Jurgen Habermans. Kritik Atas Patologi Modernitas

Kritik Atas Patologi Modernitas Jurgen Habermans
Patologi Modernitas
Dengan proyek-proyek pembangunan nasional, masyarakat kita, bersama negara-negara lain yang sedang berkembang, bergerak dengan sebuah dorongan kehendak untuk menjadi modern (Eward Shils). Modernitas menjadi proyek yang normatif di negara-negara berkembang dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan. Kalau kita memperhatikan pandangan-pandangan Hegel, Marx dan Teori Kritis, kita bahkan akan menemukan sebuah penegasan yang lebih radikal dan total: setiap masyarakat manusia terdiri atas makhluk-makhluk rasional dan sejarah masyarakat manusia adalah sejarah menuju masyarakat yang semakin rasional dan dapat menentukan diri. Dengan mengikuti analisis-analisis Habermas dari tahun 1960-an sampai 1980-an, kita bahkan bisa menemukan bahwa filsuf ini berusaha menunjukkan secara empiris bahwa masyarakat sedang berkembang menjadi semakin rasional dalam arti menuju modernitas.

Pendirian Habermas tersebut dipandang sebagai kelanjutan dari cita-cita pencerahan abad ke-18 dalam modernisasi masyarakat barat. Para pemikir pencerahan yang menjadi kekuatan pendobrak kemapanan masyarakat tradisional barat itu berkeyakinan bahwa rasio manusia sifatnya universal dan dengan kekuatan rasio manusia dapat mewujudkan kebebasan dan kebahagiaannya sendiri tanpa menunggu takdir dari dunia sana. Sebagaimana setiap perubahan sosial yang radikal menghasilkan ekses, pencerahan barat mendisintegrasikan masyarakat. Meskipun kenyataannya demikian, pada abad ke-19 tokoh-tokoh sosialis Prancis seperti Phroudon, Fourier, Saint-Simon, meski utopis tetap berusaha mencanangkan restrukturasi sosial secara rasional.

Para pemikir pro-pencerahan berpendirian bahwa sebuah rasional itu tidak hanya mungkin, tetapi secara normatif sedang dituju oleh segala bentuk masyarakat sejauh ilmu dan teknologi menjadi agen perubahan di dalamnya. Padahal Kehendak-menjadi-modern itu sendiri sebenarnya merupakan kehendak politis yang secara empiris dibuktikan dengan adanya Geertz diberbagai negara, mengikuti proyek-proyek modernisasi barat, dengan segala kepincangan akibat penerapan sebuah kerangka objektif-nasional untuk menjinakkan nafsu-nafsu primordialisme pra-modern.

Meski demikian sebenarnya sudah sejak dini, yaitu paro pertama abad ke-20 ini, beberapa pemikir barat sendiri memiliki kesangsian mendasar, di mana kesangsian tersebut tidak hanya menyangkut proyek pembangunan lokal, misalnya di indonesia melainkan mengenai modernitas itu sendiri. Para pemikir seperti Heidegger, Horkheimer, dan Adorno berusaha memperlihatkan bahwa modernisasi bukan sekedar perjalanan yang terseok-seok, melainkan juga perjalanan menuju disintegrasi total, sebuah malapetaka umat manusia. Dalam pemikiran Bataille, Rorty, Foucault dan Deridda juga terkandung nafsu yang sama untuk menyingkap bahwa kehendak-untuk-menjadi-modern tak kurang dari kehendak-untuk-berkuasa. Modernitas, dengan agen-agennya, ilmu dan teknologi, pada hakikat sebuah restored totalitarianism.

Di sini kita menemukan sesuatu yang sangat menarik. Sementara para rekayasawan negara-negara berkembang memandang proyek modernisasi dan industrialisasi sebagai semacam jalan keselamatan, para pemikir barat sendiri sebagai pencetus awal modernitas justru mulai menghadapi semacam batas dari proyek sejarah ini, pembebasan dari teror feodalisme yang malah menuju atau bermuara pada kungkungan birokratisme dan teknokratisme.

