Untuk memiliki ini kita perlu membuka diri, perlu bersedia untuk mendengarkan. Keangkuhan yang menutup diri tidak cocok dengan sikap ini. Jadi kekaguman menuntut kerendahan hati.

Dengan mengagumi saja kita belum berfilsafat. Refleksi merupakan suatu fase hakiki dalam filsafat. Tidak pada tempatnya bila orang mempertentangkan refleksi dengan kehidupan dan dengan demikian menciptakan suatu dilemma. Marcel dengan tegas menolak rasionalisme, tetapi tidak berarti pula bahwa ia memihak pada anti-intelektualisme. Menurut dia, dalam refleksi kita harus membedakan dua tahap: refleksi pertama dan refleksi kedua. Refleksi pertama mempunyai ciri-ciri seperti berikut: abstrak, analitis, objektif, universal, dan diverifikasi. Refleksi ini dilangsungkan dalam ilmu pengetahuan. Tetapi filsafat tidak boleh berhenti di situ. Refleksi pertama ini berperan juga dalam juga dalam filsafat, tetapi tidak sebagai titik akhir. Karena itu, refleksi kedua adalah hakikat bagi filsafat. Refleksi kedua tidak mengobjekkan tetapi berlangsung berdasarkan partisipasi atau, boleh dikatakan juga, berlangsung dalam suasana recueillement. Refleksi kedua tidak berbicara tentang objek-objek tetapi kehadiran. Refleksi kedua tidak mementingkan pendekatan logis, tetapi mengusahakan pendekatan dialogis. Kiranya sudah jelas bahwa refleksi kedua ini berlangsung dalam konteks persona. Hanya melalui jalan ini filsafat dapat mencapai Ada yang sebenarnya, yang tetap tersembunyi bagi pemikiran objektif.

Dengan demikian sudah dibuka jalan bagi kontak baru dengan realitas, yaitu fase yang disebut exploration. Dalam fase ini saya mengakui bahwa saya mengambil bagian pada Ada. Di sini saya menerima secara bebas realitas di mana saya berada, termasuk juga diri sendiri. Dalam arti tertentu di sini saya melampaui pemikiran aktif.

Sekarang kita sudah mengerti lebih baik bagaimana Marcel berangkat dari kehidupan dan akhirnya kembali lagi pada kehidupan, sebagaimana dikatakan dalam kutipan di atas. Dan kita dapat mengerti juga mengapa Roger Troisfontaines menunjukkan metode Marcel antara lain dengan nama psikoanalisa ontologis (Ada yang semulanya tersembunyi dijadikan eksplisit). Pada taraf pengenalan, tiga fase dari metodenya ini sepadan dengan tiga cara pengenalan, sentio (saya rasa), cogito (saya pikir) dan credo (saya percaya). Sedangkan pada taraf ontologis tiga fase ini sesuai dengan tiga tahap juga, yaitu exister (bereksistensi), avoir (mempunyai) dan etre (Ada).


Download di Sini


Sumber:

Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Baca Juga
1. Gabriel Marcel. Biografi dan Karya
2. Makna Kehadiran Orang Lain Bagi Saya. Tinjauan Filosofis Gabriel Marcel
3. Gabriel Marcel. Kehadiran
4. Gabriel Marcel. Tubuh sebagai Tubuhku
5. Gabriel Marcel: Aku Ini Apa?
6. Gabriel Marcel. Ada dan Mempunyai
7. Gabriel Marcel. Engkau Absolut
8. Gabriel Marcel. Problem dan Misteri
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Pemikiran Filosofis Gabriel Marcel"