Jean-Francois Lyotard. Berpikir Bersama Kant

Jean-Francois Lyotard Berpikir Bersama Kant
Jean-Francois Lyotard
Seperti banyak filsuf Prancis kontemporer lainnya Lyotard pun berusaha berdialog dengan seluruh tradisi filsafat Barat. Dalam karya-karyanya sering diberikan komentar atas tokoh-tokoh besar dari tradisi pemikiran filosofis itu, terutama Plato, Aristoteles, Augustinus, Descartes, Hegel, Nietzsche, Husserl, Wittgenstein, Heidegger, Levinas, dan Adorno. Tetapi filsuf yang paling banyak dipilih sebagai kawan berdialog adalah Immanuel Kant. Barangkali dapat mengherankan bahwa Lyotrad mempunyai perhatian begitu besar untuk filsuf dari Masa Pencerahan ini. Pemikiran Kant justru merupakan salah satu puncak dalam proyek modernitas. Tetapi minat Lyotard tidak terarah kepada aspek pemikiran Kant itu. Ia tidak memperhatikan semua karya Kant dengan cara yang sama. Minatnya terutama terarah kepada Kritik ketiga, yaitu yang terakhir dari tiga buku Kant yang mempergunakan kata kritik dalam judulnya.

Dalam buku pertama, Kritik Atas Rasio Murni (1781), Kant berefleksi tentang fisika Newton, ilmu alam yang baru pada waktu itu. Ia memperlihatkan bahwa akal budi manusia sanggup mengerti alam sebagai keseluruhan fenomena yang tersusun berdasarkan kausalitas (hubungan sebab akibat) yang ketat. Dalam buku kedua, Kritik Atas Rasio Praktis (1788), ia membahas hidup moral manusia. Dengan kata lain, di sini ia menyajikan etikanya. Ia memperlihatkan bahwa manusia mengakui hukum moral sebagai mewajibkan, karena ia sendiri merupakan makhluk bebas. Dengan demikian dua kritik pertama itu bagi Kant menimbulkan masalah bagaimana hubungan antara kausalitas mutlak dalam alam dan kebebasan yang merupakan ciri khas manusia. Rupanya di sini kita menghadapi kesenjangan mendalam. Bagaimana dapat dipikirkan hubungan antara dua dunia yang berbeda itu? Bagaimana pada taraf pemikiran dapat kita gabungkan dua kawasan itu dengan tetap mempertahankan kekhususan masing-masing? Masalah terakhir itu menjadi tema utama kritik Kant yang ketiga, Kritik Atas Daya Pertimbangan (1790), tetapi pada kenyataannya ia tidak berhasil menciptakan kesatuan intelektual antara dua kawasan yang berbeda itu. Kata terakhir bagi Kant adalah heterogenitas: kesenjangan antara dua pihak atau lebih yang tidak mungkin bertemu dalam kesatuan.

Lyotard mengagumi pemikiran Kant, karena ia pun berpendapat bahwa heterogenitas tidak bisa dihilangkan. Selalu tinggal banyak permainan bahasa (language game dari Wittgenstein) yang tidak bisa diterjemahkan yang satu ke dalam yang lain. Setiap permainan bahasa itu mempunyai aturan sendiri-sendiri yang dapat dianalisa juga, tetapi akhirnya harus kita akui kekhususan yang tak teruraikan. Ada banyak genre de discour; ada banyak macam diskursus atau wacana. Lyotard berkata bahwa dalam semua diskursus itu berlaku aturan-aturan tertentu. Bidang politik, etika, ilmu pengetahuan, ekonomi, bidang yuridis, bidang estetis: semua diskursus ini mempunyai finalitas sendiri-sendiri. Kita harus menyadari bahwa tidak mungkin kita beralih begitu saja dari yang satu kepada yang lain. Selalu kita terbentur dengan heterogenitas.

Dalam konteks ini dapat kita mengerti sedikit maksud Lyotard dengan Le differend, judul buku yang oleh pengarangnya sendiri dianggap sebagai karya filosofisnya yang terpenting, namun tidak mudah juga untuk memahaminya secara tuntas. Dalam bahasa Prancis--katanya--kita harus membedakan differend dan litige. Dua kata ini menunjukkan suatu konflik, tetapi dengan cara berbeda. Litige barangkali dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkara, sedangkan arti differend mungkin lebih baik didekati dengan kata sengketa. Perkara dapat diselesaikan oleh hakim, karena kedua pihak yang terlibat menggunakan diskursus yang sama. Aturan-aturan dari kitab hukum dapat diterapkan, karena diakui kedua belah pihak. Justru karena itu hakim sanggup menyelesaikan perkara ini. Tetapi sengketa adalah konflik di mana tidak ada aturan yang memungkinkan untuk menilai argumentasi dari kedua pihak yang terkait. Dua-duanya memakai diskursus sendiri-sendiri. Satu diskursus tidak bisa ditundukkan kepada yang lain dan tidak ada meta-diskursus yang mengatasi kedua-duanya dalam kesatuan yang memuaskan untuk kedua pihak. Sengketa tidak dapat diselesaikan. Posisi masing-masing pihak dapat dijelaskan, tetapi perbedaannya tidak pernah bisa dihilangkan. Menurut Lyotard, filsafat selalu berurusan dengan sengketa-sengketa. Filsafat jelas salah, jika sengketa diperlakukannya sebagai perkara. Hegel adalah contoh ekstrim dalam melakukan kesalahan ini. Walaupun dalam pemikiran Kant jelas masih diberikan tempat kepada heterogenitas, ia pun cenderung memulangkan sengketa ke perkara, sesuai dengan seluruh proyek modernitas.