Demikian, saat ini kita mengenal dua posisi antinomis dalam pemikiran barat kontemporer. Yang pertama mendukung modernitas sebagai tujuan universal segala bentuk masyarakat, sedangkan yang kedua berupaya meninggalkan modernitas. Meskipun berbeda satu sama lain keduanya sebenarnya merupakan produk dari sebuah situasi krisis yang melanda berbagai sektor kehidupan modern. Istilah krisis sebenarnya berkaitan dengan kritik, sebab suatu situasi disadari sebagai krisis melalui kritik dan suatu kesadaran menjadi kritis kalau terjadi keprihatinan terhadap krisis.

Dalam wacana tersebut, kita bisa mengatakan bahwa kedua pihak yang beroposisi itu sama-sama menggunakan kesadaran kritis dalam mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai modernitas. Keduanya bersikap radikal atas saintisme dan positivisme yang mendominasi situasi intelektual abad ke-20. Meskipun persamaan tersebut tidak diakui oleh pihak yang berpendirian ingin meninggalkan modernitas justru karena mereka memandang kesadaran kritis dan refleksi diri sebagai produk modernisasi barat yang mereka kecam. Demikian, dewasa ini pandangan-pandangan Habermas mewakili para pendukung modernitas, sedangkan pandangan-pandangan para ahli waris Nietzsche seperti Heidegger, Derrida, Foucault, Bataile, Baudrillard, dan seterusnya yang termasyur dengan sebutan "postmodernitas" mewakili posisi lawannya.

Sebagaimana kita ketahui Habermas mewakili salah satu tradisi yang disebut teori kritis, sementara pihak yang beroposisi dengannya disebut postmodernitas. Teori kritis dan postmodernisme menjadi paradigma-paradigma yang berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial, sebagai alternatif bagi teori-teori modernisasi yang masih besar pengaruhnya di negara-negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Persoalan yang akan coba dibahas adalah pokok-pokok perbedaan pendirian Habermas dan ahli waris Nietzsche mengenai modernitas. Kalau pendirian para ahli waris Nietzsche dalam hal ini disebut postmodernisme, pendirian Habermas disebut kritik atas patologi modernitas. Akan coba kita bahas satu persatu, kalau tidak mencukupi, kajian ini akan lebih banyak dicurahkan pada pendirian Habermas yaitu kritik atas patologi modernitas, sementara pihak postmodernisme akan dibahas pada postingan berikutnya.

Teori Kritis, Modernitas, dan Dilema Modernitas
Teori Kritis yang dirintis oleh Max Horkheimer dan kawan-kawannya dari Mazhab Frankfurt pada awalnya merupakan upaya untuk mengatasi determinasi ekonomis dari Marxisme ortodoks yang dianut sebagai ideologi resmi Uni Soviet. Pemikiran Karl Marx betapa pun dibela atau dianggap tabu, tetap haruslah diperlakukan sebagai sebuah teori sosial. Bahkan pemikiran Marx adalah salah satu produk rasionalisme barat yang dikembangkan sejak zaman Yunani kuno, dan rasionalisme barat tersebut mulai mendapatkan aktualisasi historisnya pada zaman Renaisans lewat pemikiran Descartes, dan penerusnya. Usaha Mazhab Frankfurt dalam mengatasi determinisme ekonomi, bagaimanapun adalah sebuah proyek dalam rasionalisme barat.

Pemikiran barat sejak Deskartes ditandai oleh gairah yang sangat besar untuk kebebasan manusia secara universal. Keyakinan yang menandai para perintis modernisasi barat adalah bahwa kebebasan itu dapat diraih lewat penggunaan rasio sampai tak terbatas, kalau perlu dengan menerjang batas-batas yang ditetapkan berdasarkan iman kepercayaan agama. Karena itu, modernitas yang ditandai oleh rasionalisme barat itu adalah bentuk kehidupan yang sekaligus juga bentuk kesadaran. Sebagai bentuk kehidupan, berkembanglah sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik liberal. Sebagai bentuk kesadaran, modernitas ditandai oleh individualisme, kritik dan kebebasan.

