Merleau-Ponty dan Fenomenologi

Fenomenologi Merleau-Ponty
Merleau-Ponty
Dalam lingkungan fenomenologi Prancis mungkin tidak ada filsuf yang lebih besar daripada Merleau-Ponty. Dengan eksplisit ia mengaku diri fenomenologi, tetapi itu tidak berarti bahwa ia hanya mengulangi pandangan-pandangan Husserl. Ia juga memberikan sumbangan pikiran original yang sangat berharga untuk memajukan dan memperkembangkan gerakan fenomenologis. Untuk itu ia memanfaatkan banyak gagasan Husserl, tetapi dalam beberapa hal juga mengkritiknya. Dalam Fenomenologi Persepsi dimuat sebuah prakata (16 halaman) di mana dengan panjang lebar dijelaskan pandangan tentang fenomenologi; di situ sudah menjadi cukup jelas juga bagaimana ia mengubah dan membarui beberapa pendirian Husserl. Prakata tersebut sekarang dianggap sebagai salah satu teks yang paling baik tentang arti dan jangkauan fenomenologi.

Ketika Arsip Husserl didirikan di Universitas Leuven, Merleau-Ponty adalah pengunjung luar negeri pertama yang datang mempelajari peninggalan pendasar fenomenologi itu (April 1939). Karena itu, ia menjadi filsuf pertama pula yang memanfaatkan karangan-karangan Husserl yang belum diterbitkan pada saat itu. Dalam Fenomenologi Persepsi dan dalam karya-karya lain ia sering menunjuk kepada inedita dari Husserl. Perhatian khusus untuk filsafat Husserl periode terakhir itu akan berlangsung terus sampai akhir hidupnya.

Di atas sudah disebutkan paham intensionalitas sebagai salah satu tema pokok fenomenologi yang dimanfaatkan oleh Merleau-Ponty. Tetapi jika Husserl menggunakan paham ini untuk menunjukan hubungan kesadaran dengan objeknya (jadi, terutama dalam konteks pengenalan), pada Merleu-Ponty (seperti sebelumnya sudah dalam buku Ada dan Waktu oleh Heidegger) paham yang sama terutama berperan untuk melukiskan kaitan subjek dengan dunianya. Bagi Merleau-Ponty kaitan subjek dengan dunia bersifat prarefleksif, artinya mendahului segala refleksi dan kesadaran. Ini bukan kaitan pada taraf pengenalan, melainkan taraf eksistensi.

Suatu bidang fenomenologis lain di mana pengaruh Merleau-Ponty sangat menentukan adalah masalah reduksi. Husserl telah memperaktekan semboyannya kembali kepada benda-benda itu sendiri dengan mengusahakan berbagai reduksi. Di antara para komentator terdapat banyak diskusi tentang ada tidaknya kesinambungan antara berbagai reduksi yang dibedakan Husserl dan sejauh mana ajaran tentang reduksi menjerumuskan dia ke dalam idealism. Merleau-Ponty melihat kunci bagi ajaran tentang reduksi dalam pemikiran Husserl periode terakhir mengenai Lebenswelt. Reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman. Pengalaman adalah tanah dari mana dapat bertumbuh segala makna dan kebenaran. Karena itu, bagi Merleau-Ponty filsafat sebenarnya tidak lain daripada suatu metafisika yang berakar dalam pengalaman. Tugas utama filsafat ialah mengeksplisitkan atau membeberkan isi pengalaman.

Ini membawa kita ke suatu tema yang banyak dibicarakan Merleau-Ponty, yaitu hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dan sebetulnya pada Husserl pun paham Lebenswelt tadi dikemukakan dalam konteks kritik atas ilmu pengetahuan modern. Mendengar ucapan-ucapan Merleau-Ponty tentang ilmu pengetahuan, kadang-kadang kita mendapat kesan bahwa sikapnya terhadap ilmu pengetahuan amat negatif, misalnya bila ia menyebut fenomenologi le desaveu de la science: penolakan terhadap ilmu pengetahuan. Tetapi jika mempelajari karya-karyanya yang pertama, Struktur Tingkah Laku dan Fenomenologi Persepsi, segera menjadi kentara bahwa kesan pertama tadi tidak betul. Dalam dua karya tersebut Merleau-Ponty memperlihatkan pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu yang menyoroti tingkah laku (pada taraf tumbuhan, binatang, dan manusia), khususnya fisiologi dan psikologi. Dalam dua karya tersebut pemikiran sofisnya justru mendapat bobotnya karena kontak dengan ilmu pengetahuan. Juga dalam karya-karya lain tampak dengan cukup jelas bahwa penghargaan Merleau-Ponty terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat diragukan lagi.