Filsafat Kant memiliki segi lain lagi yang menarik bagi Lyotard. Kant tidak pernah menulis Kritik Keempat, tentang hubungan rasio dengan bidang historis dan politik. Ia tidak pernah menulis Kritik atas rasio historis, yang sebenarnya merupakan langkah logis dalam seluruh proyeknya. Namun demikian, Kant mempunyai minat besar untuk tema itu dan ia menulis tentangnya dalam sejumlah buku kecil dan artikel. Hal itu oleh Lyotard dilihat sebagai tanda bahwa Kant di bidang historis dan politik-sekurang-kurangnya dengan implisit-mengakui adanya heterogenitas pula. Masalah-masalah historis dan politik tidak pernah dapat diselesaikan secara definitif. Pertanyaan-pertanyaan di bidang ini tidak bisa dijawab dengan tuntas, karena kita tidak bisa mencakup seluruh sejarah sebagai suatu totalitas dan tidak bisa menjadikan sejarah sebagai objek eksperimen. Salah satu contoh adalah pertanyaan apakah sejarah ditandai kemajuan. Dapatkah kita katakan bahwa sejarah sebagai keseluruhan berkembang terus dan dalam perkembangannya memperlihatkan suatu kemajuan, khususnya kemajuan moral? Hal itu tidak pernah bisa dibuktikan secara ilmiah. Tetapi kita bisa mencari suatu pertanda yang menunjuk ke arah tertentu. Secara konkret Kant bertanya, apakah Revolusi Prancis yang berlangsung di zamannya dapat dilihat sebagai kemajuan? Ia menjawab bahwa di sini pertanda yang meyakinkan adalah antusiasme besar yang terdapat di luar Prancis untuk kejadian politik ini. Antusiasme luar biasa untuk apa yang terjadi di ibukota Prancis sekitar revolusi tahun 1798 ini bagi Kant menunjukkan dengan meyakinkan bahwa peristiwa ini dapat dilihat sebagai kemajuan.

Lyotard bertanya apakah untuk zaman kita pun terdapat sebuah pertanda yang menunjukkan kemajuan zaman kita terhadap zaman-zaman sebelumnya, mirip dengan antusiasme yang disaksikan Kant dua abad yang lalu. Pertanyaan ini dijawab dalam bukunya, Le differend, di mana Lyotard menunjuk kepada rasa sedih yang meliputi penghuni bumi pada penghujung abad ke-20. Rasa sedih itu menandakan pengalaman bersama mengenai diskrepansi tajam antara kenyataan faktual dan cita-cita besar. Kesenjangan lebar antara kisah-kisah besar dan realitas yang nyata sangat dirasakan dewasa ini dan mengakibatkan rasa sedih yang tersebar agak umum itu. Mungkin karena alasan itu dunia kita dapat dianggap ditandai kemajuan juga. Jadi, bukan karena keadaan kita lebih baik atau lebih hebat daripada periode sebelumnya, melainkan karena kita menyadari ketidakcocokan antara ide dan kenyataan. Pada akhir buku Le differend Lyotard menegaskan: Kalaupun umat manusia sedang maju ke keadaan lebih baik, hal itu tidak disebabkan karena semuanya berjalan dengan lebih baik,... melainkan karena makhluk-makhluk insani menjadi begitu berbudaya dan telah mengembangkan kuping yang begitu biasa dengan ide, sehingga mereka mengalami kegagalan pada kesempatan bertemu dengan fakta-fakta yang sama sekali bertentangan dengan ide itu, sehingga karena keterbukaannya untuk fakta-fakta tersebut mereka memberi bukti mengenai kemajuan.

Dalam karangan-karangan sesudahnya Lyotard meninggalkan usahanya untuk melihat rasa sedih itu sebagai tanda kemajuan bagi zaman kita, sejalan dengan percobaan Kant untuk menemukan antusiasme sebagai tanda kemajuan di waktu Revolusi Prancis. Dengan mencari satu tanda itu kita masih terjebak dalam pengandaian kesatuan. Antusiasme yang disinyalir oleh Kant pada waktu itu masih mengandaikan adanya satu tujuan, yaitu perwujudan kebebasan dan emansipasi umat manusia. Kesadaran tentang adanya satu tujuan yang direalisasikan sedikit demi sedikit, tidak cocok lagi untuk zaman kita. Dalam periode sejarah di mana kita hidup sekarang tidak saja dirasakan diskrepansi antara ide dan kenyataan, melainkan juga antara berbagai ide. Rasa sedih yang menandai zaman kita menunjukkan terpecahnya finalitas yang satu--yang masih diandaikan oleh Kant--ke dalam finalitas-finalitas heterogen berjumlah tak terhingga, tulisannya dalam buku Antusiasme. Kritik Kant tentang Sejarah. Pada Kant masih kelihatan usaha untuk mempertahankan kesatuan subjek dan kesatuan rasio di tengah heterogenitas. Dewasa ini terpecahnya subjek dan rasio tidak mungkin disangkal lagi. Manusia harus berusaha mempertahankan diri di tengah perbenturan dan konfrontasi antara berbagai diskursus yang berbeda. Kita harus meninggalkan usaha untuk menciptakan suatu metadiskursus. Filsafat tidak bertugas meniadakan keadaan terpecah belah itu, melainkan justru mengakuinya dengan membiarkan semua diskursus itu sebagai tak terhindarkan. Kini Filsafat harus membatasi diri pada pemberian kesaksian tentang sengketa.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber.

Bertens, Kees. 2001. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta. Gramedia

Baca Juga
1. Jean-Francois Lyotard. Biografi dan Karya
2. Jean-Francois Lyotard. Diskusi dengan Habermas
3. Lyotard dan Postmodernisme
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Jean-Francois Lyotard. Berpikir Bersama Kant"