Teori sosial Marx sendiri adalah bentuk pemikiran modern yang dikembangkan post-pencerahan, yaitu abad ke-19. Di mana pencerahan barat abad ke-18 adalah titik kulminasi rasionalisme barat yang ketika itu sangat yakin akan individualisme, kritik dan kebebasan universal. Semangat zaman pencerahan tersebut ditopang oleh perkembangan yang begitu pesat dalam ilmu-ilmu alam dan teknologi. Namun, cara berpikir empiris dan rasionalistis tersebut ternyata menghasilkan krisis-krisis sosial, sehingga para pemikir abad ke-19 tersebut mulai bicara mengenai disintegrasi sosial. Dengan perkataan lain rasionalisme zaman pencerahan tersebut meninggalkan semacam lubang dalam penghayatan batiniah manusia modern. Individualisme dan kebebasan borjuis diiringi dengan perasaan hampa makna karena runtuhnya sistem kepercayaan religius tradisional. Bersamaan dengan itu interaksi sosial yang baru mengalami apa yang oleh Georg Lukacs disebut reifikasi. Fenomena tersebut menjadi isi keprihatinan pokok teori sosial Marx muda. Marx yakin bahwa lewat perjuangan kelas dan revolusi, susunan masyarakat kelas akan diambrukkan, sehingga bersamaan dengan terhapusnya hak milik dan hubungan kepemilikan subjek-objek, penderitaan manusia tersebut akan bisa dilenyapkan juga. Makna dan kebebasan dapat diraih kembali dalam sebuah kehidupan sosialis yang meminati orang lain sebagai subjek.

Isi keprihatinan Marx tersebut tidak dapat diaktualisasikan dalam sosok metodologi ilmu-ilmu sosial yang tepat. Demikian, para murid Marx yang kritis, seperti Lukacs, Korsch, dan Gramsci berhasil menyingkapkan bahwa Marx memandang perkembangan sejarah dan masyarakat berjalan menurut hukum-hukum tetap yang alamiah. Ada mekanisme kausalitas niscaya antara basis ekonomi dan superstruktur politik serta kesadaran. Ada teori tentang keambrukan otomatis sistem kapitalis tanpa jerih payah suatu subjek perubahan. Marx berpretensi agar teori sosialnya menjadi science. Pretensi positivis ini justru berlawanan dengan intensi Marx sendiri untuk menciptakan sebuah kritik yang emansipatoris terhadap patologi modernitas (alienasi) yang menghasilkan pencerahan. Determinasi melenyapkan alasan untuk menjadi agen pembaruan sekaligus bertentangan dengan rasionalisme barat sendiri yang menjunjung kebebasan.

Kalau Mazhab Frankfurt kemudian ingin merintis sebuah teori kritis, mereka bermaksud meneruskan tradisi ilmiah yang sudah dicapai modernitas tanpa terjerumus dalam determinisme ala ilmu-ilmu alam. Artinya, mereka tetap bergerak dalam tradisi borjuasi yang menjunjung otonomi pribadi dan rasionalitas, namun sudah dimuati dengan kesadaran sosial. Mereka ingin mencapai cita-cita otonomi kolektif, suatu bentuk kebebasan yang disertai rasa tanggung jawab moral universal.

Kalau kita mengikuti benang merah sejarah filsafat barat, kita dapat menemukan bahwa Teori Kritis adalah keturunan dari filsafat kesadaran sejak Deskartes. Bapak filsafat modern ini dianggap menemukan metode yang sangat radikal untuk mengetahui kenyataan, yaitu refleksi diri. Sejarah filsafat post-deskartes mengembangkan refleksi diri dengan berbagai cara, empirisme, kantianisme, idealisme, materialisme, dan positivisme. Ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial modern adalah keturunan filsafat kesadaran, maka pada dasarnya memakai refleksi diri. Sejarah intelektual barat dalam arti tertentu merupakan diskusi, dialog, kontroversi metode-metode refleksi diri sekaligus klaim-klaim kebenaran yang dihasilkan lewat metode-metode tersebut. Karena klaim kebenaran turut mengarahkan praksis sosial yaitu arah perkembangan masyarakat dalam proyek modernisasi, maka kontroversi yang terjadi juga bersifat ideologis di samping kritis. Ada yang mempertahankan kebenaran dan praksisnya, ada yang berusaha membuka tabir kebenaran tersebut sebagai kesadaran palsu dan praktek itu sebagai alienasi dan manipulasi. Upaya Mazhab Frankfurt adalah merintis sebuah metode refleksi diri yang terus segar sebagai penyingkap kesadaran palsu. Dalam arti lain Teori Kritis berupaya melakukan kritik ideologi.