Yang ditolak Merleau-Ponty bukan ilmu pengetahuan sendiri melainkan sikap scientistis yang menandai banyak ahli ilmu pengetahuan dan secara intrinsik ilmu pengetahuan gampang menjurus ke sikap itu. Menurut kodratnya, ilmu pengetahuan berusaha bertindak seobjektif mungkin; pengukurannya diusahakan semakin eksakta. Karena itu ilmuwan akan mengambil jarak terhadap dunia. Setiap gangguan dari pihak subjek akan disingkirkannya. Mempraktekan ilmu pengetahuan bagi dia berarti mengobjektivikasikan. Sikap sientistis muncul, jika metode ilmiah yang wajar itu dijadikan kenyataan yang absolut. Sientisme membuat kebenaran ilmiah menjadi kebenaran pada umumnya. Dengan kata lain, sientisme merupakan suatu filsafat yang sering kali tinggal implisit, tetapi-suatu filsafat yang tidak bisa diterima. Dalam pandangan sientisme si ilmuwan dianggap sebagai semacam penonton yang tidak memihak. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai un regard survolant, sebagai pandangan yang melayang-layang di atas realitas. Dalam buku Yang Kelihatan dan Yang Tak Kelihatan, yang diterbitkan dalam keadaan terbengkalai beberapa tahun sesudah meninggalnya, pikiran ini masih tetap ditekankan. Di situ ia berbicara tentang I ontologie du kosmotheoros: artinya ontologi yang membuat dunia (termasuk juga tubuh dan persepsi umpamanya) menjadi objek bagi suatu pandangan yang semata-mata teoritis. Ontologi ini adalah filsafat yang tersembunyi dalam sientisme.

Nah, sientisme itu melupakan bahwa sikap ilmiah selalu berakar dalam pengalaman prailmiah. Realitas objektif yang diandaikan dan diolah oleh ilmu pengetahuan berasal dari dan berdasar pada realitas yang kita alami dalam hidup sehari-hari. Gedung yang mencolok mata yang telah dibangun oleh ilmu pengetahuan bertumpu pada pengalaman langsung, di mana tidak ada jarak antara manusia dan dunia. Ilmu pengetahuan sama sekali tidak dapat dimengerti, seandainya tidak didahului oleh pengalaman prailmiah. Kita tidak akan mengerti geografi, umpamanya, seandainya terlebih dahulu tidak kita ketahui apa itu hutan, padang rumput, sungai, dan paham-paham lain yang dibicarakan oleh ilmu itu. Dan paham-paham seperti itu tentu berasal dari pengalaman prailmiah.

Hubungan antara ilmu pengetahuan dan pengalaman prailmiah ini dapat menjadi lebih jelas, jika kita memandang paham-paham seperti ruang dan waktu. Marilah kita mulai dengan ruang. Perlu dibedakan antara ruang objektif atau ruang geometris di satu pihak dan ruang di mana kita sungguh-sungguh berada—katakanlah ruang antropologis—dilain pihak. Ilmu pengetahuan hanya mengenal ruang objektif. Ruang ini sama sekali homogeni. Dimensi-dimensinya dapat diganti yang satu dengan yang lain. Ruang ini dapat diukur dan dihitung secara eksakta. Tetapi bukan itulah arti ruang yang asli. Ruang objektif tidak lain daripada suatu objektivikasi dari ruang yang kita hayati, ruang antropologis.

