Merleau-Ponty. Bahasa

Bahasa dalam Pemikiran Merleau-Ponty
Merleau-Ponty
Pemikiran Merleau-Ponty tentang bahasa berkaitan erat dengan pendiriannya tentang tubuh tadi. Dualisme antara jiwa dan tubuh tidak terlepas dari dualisme antara pemikiran dan tuturan, antara kesadaran dan bahasa. Bagi dua macam dualisme ini sumbernya sama, yaitu filsafat Descartes. Dalam filsafat modern sejak Descartes jiwa dipisahkan dari tubuh serta diberi prioritas di atas tubuh dan serentak juga pikiran diisolasikan dari perkataan. Sebagaimana jiwa dianggap inti manusia yang sebenarnya, demikian pun pemikiran dianggap sebagai bagian hakiki, sedangkan perkataan tidak lebih daripada semacam pembungkus saja. Bahasa digunakan sebagai sekedar wahana untuk mengangkut makna yang sudah serba lengkap. Bahasa hanya berperan sebagai alat, seperti juga tubuh merupakan alat bagi jiwa. Pada Merleau-Ponty kita menemui suatu pandangan yang sama sekali lain. Ia tidak memandang bahasa sebagai suatu fakta yang pada dasarnya berfungsi di luar manusia dan lepas dari manusia. Bahasa sungguh-sungguh bersatu padu dengan manusia yang bertutur atau menulis.

Kita sudah melihat bahwa Merleau-Ponty dalam filsafatnya senantiasa mengadakan konfrontasi dengan realisme dan idealisme atau dengan empirisme dan intelektualisme. Hal itu berlaku juga bagi pemikirannya tentang bahasa. Bagi empirisme bahasa tidak lain daripada sejumlah fenomena fisiologis yang berlangsung menurut hukum-hukum kausal. Bahasa merupakan suatu proses yang bersifat mekanistis melulu. Kata-kata disebabkan oleh pengaruh rangsangan-rangsangan tertentu atas organisme. Makna kata-kata melekat pada rangsangan-rangsangan tersebut. Orang yang kesakitan karena tangannya tergores pisau, otomatis mengeluh aduh. Kejadian seperti itu, bagi empirisme merupakan model bagi bahasa pada umumnya. Sebaliknya, intelektualisme memandang bahasa sebagai sistem tanda-tanda yang bertujuan untuk menyampaikan pemikiran batin seseorang kepada orang lain dan dalam proses itu tidak ada pengaruh apa pun dari sarana komunikasi atas pemikiran. Bagi intelektualisme yang penting bukan subjek yang berbicara, melainkan subjek yang berpikir. Satu-satunya sumber makna adalah pemikiran, sedangkan perkataan hanya merupakan gejala sampingan. Bahasa tidak meresapi tetapi hanya mengiringi pemikiran.

Dipandang sepintas lalu, rupanya kedua pandangan tadi sama sekali bertentangan satu sama lain. Namun demikian, pada hakikatnya kedua-duanya mempunyai pendirian dasar yang sama: mereka tidak menerima bahwa kata itu sendiri mempunyai makna. Hal itu disebabkan karena mereka melepaskan hubungan yang hidup antara bahasa dan subjek yang berbicara. Padahal, bahasa tidak pernah terlepas dari subjek yang berbicara. Bahasa tidak merupakan suatu proses lahiriah yang terjadi pada saya kira-kira dengan cara seperti proses mendapat daun terjadi pada pohon. Bahasa selalu berlangsung dalam rangka tingkah laku.

Di atas sudah kita lihat bahwa Merleau-Ponty menggunakan kasus Schneider dan contoh tentang gangguan lain sebagai ilustrasi untuk memperlihatkan dialektika antara subjek dengan dunia. Demikian juga ia menggunakan gejala seperti afasia (aphasia) untuk menjelaskan penggunaan bahasa sebagai tingkah laku manusia. Dengan afasia dimaksudkan kehilangan kemampuan untuk memakai atau memahami kata-kata tertentu. Gangguan ini dapat timbul akibat cedera otak. Jika kita menyelidiki kasus-kasus semacam itu, ternyata pasien tidak kehilangan kemampuan untuk menggunakan beberapa kata begitu saja, tetapi ia tidak dapat menggunakan kata-kata itu dalam situasi yang tertentu. Misalnya, bila dalam situasi konkret ia dapat menggunakan suatu kata tertentu dengan tepat, bisa terjadi bahwa lepas dari situasi itu kata tersebut sama sekali tidak teringat. Sebagai contoh: pertanyaan-pertanyaan sang dokter dengan spontan dijawab dengan tidak, tetapi kata yang sama tidak mau muncul, jika diajak mengucapkannya terlepas dari situasi konkret. Ia tidak bisa menjawab tidak, kalau ditanyakan: Apakah lawan ya? atau Bila dengan satu kata saja Anda mau mengungkapkan bahwa Anda menolak sesuatu, Anda akan bilang apa?