Namun, Teori Kritis Mazhab Frankfurt sendiri kemudian dianggap gagal oleh penerusnya yaitu Jurgen Habermas. Kegagalan tersebut menurut Habermas adalah bahwa mereka kurang jernih memahami refleksi diri tersebut. Dalam dialektika pencerahan, Adorno dan Horkheimer melukiskan sebuah kebingungan mendalam terhadap refleksi diri. Kebingungan tersebut dinyatakan sebagai berikut, kesadaran kritis (Deskartes) yang dikembangkan dalam modernitas ini mencapai kematangannya dan terwujud dalam bentuk kehidupan modern yang ditandai oleh gairah akumulasi modal secara rasional dan birokrasi rasional yang didukung oleh teknologi. Namun, kapitalisme dan teknokratisme dewasa ini malah menumpulkan kesadaran kritis tersebut, sehingga individu dalam masyarakat modern malah bersikap adaptif terhadap sistem dan konsumerisme.

Dengan demikian, refleksi-diri menurut kodratnya malah mengandung sebuah paradoks. Pada masa pencerahan, lewat refleksi-diri manusia modern menjadi sadar bahwa tradisi dan dogmatisme itu menindas dan memalsukan kenyataan. Inilah matra kritis-negatif dari refleksi diri. Bersamaan dengan itu, refleksi-diri menghasilkan sebuah matra-positif pada lingkup praksis, kapitalisme, teknokratisme dan birokratisme. Yang terjadi kemudian adalah bahwa pada gilirannya matra positif ini justru berubah posisi menggantikan matra-negatif yang sebelumnya menjadi sasaran kritik refleksi-diri, yaitu tradisi dan dogmatisme. Gejala inilah yang kemudian mereka sebut dialektika pencerahan

Muatan arti dari dialektik pencerahan tersebut adalah sebuah paradoks bahwa kita sebagai makhluk rasional, tidak pernah berhasil mencapai rasionalitas. Perubahan bentuk-bentuk kesadaran dan bentuk-bentuk kehidupan praktis tak kurang dari perubahan bentuk-bentuk penipuan diri dan bentuk-bentuk penindasan. Demikian, apa yang masih kita harapkan dari teori yang mengajarkan kebingungan ini? Bagi yang berakal sehat, teori ini layak dilupakan, karena tentunya akan meresahkan keyakinan praktisnya sehari-hari bahwa mereka cukup waras dan sadar. Buktinya, pembangunan ini sukses dan tetap masuk akal. Oleh karena itu, para pemikir post-modern, mendengar teori ini, justru mendapatkan titik tolaknya untuk meninggalkan modernitas. Daripada terkurung dalam kisaran membingungkan dari dialektika pencerahan itu, lebih baik keluar dan meninggalkannya sama sekali. Bagi Habermas, dialektika pencerahan ini harus diatasi dengan pencerahan lebih lanjut, bukan meninggalkannya, Teori Kritis harus dilanjutkan. Inilah titik-titik persimpangan jalan yang penting bila kita ingin memahami kontroversi antara Habermas dan postmodernitas. Disini karya Adorno dan Horkheimer tersebut (dialektika pencerahan) malah menghasilkan suatu yang sangat penting dalam kontroversi tersebut.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber,
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


Lihat Juga
Patologi Modernitas Jurgen Habermas (Youtube Channel. https://youtu.be/_ZuHoHgIcF0 ) Jangan lupa like, komen, dan subscribe yah...

Baca Juga
1. Jurgen Habermans. Biografi
2. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi
3. Jurgen Habermas. Melanjutkan Proyek Modernitas dengan Rasio Komunikatif
4. Jurgen Habermas. Diskursus filosofis tentang Modernitas (Postmodernitas)
5. Jurgen Habermas. Kolonisasi Dunia-Kehidupan
6. Jurgen Habermas. Teori Praksis Komunikatif
7. Jurgen Habermas. Speech Acts
8. Jurgen Habermas. Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan Manusia
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Jurgen Habermans. Kritik Atas Patologi Modernitas"