Ruang antropologis berpangkal pada tubuh manusia. Ruang ini mendapat kiblatnya dari eksistensi manusia yang bertubuh. Benda-benda di sekitar saya dialami sebagai kiri atau kanan, tinggi atau rendah, jauh atau dekat, sekedar hubungannya dengan tubuh saya. Ruang ini mempunyai ukuran-ukuran yang sama sekali tidak objektif. Dekat dan jauhnya suatu jarak tergantung dari pengalaman saya waktu menjalani jarak tersebut (dengan jalan kaki, mobil, atau pesawat terbang; dan kalau jalan kaki: bila saya masih muda atau sudah tua; bagi orang yang bergegas-gegas ke tempat seorang tercinta sedang sakit berat, jarak yang objektif dekat bisa dialami amat jauh dan seterusnya).

Bagi ilmu pengetahuan, atau lebih tepat bagi sientisme, ruang yang abstrak dan geometris itu adalah ruang yang asli, ruang yang sebenarnya. Merleau-Ponty (dan banyak fenomenolog lain) menegaskan bahwa dengan itu keadaan dijungkirbalikkan: pada kenyataannya ruang geometris didasarkan pada ruang yang kita alami dalam hidup sehari-hari dan tidak sebaliknya.

Sama halnya dengan waktu. Dapat dibedakan juga antara waktu geometris dan waktu antropologis. Waktu geometris adalah waktu yang diukur dengan jam. Waktu itu dipandang sebagai suatu arus titik-titik waktu yang mengalir terus, tak tergantung dari subjek: ada titik-titik yang sudah melewati titik sekarang, yaitu titik-titik yang membentuk waktu lampau dan ada titik-titik yang belum melewati titik sekarang, yaitu titik-titik yang membentuk waktu depan.

Tetapi benarkah bahwa waktu tidak tergantung dari subjek? Benarkah bahwa waktu berputar terus seperti sebuah jam? Husserl telah berusaha menganalisa waktu yang kita alami atau waktu antropologis; dan Merleau-Ponty mengambil alih dan memperdalam analisa ini. Pada dasarnya waktu dialami sebagai kehadiran, berarti kehadiran bagi saya sebagai subjek. Tetapi dalam kehadiran itu saya masih menahan waktu lampau (untuk itu Husserl menggunakan istilah Retention) dan saya sudah mendahului waktu depan (untuk itu Husserl menggunakan istilah Protention). Dengan demikian misalnya menjadi mungkin mendengar suatu lagu, suatu melodi. Jika saya mendengar sebuah melodi, bukan saja saya mendengar nada yang berbunyi pada saat ini, melainkan dengan salah satu cara saya masih mendengar nada-nada yang sudah tidak berbunyi lagi (Retention) dan serentak juga dengan salah satu cara saya sudah mendengar nada-nada yang akan datang (Protention). Waktu lampau masih hadir dalam waktu sekarang dan waktu depan sudah hadir dalam waktu sekarang. Dan subjek yang mengalami waktu sebagai kehadiran adalah dasar bagi kesatuan waktu. Waktu antropologis adalah waktu yang asli; dari situ harus kita mengerti waktu yang ditunjukkan oleh jam-jam kita dan tidak sebaliknya.

Kita boleh menyimpulkan bahwa ada hubungan erat antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Filsafat tidak mempunyai suatu wilayah khusus yang terletak di samping wilayah-wilayah yang digarap oleh ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu pengetahuan berbicara tentang realitas yang sama. Dalam membicarakan realitas itu filsafat memerlukan ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan memerlukan filsafat. Filsafat dapat memperlihatkan hubungan ilmu pengetahuan dengan pengalaman prailmiah. Apa yang dikatakan Merleau-Ponty dalam suatu artikel mengenai filsafat dan sosiologi, berlaku juga bagi hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya: Filsafat tidak merupakan salah satu pengetahuan yang tertentu; filsafat menjaga agar kita jangan melupakan sumber segala pengetahuan


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber:

Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Baca Juga
1. Maurice Merleau-Ponty. Biografi dan Karya
2. Merleau-Ponty. Persepsi dan Tubuh
3. Merleau-Ponty. Bahasa
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Merleau-Ponty dan Fenomenologi"