Para empiris akan memberikan penjelasan bahwa afasia disebabkan karena beberapa jalur hilang dari otak sebagai akibat dari kecelakaan. Para intelektualis akan memperlakukan gangguan ini sebagai suatu gangguan pemikiran, antara lain karena sudah pernah ditemukan bahwa pasien yang menderita afasia tidak dapat memasukkan data inderawi ke dalam suatu kategori umum, misalnya warna biru. Tetapi menurut Merleau-Ponty kedua pandangan tersebut gagal dalam mengerti gangguan serupa itu. Kita baru mulai mengerti sedikit afasia, bila kita mengakui penggunaan bahasa sebagai suatu tingkah laku yang meliputi seluruh eksistensi manusia.

Merleau-Ponty yakin dapat mengatasi intelektualisme maupun empirisme dengan menandaskan bahwa kata itu sendiri sungguh-sungguh mempunyai makna. Pikiran atau makna tidak mendahului perkataan, tetapi terjelma dalam perkataan itu sendiri. Perkataan dan pemikiran tidak mungkin dipisahkan seperti juga tubuh tidak dapat dipisahkan dari jiwa. Pikiran mendapat kepenuhannya karena terjelma dalam perkataan. Pikiran tidak merupakan sesuatu yang bersifat batiniah dan yang dapat berada terlepas dari perkataan. Bahasa merupakan inkarnasi (penjelmaan) bagi pikiran. Orang yang mengajar atau menulis akan mengalami bahwa pikirannya sungguh-sungguh terbentuk sambil mengajar dan menulis. Selagi kita belum mengetahui apa yang harus kita katakan atau bagaimana kita harus merumuskannya, pikiran kita belum terbentuk sungguh-sungguh. Jadi, perkataan bukan sekedar pembungkus bagi pikiran. Pikiran sungguh-sungguh hadir dalam perkataan dan sebenarnya bukan dalam perkataan saja tetapi juga dalam seluruh konteksnya: nada yang digunakan, gerak-gerik yang menyertai tuturan, dan seterusnya. Karena itu, menerjemahkan dari satu bahasa ke dalam bahasa lain merupakan pekerjaan berat. Seandainya hubungan antara pikiran dan bahasa bersifat lahiriah saja, pekerjaan si penerjemah tidak akan berbeda banyak dengan mengganti pakaian: pikiran yang sama dilepaskan dari satu bahasa dan didandani dengan bahasa lain. Tetapi setiap penerjemah maklum bahwa kenyataannya jauh lebih kompleks. Pikiran sungguh-sungguh berpadu dengan bahasa yang merumuskannya dan karena itu menerjemahkan lebih dekat dengan menciptakan kembali.

Berbicara atau menggunakan bahasa merupakan salah satu bentuk ekspresi. Bahasa hanya mungkin karena tingkah laku manusia bersifat ekspresif. Dalam ekspresi itu manusia mengatasi dirinya. Karena itu, bahasa--dan setiap bentuk ekspresi lainnya--menyatakan transendensi yang menandai eksistensi manusia. Dengan berbicara manusia mengatasi taraf badani belaka. Memang benar, kalau kita berbicara, kita menjalankan proses-proses fisiologis tertentu (yang menyangkut pita suara umpamanya), tetapi kita mengatasi semua faktor jasmani itu dengan mengungkapkan suatu makna. Dan transendensi kita tampak lagi dengan lebih mencolok, sejauh dengan menggunakan kata-kata yang merupakan milik umum, kita dapat mengatakan sesuatu yang baru yang belum pernah dikatakan orang.

Berkaitan dengan yang terakhir ini dapat kita singgung lagi suatu pembedaan terkenal yang dikemukakan Merleau-Ponty antara parole parlee dan parole parlante. Dengan parole parlee dimaksudkan bahasa yang sudah menjadi milik bersama suatu masyarakat. Bahasa dalam arti itu meliputi endapan makna yang disampaikan dari satu manusia ke manusia lain, malah dari satu angkatan ke angkatan berikutnya. Tetapi parole parle hanya mungkin karena masih ada bahasa dalam arti lain, parole parlante. Dengan istilah yang terakhir ini dimaksudkan bahasa yang asli yang mencetuskan makna baru. Bahasa ini sanggup mengatakan sesuatu yang belum pernah dikatakan. Parole parlante merupakan bahasa dalam arti yang sebenarnya dan merupakan tempat lahir bagi bahasa pada umumnya. Kalau cara bicara kita tidak dipupuk dan dijiwai oleh parole parlante, tuturan kita hanya akan menyampaikan makna yang mantap, yang sudah fixed dan terputus dari asal-usulnya.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber:

Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Baca Juga
1. Maurice Merleau-Ponty. Biografi dan Karya
2. Merleau-Ponty. Persepsi dan Tubuh
3. Merleau-Ponty dan Fenomenologi
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Merleau-Ponty. Bahasa"